Cerpen Yuditeha (Kompas, 11 Februari 2024)
SELALU ada masanya ketika semula dianggap orang biasa lantas muncul sebagai jagoannya. Seperti kisah ini, sudah selayaknya bila menjadi bagian Wanggi yang nyatanya waktu itu sepak terjangnya memang setaraf dengan kemampuan Raden Mas Said, terkhusus dalam hal bagaimana caranya menumpas pasukan Belanda. Atau bisa juga menjadi bagian Luwika, setidaknya untuk membuktikan bahwa dirinya memang pantas menjadi salah satu Demang terhebat di masa itu. Namun keduanya tidak menjadi yang utama dalam kisah ini.
Ada tokoh lain yang tidak banyak orang sadari keberadaannya, tapi ia seperti tiba-tiba muncul. Ia mendapat kesempatan menorehkan kisahnya untuk menjadi bagian dalam sejarah di masa ketika Luwika memerintah Kademangan Sukodono. Kademangan itu berhasil melakukan pembangunan dalam segala bidang dengan begitu pesatnya, bahkan menjadi satu-satunya kademangan yang pamornya hampir menyerupai pamor sebuah kerajaan.
Namun rupanya ada yang tidak suka dengan keberhasilan Kademangan Sukodono itu. Pasukan Belanda ingin menghancurkannya dengan berbagai cara, di antaranya beberapa kali mengirim para perusuh untuk membuat kekacauan, dan menyusun berita bohong—Kademangan Sukodono berencana melakukan makar—untuk bahan menghasut Kraton Sala.
Dilihat dari bergulirnya kisah ini tidak berangkat dari kedua nama besar itu. Cerita ini bermula dari kisah perihal Senjawa dan Senjawi, putri kembar Demang Luwika. Senjawa berperangai baik dan lemah lembut. Meski ia lebih banyak berdiam di griya kademangan, bergaul dengan para mbok emban di taman keputren, tapi sesekali ia tetap menyempatkan diri keluar sekadar untuk menyapa warga. Sementara Senjawi orangnya agak kaku dan perilakunya cenderung spontan. Ia lebih sering berada di luar griya kademangan dan menyukai kegiatan yang bersifat menantang. Bahkan Senjawi ikut bergabung menjadi anggota padepokan silat Lemah Ireng. Namun, meski secara fisik Senjawi sering bertemu dengan warga, bukan berarti semua orang menyukainya.
Meski Senjawa hanya sesekali keluar dari griya kademangan tapi kabar tentang kebaikan sifatnya membuat orang-orang ingin bertemu. Banyak orang justru penasaran dengan dirinya. Kabar tentang sifat baik dan halus tutur katanya menjadi penyebab munculnya rasa penasaran mereka. Selain itu orang-orang menganggap watak seperti itu dirasa lebih cocok untuk menggambarkan bahwa dirinya putri seorang demang. Karenanya banyak lelaki memberanikan diri berkunjung ke kademangan sekadar ingin berkenalan, bahkan beberapa di antara mereka ada yang bernyali besar, lantas meminta Senjawa untuk menjadi pasangannya. Namun dari sekian lelaki itu belum ada satu pun yang berhasil memikat hatinya.
Meski Senjawa dan Senjawi kembar, tapi nasib mereka tampaknya bertolak belakang. Dari kecil Senjawa sering mujur, di mana ia hampir selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Sementara keadaan Senjawi bisa dibilang berlaku sebaliknya. Namun ada yang tidak banyak orang sadari, meski perilaku Senjawi agak kasar hingga sering tidak teracuhkan tapi ia jarang membuat masalah, terkhusus kepada keluarganya, Bahkan ketika Senjawa sedang bernasib baik, ia tidak merasa iri atau bersedih. Ia pun berusaha tidak jengkel ataupun marah, terlebih kepada Senjawa. Senjawi menganggap kerukunan keluarga lebih penting dari segalanya. Salah satu contoh kepedulian Senjawi terhadap keluarganya saat Jejawu, kakaknya yang kondisi kejiwaannya terganggu, mati di medan pertempuran ketika Kademangan Sukodono berselisih dengan Kademangan Galanggang. Senjawi menyesalkan peristiwa itu. Ia mengakui bahwa pihak keluarga, termasuk dirinya, telah lengah menjaga Jejawu.
