Cerpen Bagus Dwi Hananto (Koran Tempo, 11 Februari 2024)
BERIKUTNYA yang hilang adalah sesuatu semacam pasta warna hijau dan rasanya pedas. Kemarin dulu kita biasa membubuhkannya pada hidangan mentah hasil perairan Jepang dan sejenisnya. Wasabi, namanya waktu itu. Kalau menyangkut makanan, kita juga sudah kehilangan yang namanya acar jahe, katsuobushi, konbu, acar daikon, dan inarizushi. Semuanya tertera di buku catatanku. Meski aku sudah lupa apa yang dimaksud acar jahe, sudah lama sekali. Nama itu tak menghadirkan kesan lagi, sebagaimana benda-benda lain yang lebih dulu menghilang.
Sudah berapa tahun benda-benda mulai menghilang? Aku tidak ingat. Sekali waktu aku bertanya ke pacarku, Ikuko, sudah sejak kapan. Dia bilang rasanya sudah semenjak kita kecil, atau jauh sebelumnya.
Kami tinggal bersama di gedung apartemen di Shibaura. Jalan setapak berpaving di samping apartemen kalau pagi biasanya sepi sekali dan kerap kami pakai untuk lari menyegarkan badan. Di samping jalan ada kanal dan jembatan putih, di sepanjang jalan terdapat deretan pohon sakura. Jalan ini sangat kusukai. Dan sering aku berharap jangan sampai bunga sakura ikut menghilang.
Untuk binatang, kita sudah kehilangan kucing Persia, kumbang scarab, anjing dachshund, rusa, bulu babi, kelelawar, ikan bream, dan gurita. Nama-nama hewan itu sudah tidak meninggalkan kesan maupun bentuk, sekuat apa pun masyarakat Jepang berupaya mengingatnya. Kalau tanaman baru, pohon ginko. Untuk pohon ini, dalam buku catatan aku membubuhi kalimat: Pohon ginko. Istimewa buat orang Jepang. Punya sejarah panjang. Khas bagi Jepang, tak ubahnya sakura. Walaupun aku sudah lupa bentuk dan impresi yang dihasilkan dari penyebutan nama pohon tersebut, di dalam daftar kehilangan segala sesuatu yang kususun dalam buku besar, nama pohon ini kutulis tebal-tebal.
Kita juga sudah kehilangan tokonoma. Meski sudah kububuhi keterangan dalam buku catatan tebalku bahwa yang disebut tokonoma adalah ceruk di ruangan biasa untuk memajang bunga atau lukisan gulung, aku tetap tidak bisa mengingatnya sebagaimana biasa. Dan mengikuti hilangnya tokonoma, hilang pula washitsu. Namun ini tidak sebegitu persoalan buatku. Sebab, aku dan sebagian besar orang Jepang sudah tidak tinggal di rumah tradisional. Di dalam catatan kububuhkan kalimat: Apartemen tidak lagi mengenal washitsu saking sempitnya. Apartemen memaksimalkan ruang yang hanya sedikit. Toh, apartemen tidak berlantaikan lembaran tatami. Boleh jadi tidak ada yang mencemaskan kehilangan yang satu ini. Kita sudah tidak bisa mengingat sesuatu yang telanjur hilang.
Selain kehilangan benda dan binatang, pernah ada pula kasus khusus. Kehilangan manusia. Kita sampai lupa betul. Dia orang mahapenting di pemerintahan padahal. Perdana Menteri S. Kita melupakan orang itu. Benar-benar melupa. Keluarganya lupa bahkan. Aku ada mencatat perdana menteri dengan huruf besar-besar berikut masa jabatannya dan jasa-jasanya selama ini, tetapi dia pun terlupakan. Sekalipun bila menjadi perdana menteri, kehilangan juga bisa menimpamu. Meski kita melupakannya, kadang ada rambu di sekitar stasiun yang mengingatkan untuk selalu berhati-hati dan waspada agar tidak menghilang, imbas kasus aneh ini. Namun terhitung semenjak menghilangnya orang penting di pemerintahan Jepang yang diganti oleh orang penting lainnya dengan begitu cepat—kasus orang hilang teramat sangat jarang terjadi.
Memikirkan kehilangan malah membuatku lapar. Aku memanggil Ikuko. Kutawari ramen sekalian aku mau buat. Dari ruang kerjanya dia bilang tidak usah. Menatap bungkus ramen gekikara, aku jadi teringat sesuatu. Sepertinya kutinggalkan di sebelah rak sepatu. Boneka daruma yang kubeli kemarin. Kuambil boneka itu dan melangkah ke ruangan Ikuko. Kupamerkan apa yang kemarin kubeli.
