Cerpen Tanti Kuben Koko (Pikiran Rakyat, 24 Februari 2024)
MORRIS melirik jam tangannya, masih terlalu pagi untuk sekadar mengirim pesan singkat: lagu yang asyik didengar pagi ini, semoga bikin kamu semangat. Sebuah link lagu menyusul ia kirim.
Berulang-ulang lagu bernuansa jazz itu didengarkan. Menyadari bahwa pada akhirnya ada seorang perempuan yang menyukai playlist lagu yang sama dengannya, membuat Morris lebih rajin mencari lagu bernuansa sama dan menyimpannya. Iya, hanya dengan menyimpannya sudah membuat hatinya hangat karena merasa ada seorang lain yang sama-sama menyukai lagu itu.
Pagi itu suasana seperti biasa pikuk dan semua orang tampak sibuk memeriksa jam tangan memastikan mereka tidak ketinggalan kereta. Morris biasa tiba di stasiun pukul 7 pagi, jam-jam banyak orang menanti kereta lalu berangkat pukul 7.30 menuju Tanah Abang dan disambung ojek online menuju tempat kerjanya. Rutinitas yang dilaluinya tiap pagi, sempat membuatnya bosan luar biasa.
Sampai akhirnya tiba saat itu. Saat-saat yang menyenangkan karena tanpa sengaja Morris berkenalan dengan seorang perempuan di sebuah komunitas audio dan musik. Komunitas online yang berisi para pecinta audio dan musik. Ke mana saja selama ini dan Morris baru menemukan sosok unik itu saat hidupnya sedang hambar sehambar-hambarnya?!
Pagi ini Morris lebih pagi tiba di stasiun, pukul 6.40. Ia kembali melirik jam tangan dan pesan yang dikirim sejak sepuluh menit lalu itu. Belum dibaca, apalagi dibalas.
“Lima menit lagi. Sabar, Morris,” bisiknya dalam hati.
Ting!
Bunyi balasan yang ia tunggu.
“Pagi, Sayang!”
Kalimat pendek, tapi bikin jakunnya naik turun sepagi ini. Hatinya menghangat ketika membalas kembali pesan itu.
“Suka lagu barusan?”
Sekian menit berlalu, tak ada balasan.
“Tiar?”
Morris mengetik dengan terburu-buru. Ia sangat menantikan obrolan pagi mereka jelang keberangkatan keretanya.
“Aku sudah dengar, Sayangku. Makasih, ya? Tuh, aku kirim lagu kita.”
Sebuah link lagu diterima Morris. Bola mata Morris membulat. Waktu terasa cepat sekali berlalu. Lagu ini adalah lagu yang pertama mereka dengar dalam waktu bersamaan, di tempat yang tentu saja berbeda.
Tawa lepas mereka ketika tahu dalam waktu yang sama sedang mendengarkan lagu itu: Loving You is Like Playing a Losing Game, lagu santai yang jarang orang dengar.
Percakapan mereka mengalir terus pagi itu. Morris menikmati kalimat demi kalimat manja yang Tiar kirim untuknya. Imajinasinya menjadi liar membayangkan pertemuan yang entah kapan bisa mereka wujudkan. Lamunannya buyar, bunyi kereta dari kejauhan sudah samar terdengar. Morris seperti tak mau mengakhiri semua. Tiar sudah mulai berpamitan juga. Ia memang biasa berangkat tiap pukul 8, mereka seperti menemukan kebiasaan mengasyikkan tiap pagi sebelum perjalanan.
Selama dua puluh lima hari kedekatan Morris dan Tiar makin lama makin dalam, tanpa saling ucap ingin bertemu, hanya menikmati satu jam tiap pagi. Tak ada percakapan selain satu jam pagi itu. Tak ada percakapan di malam atau siang hari. Morris atau Tiar seperti tak ingin merusak suasana romantis mereka dengan terus menerus berkirim rindu lewat percakapan maya itu.
***
TIAR melirik jam tangannya. Sore itu ia merasa gelisah, jarinya ragu mengetik pesan. Jam-jam ia akan pulang dan kemungkinan besar Morris pun di dalam kereta pulang karena saat itu sudah pukul 6 sore.
Tiar nekat. Ia berkirim pesan.
“Di kereta, Sayang?”