Peristiwa yang belum lama, ketika prajurit Kademangan Sukodono tidak bisa mengatasi serbuan gerombolan perusuh yang ingin menjarah hasil pertanian dan rempah, tanpa Luwika tahu, Senjawi telah menghubungi pimpinan padepokan yang berada di sekitar kademangan untuk dimintai bantuannya. Beberapa padepokan bersedia membantu, mereka lantas bersatu untuk memusnahkan para perusuh. Dua di antara padepokan yang bersedia bergabung itu antara lain Singensumonar, pimpinan Wanggi, dan Lemah Ireng, pimpinan Surangga.
Namun, meski para perusuh yang datang selalu dapat dikalahkan tetapi hal itu tidak bisa menyelamatkan tanaman padi dan rempah, karena sebelum para perusuh melakukan penyerangan lebih dulu mereka telah merusaknya. Keadaan itu mengakibatkan Kademangan Sukodono harus menemui kenyataan, beberapa kali mengalami gagal panen.
Karena beberapa kali Kademangan Sukodono bersinggungan dengan orang-orang padepokan membuat Senjawa dan Senjawi semakin sering bertemu dengan banyak lelaki. Hal itulah yang kemudian menjadi alasan mereka menemukan lelaki yang mereka anggap pantas untuk dicintai. Namun sayangnya lelaki yang Senjawa dan Senjawi cintai rupanya adalah orang yang sama, yaitu Wanggi, seorang pendekar, pimpinan Padepokan Singensumonar yang selama ini selalu siap membantu Luwika, bukan hanya saat menumpas para perusuh yang menjarah hasil tani dan rempah tapi juga hal lain, termasuk yang membantu merancang ulang bangunan kademangan.
Perbedaan nasib Senjawa dan Senjawi rupanya belum berhenti, dan kali ini dalam hal urusan lelaki. Senjawi tetap kalah dibandingkan Senjawa, karena kenyataan telah memberi jawaban bahwa cinta Senjawa lah yang tidak bertepuk sebelah tangan. Wanggi lebih memilih mencintainya. Senjawa dan Wanggi menjadi pasangan yang serasi.
Sementara, ketika Senjawi mendapati kenyataan pahit itu, hatinya tidak setenang seperti biasanya. Ada yang berkecamuk dalam dirinya. Senjawi merasa hal itu adalah kesedihan yang teramat dalam sampai membuat dadanya sesak. Saking sedihnya, sampai memunculkan keinginan untuk memisahkan hubungan mereka, bahkan godaan untuk merebut perhatian Wanggi selalu terngiang di benaknya. Hati Senjawi semakin pilu ketika suatu hari tidak sengaja ia mendengar perbincangan Senjawa dan Wanggi di taman keputren kademangan.
“Aku baru tahu, ternyata Senjawi pun mencintai Kang Wanggi,” kata Senjawa.
“Semoga dia bisa mengerti,” sahut Wanggi.
“Aku tidak tega, Kang. Dia pasti sangat sedih.”
“Lalu apa yang mesti kita lakukan?”
Senjawa tidak lekas menjawab pertanyaan Wanggi, bahkan suasana hening seakan menyelimuti seluruh ruang keputren. Sementara di balik taman itu Senjawi tidak kuasa untuk terus mendengar percakapan mereka. Ia lantas buru-buru berlalu, pergi meninggalkan kademangan. Baik Senjawa maupun Wanggi tidak menyadari bahwa percakapan mereka sempat terdengar oleh Senjawi.
“Bagaimana kalau Kang Wanggi sama Senjawi saja?” Wajah Senjawa lantas menunduk. Meski ucapannya pelan tapi seperti mampu memecah kesunyian. Sementara Wanggi terkejut lalu terdiam agak lama sembari matanya menatap lembut ke arah Senjawa.
“Atau kita berpisah saja, Kang?” kata Senjawa.
Mendengar itu Wanggi semakin terdiam, bahkan tanpa sadar sampai pertanyaan itu terlewat tanpa jawab.
Sementara Senjawi belum terlihat lagi di griya kademangan sejak kepergiannya usai mendengar percakapan Senjawa dan Wanggi kala itu. Bahkan sampai tiga hari berikutnya pun Senjawi tetap belum terlihat batang hidungnya. Kabar kepergian Senjawi semakin memperuncing pengertian warga bahwa Senjawi memang seorang putri yang suka bertindak seenaknya sendiri dan sulit diatur.
Ketika kademangan sedang riuh terkait menghilangnya Senjawi, para punggawa justru baru ingat bahwa esok hari adalah batas penyerahan upeti hasil pertanian dan rempah kepada Kraton. Hal itu disampaikan kepada Luwika. Sementara akhir-akhir ini Kademangan Sukodono sedang menerima sial, beberapa kali gagal panen, yang hal itu mengakibatkan tidak bisa menyerahkan upeti.
