Cerpen, Kompas, Mashdar Zainal

Pindah Rumah

Pindah Rumah - Cerpen Mashdar Zainal (

Pindah Rumah ilustrasi Pupuk DP/Kompas

3.6
(14)

Cerpen Mashdar Zainal (Kompas, 04 Februari 2024)

HARI-HARI pada pekan pertama pindah ke rumah kontrakan barunya, Ali Ridho disibukkan oleh beraneka perkakas, baju-baju, serta buku-buku yang bertumpuk dan butuh dirapikan dalam rak. Istrinya sedang hamil tua dan tidak bisa membantu banyak. Ali Ridho mengurus semuanya sendirian di sela-sela waktunya bekerja. Dan itu sangat melelahkan.

Berkali-kali Ali Ridho memindahkan ranjang dan kursi dan lemari untuk mendapatkan hasil tata ruang terbaik. Dia selalu berpikir panjang dan penuh pertimbangan, bahkan untuk meletakkan atau memajang hal-hal remeh, macam lukisan ikan koi atau jam dinding atau di mana sapu dan kemoceng musti digantung, dan seterusnya.

Sungguh, tidak cukup satu hari mengurus hal-hal semacam itu. Ali Ridho kerap berandai-andai, betapa menyenangkan andai kata hal semacam itu bisa dilakukan dengan cara virtual. Klik dan klik seperti bermain game online. Ketika dia salah meletakkan sesuatu atau menata sesuatu atau memajang sesuatu, dia tinggal klik undo dan sebaliknya, atau tinggal klik dan seret, dan seterusnya.

Saat Ali Ridho tergopoh-gopoh mengangkat kursi atau menyeret lemari, istrinya duduk di kursi dengan punggung tegap sebab tertahan oleh janin dalam perutnya. Saat istrinya berusaha bangkit dan ingin membantu, Ali Ridho mengomel dan menyuruh istrinya untuk tetap duduk. Lalu, dengan langkah khas orang hamil, istrinya pergi ke belakang, suara derit pintu kulkas dibuka, dan beberapa menit kemudian segelas minuman dingin telah diletakkan di atas meja.

“Kuakui, itu memang cara terbaik yang bisa kau lakukan untuk membantuku saat ini,” kata Ali Ridho dengan bangga, membuat istrinya tersipu-sipu.

Ketika malam tiba, Ali Ridho merasakan pegal-pegal di sekujur betis dan pundak dan punggung, namun dia tak pernah mengeluhkan itu pada istrinya. Justru istrinya yang selalu menggumam bahwa betis dan pinggangnya terasa kaku dari waktu ke waktu. Lantas Ali Ridho memijat betis istrinya, lalu pundaknya, dan lain-lainnya. Ali Ridho paham, pindah rumah jelas sangat menguras tenaga, namun menggotong bayi dalam perut selama berbulan-bulan pasti jauh lebih melelahkan. Ali Ridho selalu berpikir bahwa istrinya sejatinya jauh lebih kuat secara fisik ketimbang dirinya. Semua perempuan hamil di dunia ini jauh lebih kuat ketimbang laki-laki yang berkali-kali bisa menyebabkan perempuan hamil.

Baca juga  Angka Kematian

Semenjak istrinya hamil enam bulan, Ali Ridho kerap tertidur dengan tangan masih menumpang di atas bagian tubuh istrinya. Kadang di atas paha, kadang di atas perut, kadang di leher. Beberapa hari usai pindah rumah, Ali Ridho terbangun di pagi hari dengan rasa pegal di betis dan punggung menjadi-jadi. Dia merasa seperti terbangun dari sebuah mimpi di mana dia terus berlari sepanjang tidur hingga semangat dan tenaganya benar-benar terkuras. Namun, Ali Ridho tetap bangkit untuk mengambil handuk, mandi, sarapan dan berangkat kerja. Untuk sarapan, istrinya selalu suka memasak ala kadarnya di malam hari, dan tinggal menghangatkan di pagi hari. Menurut Ali Ridho, itu hal cerdas lainnya yang dimiliki istrinya.

Beberapa hari terakhir pikiran Ali Ridho tersita penuh untuk urusan pindah rumah hingga dia tak bisa jenak memikirkan apa pun selain pindah rumah. Segala kerumitan perkakas dan tata ruang itu akhirnya beres juga pada hari kedelapan. Bahkan pada hari kedelapan, sepulang kerja, Ali Ridho masih punya waktu untuk memangkas bonsai dan menyemai benih stroberi di teras depan.

Daftar panjang perihal perkakas dan tata ruang itu dia akhiri dengan membersihkan akuarium pukul enam sore, mengisinya dengan air dan tujuh ikan moli yang baru dia beli dari Aqua Zone. Itulah yang ditunggu-tunggu Ali Ridho, mendengar gemericik air dari akuaraium saat dia berangkat tidur. Entah mendapat teori dari mana, menurut Ali Ridho, mendengar gemericik air di dalam rumah saat berangkat tidur bisa mengurangi rasa capek hingga lima puluh persen.

Pada hari kesembilan usai pindah rumah, Ali Ridho baru bisa memikirkan banyak hal. Menyelesaikan tugas kantor yang telantar, menganalisis lingkungan baru, mencoba menerka karakter-karakter tetangga-tetangga baru, termasuk memikirkan dengan matang perihal sejarah rumah yang baru dia tinggali.