Tiar menunggu balasan. Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit. Ah, sudahlah. Ini kali ketiga Tiar mengirim pesan sepulang kerja tanpa ada balasan hingga keesokan paginya Morris yang berkirim pesan tanpa membahas pesan yang ia kirim sore itu.
Tiar kembali ke mejanya dengan gelisah. Sebenarnya ia ingin bertanya alasan Morris tak pernah membalas pesannya selain pagi hari. Tapi sempitnya waktu mereka di pagi hari betul-betul mengalihkan rasa ingin tahunya.
Laptopnya masih menyala, Tiar iseng membuka laman media sosialnya. Ia meng-klik akun dengan nama Morris Eduardi. Rasa penasarannya sudah mengalahkan rasa cueknya dengan segala informasi tentang sosok Morris.
Ia menggali semua informasi dan matanya terbelalak ketika berhenti pada tahun 2010. Album fotonya menampilkan foto satu keluarga: Morris bersama seorang perempuan di sampingnya, seorang anak perempuan berambut pirang digendong Morris. Ya, perempuan di samping Morris sepertinya orang Jerman dan mereka tampak bahagia.
Tapi bukan pemandangan romantis itu yang membuat Tiar terkejut. Ada sebuah posting-an dari seseorang lain di beranda Morris dan isinya cukup bikin Tiar ingin secepatnya menutup laptop dan pulang terbirit-birit.
Tiar merasa sesak. Ia menahan tangis sambil memegang hp-nya dengan gemetar. Selama ini Tiar bermesraan di setiap percakapan dengan siapa? Morris sudah meninggal empat belas tahun lalu dalam kecelakaan pesawat menuju Indonesia.
***
MORRIS melangkah bergegas. Jam tangannya menunjukkan pukul 7 pagi. Tiar pasti sudah menunggunya. Ia hanya ingin menghubungi perempuan itu di stasiun tempat ia biasa menunggu kereta. Tak ingin tempat lain.
“Pagi, Tiar. Kamu semangat ya, aku temani deh sambil dengar lagu ini coba.”
Di seberang, Tiar gemetar. Ia tak ingin membalas pesan Morris lagi. Siapapun itu, Tiar merasa patah hati bahkan sebelum mereka benar-benar bertemu.
Morris menunggu dengan tak sabar. Ia cemas Tiar lama menunggu dan melewatkan percakapan pagi mereka.
“Tiar?”
“Tiar? Sudah pergi, Sayang?”
Tak ada jawaban. Morris melangkah lemas menuju kereta yang sudah datang. Ia tak peduli dengan dorongan orang yang berebut masuk ke dalam kereta. Hatinya patah.
***
SUASANA kantor Morris sangat sejuk, tapi tidak dengan hati Morris. Ia sudah nekat menghubungi Tiar, tapi tak ada jawaban satu pun.
“Hei, Morris! Kok, bengong? Ngapain?”
Morris tak peduli ketika temannya menepuk punggungnya sambil memanggil namanya.
Apakah aku harus kehilangan orang yang sudah membuatku bisa bangkit dan melupakan sejenak peristiwa empat belas tahun itu, peristiwa yang membuat adik kembarku hilang, Tuhan? Saudara kembarku, Dorris….
***
DI kamarnya, Tiar menatap langit-langit. Ia sudah mantap akan memutuskan segala kontak dengan Morris. Ia bahkan akan berhenti mendengarkan lagu-lagu mereka, menghapus semua percakapan mesra mereka yang seumur jagung, panggilan-panggilan sayang mereka. ***
.
.
Tanti Kuben Koko, seorang penikmat musik bernuansa jazz dan romantis, meskipun menurutnya dia enggak romantis. Kuben adalah seorang mantan editor buku dan masih sebagai QC di Bili Bili Comic dan Web Novel. Sehari-hari Kuben bisa ditemui di kantornya sebagai seorang analis sosial media monitoring di Bandung.
.
Kita Hanya Punya Waktu Satu Jam. Kita Hanya Punya Waktu Satu Jam. Kita Hanya Punya Waktu Satu Jam.
Jenka Restia
Membaca cerpen ini seperti beli cilok dua ribuan di pinggir jalan. Ya rasanya gitu2 aja, ya bahannya tetep aja. Tapi masih beli karna memang lagin pengin jajan.