A Warits Rovi, Cerpen, Rakyat Sultra

Perempuan yang Menggambar di Tanah

Perempuan yang Menggambar di Tanah - Cerpen A Warits Rovi

Perempuan yang Menggambar di Tanah ilustrasi Istimewa

0
(0)

Cerpen A Warits Rovi (Rakyat Sultra, 29 Januari 2024)

DINDING tua rumah Hanok yang berbata merah ini seperti sia-sia menepis tusukan dingin. Malam sedemikian pekat seperti menggulirkan kelereng salju lewat jendela kecil yang tertutup senyap. Ini rumah hanok kesekian yang kuidamkan setelah kepincut rumah-rumah hanok tua yang cantik di Desa Bukchon Hanok. Eun-Kyung sengaja menyewa rumah ini kepada salah seorang temannya khusus untukku setelah kami saling kenal dan saling karib usai bertemu di Sungai Han Gang.

Ingat Sungai Han Gang, pasti sosok wajah Eun-Kyung yang akan menelusup dalam ingatanku. Wajah yang cantik alami dengan bibir sesisir jeruk, basah, dan merah tepat di bawah hidung mancungnya, di antara kenyal kulit putih bersih, mata sipitnya selalu menampakkan nyala api semangat. Pantas saja, ia bernama Eun-Kyung, yang bermakna permata yang anggun. Kala itu, ia duduk santai di sepeda ontelnya sembari memegang setangkai bunga cherry blossom. Rambutnya yang lurus sebahu kadang disapu angin hingga menyampiri wajahnya. Dialah wanita pertama tempatku bertanya banyak hal tentang penelitianku, dia pun menjawabnya dengan lancar dan ilmiah. Keesokan harinya, aku bertemu lagi di tempat itu, begitu setiap hari. Kami seolah sengaja menjadwal pertemuan meski tanpa janji. Kami pun karib dan mulai menembakkan kalimat-kalimat pujian hingga suatu waktu Eun-Kyung membisikkan sesuatu kepadaku.

“Aku ingin suatu saat nanti, kamu dan aku satu hati dan suatu waktu, kita akan menulis nama kita di Menara Namsan Seoul agar hubungan kita abadi,” ia berbisik lembut saat kami menikmati sore di Taman Namsan. Aku melirik wajahnya sembari mengangguk. Kami pun menghabiskan waktu sore dengan jalan kaki. Sebelum kami berpisah, Eun-Kyung mengajakku makan bibimbap; makanan khas Korea berupa nasi campur. “Bibimbap adalah nasi campur, ini adalah filosofi cinta kita, dua hati yang bercampur jadi satu,” ungkap Eun-Kyung saat itu, bibirnya matang, matanya cerlang.

***

Malam kian sepekat bubuk kopi. Eun-Kyung membaca sebuah buku di dekat pintu. Laporanku sudah selesai dikirm ke email Pak Rahmat di Indonesia, besok dan sekitar 2 bulan lagi aku harus terus melakukan penelitian tentang laju pariwisata di Korea. Berhubung malam ini sudah santai, pikirku, tak apa memotong kuku demi kebersihan dan kerapian tubuh ini di negeri orang.

Ketika bunyi patahan kuku terdengar di ujung pemotong, aku takpaham, kenapa Eun-Kyung seketika berhenti membaca. Ia lalu mondar-mandir seperti merasakan sebuah ketidaknyamanan. Matanya yang bening permata seolah dilanda bah busuk dari hulu sungai yang tercemar, agak beku dan sering melirik ke arahku. Bibir mungilnya nyaris mengeluarkan kata-kata, tapi ia terlihat sungkan.

Baca juga  Karma Darah Mela

Bunyi pemotong kuku terus menyertai suara detak jarum jam. Potongan kukuku berjatuhan memenuhi bagian bawah jaket yang mendatar, sebelum akhirnya kupungut dan kutampung pada selembar kertas bekas. Hanya tinggal di dua jari kaki, pemotong kuku sudah kukatupkan pada bagian ujung, tapi lekas Eun-Kyung menghampiriku, ia jongkok dan matanya yang sipit menatap tajam ke wajahku.