Baca juga  Tradisi Telur Merah

Saat Ali Ridho menemukan rumah itu dan memutuskan untuk menyewanya, dia telah mendengar banyak paparan dari pemilik rumah perihal kelebihan dan kekurangan, termasuk fakta yang tidak ditutup-tutupi, bahwa sepuluh tahun silam pernah terjadi peristiwa kebakaran di rumah itu—yang menewaskan seorang perempuan atau tepatnya seorang perempuan hamil delapan bulan. Rumah itu rata dengan tanah. Lantas pemilik rumah membangun ulang setelah sekitar tiga tahun dibiarkan terbengkalai ditumbuhi rumput dan belukar.

Setelah rumah dibangun, beberapa orang menyewanya. Ada yang betah sampai dua tahun, ada juga yang baru beberapa bulan lalu pindah, padahal sudah dibayar penuh. Beberapa penyewa mengatakan, ketika malam mereka seperti mendengar perempuan berteriak-teriak atau bayi menangis. Namun, beberapa penyewa lain tidak melaporkan keanehan apa pun. Rumah itu cukup nyaman dan harga sewanya terbilang murah. Alasan kedua itulah yang memantapkan Ali Ridho untuk teken kontrak.

Ali Ridho tak pernah peduli pada hal-hal mistis semacam itu. Istrinya juga demikian. Menurutnya, hal-hal semacam itu muncul dari pantulan diri dan sugesti-sugesti. Nyatanya, selama sepekan lebih tinggal di rumah itu semuanya berjalan lancar dan baik-baik saja.

Pekan berlalu dan bulan melaju, hingga perut istri Ali Ridho menggunduk seperti balon yang terus-menerus ditiup. Sungguh tidak mudah tinggal di perkotaan, pikir istri Ali Ridho. Para tetangga baru Ali Ridho bukanlah tipe orang yang suka mencampuri urusan orang lain. Bahkan ketika istri Ali Ridho berteriak minta tolong karena ketubannya pecah, tak seorang pun mendengar dan mengetuk pintu.

Saat kejadian itu, Ali Ridho masih di kantor, sebab hari perkiraan lahir masih satu pekan lagi. Istri Ali Ridho lupa meletakkan telepon genggamnya. Semenjak hamil, perempuan itu jadi mudah linglung dan pelupa. Sambil berjalan tertatih-tatih, dia berputar-putar mencari telepon genggam, namun tak juga menemukannya. Perempuan itu menangis, tidak kuat lagi jalan, hanya bisa melolong meminta tolong. Selangkangnya ngilu luar biasa, seperti mau dibongkar. Pelipis dan batok kepalanya berdenyut-denyut. Sekujur kakinya lunglai gemetar. Pada saat itulah, lamat-lamat, sambil mengendalikan rasa sakit, istri Ali Ridho melihat seorang tetangga datang tergopoh-gopoh. Seorang perempuan paruh baya dengan daster warna kuning menyala. Beraroma bunga.

Baca juga  Surga Terjanji

Perempuan itu memapah istri Ali Ridho ke ranjang. Membisikkan sesuatu ke teliganya. Memegangi tangannya. Memegangi keningnya. Memegangi perutnya. Memintanya mengambil napas. Memintanya mengejan. Berkali-kali. Sampai dia mendengar sendiri suara tangisan bayi. Sampai dia merasa lega seperti habis buang hajat. Lantas dia tertidur karena kelelahan dan rasa sakit.

Ketika dia membuka mata, Ali Ridho sudah berada di sampingnya. Ali Ridho menangis tersengguk-sengguk. Memegangi perut istrinya yang sudah kempis seperti balon bocor. Di sisi istrinya hanya ada lipatan selimut dan bantal guling. Tak ada bayi. Tak ada darah. Tak ada tanda-tanda orang habis melahirkan. Hanya ada basah di sekitar selangkangan.

“Di mana bayinya?” pekik istri Ali Ridho, panik dan ketakutan.

“Bayinya pindah rumah!” sahut perempuan beraroma bunga dengan daster kuning menyala yang berdiri di pojok kamar. Perempuan itu tertawa-tawa sambil mengusap-usap perutnya yang mengembung bagai hamil tua.

Ali Ridho memalingkan tatapannya ke pojok kamar. Tak ada apa-apa. Di sana, hanya baju-baju usai dipakai yang menggantung lunglai. Ada yang tidak tepat, pikir Ali Ridho. Seharusnya dia tidak meletakkan gantungan baju di situ.

“Jangan khawatir, aku akan memindah gantungan baju itu,” kata Ali Ridho dengan raut bersalah, seolah itu urusan hidup dan mati. ***

.

.

Malang, 2023

Mashdar Zainal, lahir di Madiun dan bermukim di Malang, Jawa Timur. Penyuka puisi dan prosa. Peggemar film dan rempah. Buku terbarunya Musim di Rambut Ibu segera terbit. Cerpen-cerpennya terhimpun dalam buku Cerpen Pilihan Kompas.

Pupuk DP, lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Tinggal dan berkarya di Yogyakarta.

.

.

Loading

Average rating 3.6 / 5. Vote count: 14

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!