Ikuko menarik kepalanya menjauh dari layar komputer, lalu membenahi letak kacamatanya sembari menghela napas. Dia sudah tahu ada daruma sejak kemarin tentu saja. Toh, dia jarang pergi keluar rumah. Dia bekerja di dalam ruangan seharian. Cuma aku yang sering keluyuran sebagai sales produk elektronik.
“Kemarin aku beli,” cetusku.
“Kenapa beli begini segala?” tanya Ikuko.
“Asal saja. Dulu aku ingat pernah melukis mata daruma. Tapi sudah lupa mengharapkan apa.
Kudekatkan daruma di sekitar meja Ikuko. Dia mengusap kepala daruma sembari tersenyum. Aku ikut senang.
“Kalau kau menyodorkan ini buat aku lukis, maaf. Aku belum ada keinginan melukis mata daruma. Mungkin nanti kalau ada waktu. Aku tidak tahu mesti memohon apa,” ujar Ikuko.
“Bagaimana kalau kesehatan?”
“Hmm, rasanya terlalu umum. Meski tidak ada yang spesial dalam hidupku.”
“Apa aku tidak spesial bagimu?” tanyaku.
Ikuko tersenyum tipis. Aku memijat bahunya. Sepertinya sudah tegang akibat menatap layar komputer lama-lama.
Ikuko mendongak menatapku.
“Hidupku lancar-lancar saja. Aku juga senang tinggal denganmu. Jadi tak ada yang kuharapkan lagi. Ketimbang mengecat mata daruma, lebih baik mengerjakan hal lain.
Ucapannya membuatku agak kurang semangat. “Aku sudah telanjur beli,” kataku lirih.
Ikuko menyadari kemurunganku dengan mengendurkan bahu. Dia tersenyum seraya menggenggam tanganku. “Mungkin nanti, ya,” ucapnya.
Aku pun memaklumi. Pekerjaannya menumpuk dan tidak bisa ditinggal begitu saja.
***
Apa yang membuat pekerjaan sales barang elektronik sebegitu menantang. Cuma satu: keberanian menyelipkan kaki secara tangkas di celah pintu rumah orang yang kautawari produkmu. Beragam reaksi kuterima begitu kugunakan jurus andalan sales begini. Ada yang marah. Ada yang sabar menahan marah. Ada yang tertawa melihat kekukuhanku berusaha menawarkan barang. Ada juga yang menekan kakiku dengan menjepitnya seakan lupa ada kaki terselip di celah pintu rumahnya. Meski begitu, aku harus tahan karena, kalau tidak rajin, perusahaan tidak akan lagi menggunakanku. Performaku harus tetap dipertahankan dan aku harus pandai berbicara dengan calon pelanggan.
Aku buru-buru menyelipkan kaki ke sepatu dengan bantuan sendok sepatu.
Aku harus segera berangkat. Ikuko menyemangatiku dari belakang sembari menyesap kopi pagi.
“Aku berangkat.”
“Hati-hati di jalan.”
“Iya.”
Cuaca sepertinya cerah. Aku tidak sempat menonton ramalan cuaca di teve pagi tadi. Namun kuyakin cuaca sedang bagus. Orang Jepang sudah bangun pagi sekali dan jam segini jalanan sudah ramai orang berangkat memulai hari. Kalau dipikir-pikir, keramaian jalanan di negeri Jepang bisa saja membuat orang asing kebingungan sekaligus takjub. Orang pergi ke berbagai arah, yang seorang punya tujuan berbeda dari orang lain. Semua tercerai-berai dan pergi ke arah yang masing-masing mereka yakini bakal menghadirkan makna. Sepertinya kalau menyangkut jalanan Jepang, ada beberapa hal yang juga sudah hilang. Hmm, coba kuingat-ingat. Kalau tidak salah, ada satu-dua tanda rambu sudah hilang.
Dulu sekali sewaktu aku bepergian naik kereta bersama orangtuaku, aku sering mencatat berbagai situasi dalam ramainya orang menaiki transportasi massal. Ada ibu-ibu yang kewalahan sendiri mengurus banyak anak; ada kakek-kakek yang kesulitan menentukan tempat duduk, mungkin pandangannya buram, aku menduga-duga. Ada pula orang yang terlihat menyeramkan kalau diperhatikan betul-betul. Atau mungkin kesan seram hadir apabila kita memperhatikan orang secara cermat untuk waktu lama, entahlah. Aku mencatat situasi orang-orang, aku lupa untuk tujuan apa tepatnya aku melakukan hal demikian. Ayah dan ibu senantiasa mengajakku piknik ke tempat-tempat jauh bila ada waktu, dan kurasa waktu itu kebiasaan mencatat situasi orang tanpa tujuan begitu timbul begitu saja secara alami.