“Jangan teruskan,” suaranya agak keras sambil merampas pemotong kuku di tangan kananku dan memasukkannya ke dalam saku jaketnya.

“Hanya tinggal dua jari, ayolah!”

“Jangan!”

Mata Eun-Kyung membidik lurus. Aku hanya bengong, apa ia tidak tahu betapa gilanya aku kalau hanya membiarkan dua jari kaki bertudung kuku, lagi pula hitam dan berdaki.

“Kenapa?”

“Aku takingin kau mati.”

“Maksudmu?”

“Menurut mitos bangsa kami, orang yang memotong kuku malam hari maka potongan kuku itu akan dimakan tikus, lalu ia menjelma manusia yang akan mengambil jiwa si pemilik kuku,” Eun-Kyung menjelaskan dengan suara serius tanpa koma.

***

Sejak Eun-Kyung melarangku memotong kuku malam-malam, aku berkesimpulan bahwa ikatan cinta dari dua latar kebudayaan yang berbeda harus dilandaskan pada saling memahami dan menghargai.

Kami berjalan di Namsan Park, bulan April membuat bunga cherry blossom memayungi para pengunjung melalui runduk dahan dan ranting yang menjilat lesapan angin. Sekawanan remaja yang berjalan ke arah timur sedang menyanyikan lagu “Say My Name”. Di punggungnya ada ransel besar, sepertinya mereka adalah orang-orang yang singgah di taman itu sebelum mendaki Gunung Nam.

Kami duduk di bangku berkaki besi dan sandarannya terbuat dari kayu. Wajah Eun-Kyung mendongak pada kelopak bunga cherry blossom yang digoyang angin, sedang tangannya memegang sepotong ranting. Ketika Eun-Kyung menunduk, dengan ranting itu, ia menggores sisa tanah di atas paving. Aku jadi teringat pesan ibu, jika seseorang suka menggores tanah, ia akan ditinggal mati ibunya. Kuceritakan hal itu kepada Eun-Kyung, tapi dia tertawa terbahak-bahak dan memencet hidungku. Katanya, pikiranku kampungan.

Eun-Kyung terus menggerakkan ranting itu hingga membentuk sketsa kelopak bunga cherry blossom kesukaannya dengan arsiran tipis pada bagian samping menyerupai rumbai daun. Ia pun lanjut bercerita tentang keluarganya yang memang hanya tinggal ibunya di rumah. Katanya, ia keturunan marga Kim dari garis ibu, sedang ayahnya orang biasa dan telah meninggal dalam sebuah kecelakaan saat dirinya masih berumur 6 tahun.

Baca juga  Hikmah

“Ibuku masih sehat takmungkin dia mati meski aku mencorat-coret tanah. Mitos nenek moyangmu itu tidak masuk akal, Fikri,” ledek Eun-Kyung kepadaku.

“Yang namanya mitos tentu tidak masuk akal, Yung.”

“Tapi, aku yakin, ibuku tidak apa-apa.”

“Syukur kalau begitu.”

***

Semakin hari, Eun-Kyung semakin memberi banyak larangan kepadaku atas nama mitos leluhurnya. Katanya itu semua ia lakukan karena sayang kepadaku agar tidak kena petaka. Aku dilarang bersiul malam-malam karena bisa memanggil ular dan hantu. Saat duduk di bangku taman, aku dilarang menggoyang-goyangkan kaki, katanya bisa mengugurkan kejayaan dan kekayaan. Ia pun pernah menyuruhku minta ganti nomor urut penelitian karena namaku berada di angka empat dari beberapa angka lain yang sudah dicantumkan nama peneliti lain yang ditugas ke negara lain. Kata Eun-Kyung, angka empat adalah angka sial. Menukar angka empat saat itu sungguh memusingkan kepala dan cukup membuatku malu. Andai bukan Eun-Kyung yang menyuruhku, pasti aku tidak menyanggupinya. Dan entah karena faktor apa, kemujuran benar-benar kurasakan saat itu dan petaka seolah menyingkir dengan sendirinya.