Terkait kewajiban membayar upeti, meski sebenarnya Luwika meyakini hal itu dapat menjadi kebiasaan buruk di generasi berikutnya, tapi Luwika berusaha memaklumi. Namun, untuk Upeti Putri, yang peraturannya berbunyi: Jika di suatu kesempatan kademangan tidak bisa menyerahkan upeti hasil pertanian dan rempah, kademangan itu harus mempersembahkan satu perempuan muda sebagai gantinya, Luwika tidak menyepakatinya. Luwika tahu, peraturan itu hanya akal-akalan pihak Belanda. Pikirnya, untuk menyelesaikan masalah ketidakmampuan kademangan menyerahkan upeti, hal itu dapat diatasi dengan cara sederhana, jatah upeti kali ini dapat dibayarkan pada saat jadwal pembayaran berikutnya.
Karena itu Luwika memegang teguh pendiriannya, menentang Upeti Putri. Saking kuatnya pendirian Luwika sampai ia mengeluarkan pernyataan bahwa Upeti Putri tergolong tindakan kejahatan. Kerasnya pernyataan Luwika memancing pihak Belanda mengambil tindakan tegas. Mereka akan mengirim beberapa prajurit Kraton dan sepasukan tentaranya untuk meminta upeti apapun secara paksa.
Karena adanya rencana tindakan Belanda itu, sebagian warga dan punggawa kademangan sempat berpikir bahwa kepergian Senjawi mungkin ada berhubungan dengan ketentuan tersebut. Karena Senjawi tidak ada, bisa jadi, ketika prajurit Kraton dan sepasukan Belanda datang keberadaan Senjawa menjadi terancam. Dengan melihat kemungkinan itu akhirnya Wanggi tidak tinggal diam. Gegas ia menggalang persatuan dengan beberapa padepokan untuk melawan mereka. Wanggi bersama prajurit kademangan, dan beberapa padepokan tergabung sengaja menunggu kedatangan mereka. Wanggi telah menyiapkan siasat agar ketika mereka datang, tak ada kesempatan untuk melakukan perlawanan. Cara itu sudah terbukti jitu, yang terakhir ketika mereka berhasil menumpas gerombolan perusuh yang waktu itu jumlahnya dua kali lipat dari sebelumnya.
Kembali perihal nasib, sebenarnya Senjawi bukanlah tidak pernah mendapatkan keberuntungan atau katakanlah hal baik. Memang belum ada yang tahu tentang apa yang terjadi antara dirinya dengan Surangga, pimpinan Padepokan Lemah Ireng di mana Senjawi belajar silat. Sesungguhnya sebelum Wanggi dan Senjawa menjadi sepasang kekasih, Surangga sempat menyampaikan cintanya kepada Senjawi. Namun Senjawi menolak karena ia merasa lebih mencintai Wanggi. Meski mendapat penolakan, Surangga tidak marah, tapi ia meminta kepada Senjawi untuk merahasiakan kejadian itu, dan Senjawi menyepakatinya.
Perginya Senjawi dari kademangan rupanya tidak terlepas dari rahasia tersebut dan perihal ketentuan Upeti Putri. Senjawi sengaja pergi ke padepokan Lemah Ireng untuk menemui Surangga. Kepada Surangga, ia menyampaikan dua hal yang ia anggap penting. Pertama, ia meminta izin untuk sementara waktu tinggal di padepokan Lemah Ireng. Kedua, ia akan menerima cintanya asalkan Surangga berhasil mencegah prajurit Kraton dan sepasukan tentara Belanda tidak sampai menginjakkan kakinya di tanah Kademangan Sukodono, dan Surangga menyanggupinya. ***
.
.
Yuditeha, penulis yang tinggal di Karanganyar. Pendiri Komunitas Kamar Kata.
Polenk Rediasa, lahir di Tambakan, Buleleng, 18 Maret 1979. Perupa dengan nama asli I Nyoman Rediasa ini menjadi dosen seni rupa di Universitas Ganesha, Singaraja. Ia menempuh pendidikan seni mulai dari SMSR Denpasar, ISI Denpasar, dan pascasarjana Kajian Budaya, Universitas Udayana Denpasar. Ia melukis pada medium kanvas, kertas, dan tubuh (body painting).
.
Upeti Putri. Upeti Putri. Upeti Putri.
Leave a Reply