Entah sudah berapa lama aku tidak menengok ayah dan ibu. Kurasa mereka tetap rukun sebagaimana dulu waktu aku masih bocah. Nyaris tidak ada pertengkaran pecah di antara mereka. Kalau dipikir-pikir agak mengherankan juga. Sebab, selain mengunjungi tempat-tempat yang jauh dengan kereta, kami kerap pindah-pindah rumah lantaran pekerjaan ayah. Sepertinya aku dan ibu tidak pernah memprotes bagaimanapun keadaannya waktu itu. Aku memikirkan mereka sampai hampir lupa waktu.
Kemudian di setengah perjalanan, sesuatu menyentak kesadaranku. Betapa aneh aku membawa-bawa benda ini sejak keluar apartemen. Barangkali aku orang se-Jepang yang pergi keluar rumah sambil membawa sendok sepatu. Nyaris sampai stasiun padahal. Kuperiksa jam tangan. Sudah setengah jam. Tapi aku tidak ingin direpotkan benda seremeh ini. Aku memutuskan pulang dulu.
Jalan setapak samping apartemen sudah ramai orang. Angin berembus sedikit, hari masih terasa dingin. Aku memasuki unit apartemen tempatku tinggal. Begitu kuletakkan sendok sepatu, aku mendapati ada sepatu yang tidak kukenal di genkan. Jarang sekali kami kedatangan tamu. Aku memanggil-manggil Ikuko. Tidak ada jawaban. Aku naik ke lantai dua dan terdengar suara decit dari arah kamar. Firasatku kadung buruk. Dadaku sesak. Kukuak pintu sedikit, jangan sampai menimbulkan suara. Air mataku langsung menitis. Aku menyaksikan Ikuko sedang dengan lelaki yang tidak kukenal. Dari posisi tubuhnya, dari mukanya yang mendongak menghadap langit dengan mata setengah terpejam, dia seolah-olah sudah lupa dunia. Langit seakan runtuh menimpaku.
Yang kulakukan selanjutnya hanya lari sejauh mungkin. Sekencang-kencangnya.
***
Perjalananku terasa berat. Seperti sesuatu yang sarat menghinggapi punggung. Aku tidak tahu harus ke mana setelah kudapati hal yang begitu menyesakkan dada. Mungkin aku bisa kembali ke rumah orangtuaku sebagaimana hari-hari lalu pada saat aku belum bekerja dan uangku habis. Walau ingin menengok mereka sekaligus menghilangkan rasa perih di dada, tetapi kembali ke rumah orangtua setelah sekian lama rasanya kurang nyaman, kendati aku kini merindukan mereka. Aku tidak tahu harus ke mana.
Ikuko beberapa kali meneleponku. Tapi kuputuskan sudah tak ingin terlibat lagi dengannya meski rasanya menyakitkan. Aku bertanya-tanya: Kenapa? Semenjak kapan? Apa yang sebenarnya terjadi? Namun, tentu saja tidak ada jawaban. Yang biasanya mesti dilakukan bila ada kejadian begini dalam hubungan asmara adalah duduk bersama dan saling berbincang untuk tahu pangkal masalahnya. Namun aku memilih pergi sejauh mungkin.
Aku menunggu kereta cepat di peron. Kereta pun tiba. Kulangkahi garis batas kuning yang memisahkan badan kereta dengan peron. Aku belum tahu hendak ke mana. Tapi, untuk sekarang, jalan terbaik yang bisa kupikir adalah meninggalkan segala-galanya.
***
Rentetan kehilangan tak henti-henti menerpa hidup. Setelah sekian lama, tahu-tahu aku memutuskan pulang ke apartemen di Shibaura dalam perjalanan naik kereta. Sesampainya di sana, aku lantas menguak lagi buku catatan yang sudah lama kutinggalkan. Aku seperti kehilangan sesuatu. Seseorang. Alasan apa yang membuatku meninggalkan apartemen ini sekian lama? Ada orang yang membuatku terluka. Namun aku lupa siapa dia. Ingatanku telah tergerus sampai-sampai melupakan namanya. Bisa saja dia orang yang sedemikian berharga bagiku. Akan tetapi, yang keliru adalah belum sempat kububuhkan namanya ke dalam buku catatan.
Boneka daruma di meja kerja depan komputer sudah memiliki sepasang mata. Namun, sekuat apa pun berupaya mengingat, aku kurang yakin siapa yang melukis sebelah matanya. ***
.
.
Bagus Dwi Hananto, lahir dan tinggal di Kudus, Jawa Tengah. Menulis prosa dan menerjemahkan. Novelnya yang telah terbit berjudul Tokyo Red.
.
Sejumlah Kehilangan. Sejumlah Kehilangan. Sejumlah Kehilangan. Sejumlah Kehilangan. Sejumlah Kehilangan. Sejumlah Kehilangan.
Leave a Reply