Sementara ia sendiri tetap tak mematuhi laranganku. Ia tetap gemar menggambar di tanah dengan ranting bunga cherry blossom dan yang ia gambar adalah kelopak-kelopak bunga itu hingga tampak bertebaran di datar tanah. Biasanya Eun-Kyung menggambar bunga kesayangannya itu di tanah pada bulan-bulan selain Maret dan April, sebab pada bulan-bulan itu bunga cherry blossom tidak ada. Rantingnya hanya diam dalam jamah musim gugur, panas, dan musim salju. Sebagai kekasih, aku selalu khawatir dengan mitos yang kupercaya di Madura, bahwa kalau seseorang mengoret-oret tanah maka akan membuat ibu si pengoret tanah itu meninggal.

“Fikri, kaulah cherry blossom-ku yang selalu mekar di segala waktuku,” suara Eun-Kyung lembut di antara silir angin, matanya tetap menatap ke bawah, pada sketsa bunga cherry blossom yang ia oret di tanah.

“Jika aku bunga Cherry Blossom, kaulah tangkainya. Apalah arti bunga tanpa tangkai,” aku menjawab sembari membelai rambut Eun-Kyung yang kemerahan.

***

Saat itu bulan November. Aku merasa heran ketika Eun-Kyung menemukan setangkai bunga cherry blossom tengah rekah dan tampak segar pada pohon kecil di belakang rumah hanok milik temannya itu. Padahal saat itu, musim gugur seperti gunting ajaib yang mencukur daun dan bunga.

Baca juga  Sepucuk Surat

Eun-Kyung memetik bunga itu dengan wajah semringah. Beberapa kali ia bersorak dan bertepuk tangan, takcukup dengan itu, ia melompat-lompat dan berlari mengelilingi pekarangan sambil meneriakkan nama bunga itu. Aku pun ikut bahagia melihatnya sambil menyusun laporan di bagian depan rumah hanok yang berbatas langsung dengan sarangchae.

Setelah agak kelelahan dan napasnya tersengal, Eun-Kyung duduk berselonjor kaki di dekatku. Butiran keringat melumasi wajah putihnya. Ia meletakkan bunga cherry blossom itu di apitan jari tengah dan telunjuknya, bercerita banyak tentang bunga itu, bahkan terdengar seperti membaca sebuah monolog yang mirip puisi di dekatku. Lalu, telepon genggamnya berbunyi. Lekas ia menerima sebuah panggilan itu dan menempelkan telepon genggam itu ke telinganya.

Setelah sedikit berbicara, sepasang mata Eun-Kyung yang sipit mendadak sunyi, menatap kosong ke cakrawala, keningnya berkerut, dan air matanya menetes. Ia tak hirau lagi pada lawan bicaranya.

“Ada apa, Yung?” tanyaku pelan.

“Ibuku… me… me… meninggal da… dalam sebuah ke… ke… kecelakaan,” suaranya terpatah-patah. Wajahnya suram, seperti tanah yang selalu dioret-oret beberapa hari sebelumnya. ***

.

.

Gaptim, 2023

A Warits Rovi lahir di Sumenep, Madura, 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, dan artikel memenangkan beberapa sayembara dan dimuat di berbagai media, antara lain: Kompas, Tempo, Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, Majas, Sindo, dan Femina. Ia memenangkan beberapa lomba karya tulis sastra. Buku cerpennya yang telah terbit Dukun Carok & Tongkat Kayu (2018). Buku puisinya adalah Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki (2020), Bertetangga Bulan (2022). Sedangkan, buku puisinya yang berjudul Ketika Kesunyian Pecah Jadi Ribuan Kaca Jendela memenangkan lomba buku puisi Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto 2020. Ia mengabdi di MTs Al-Huda II Gapura dan berkesenian di Sanggar 7 Kejora, juga di Komunitas Damar Korong. Berdomisili di Sumenep Madura.

.
Perempuan yang Menggambar di Tanah. Perempuan yang Menggambar di Tanah. Perempuan yang Menggambar di Tanah. Perempuan yang Menggambar di Tanah.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!