Cerpen Risda Nur Widia (Kompas, 03 Maret 2024)
AKU pulang larut dengan menjinjing kepala pening seraya menuntun sepeda gen-chari hadiah mantan kekasihku. Sepanjang malam aku minum-minum sendiri di mise tanpa niat merayakan festival Hanabi. Aku tidak berselera ikut tenggelam dalam lautan lima ribu warga Suginami yang menyambut pesta kembang api di kompleks pertokoan Koenji. Bahkan, bila hari ini ada yao-ya yang buka, aku pasti memilih membeli sayur untuk membuat tonkutsu di apartemenku.
Malam itu aku merasa apes. Hatiku tiba-tiba dirajam sepi. Aku bahkan ingin mengambil pisau dan mengiriskannya ke leher setelah mendengarkan “A Minor Story” karya Pieter de Graaf. Lagu murung dan pengaruh junmai membuatku tidak berguna seperti tokoh Valadimir dalam lakon karya Samuel Beckett. Sebelum apartemenku banjir darah layaknya film Kami-sama no lu Tori yang disutradarai Takashi Miike, aku memutuskan keluar.
Beberapa jam setelah merasa bahwa hidupku masih layak dipertahankan hingga dua puluh tahun ke depan, aku pulang mengambil rute melewati taman Mabashi.
Aku sengaja mengambil jalan memutar agar memperoleh udara segar dari pohon-pohon di taman Mabashi. Aku sempat duduk dan melihat para hotaru di sana.
“Sha la la itsuka kitto hotaru wa meotsuki chitte,” aku bernyanyi menyambut para hotaru. “Kie yuku mune ni sotto yume yo kagayaite….”
Aku suka lirik lagu yang dinyanyikan oleh band populer Jepang Ikimono Gakari. Lirik lagu itu mengibaratkan hotaru dan kedip cahayanya sebagai harapan. Aku sering menyanyikan lagu itu ketika melihat segala yang berkedip. Aku percaya setelah menyanyikan lagu itu hidupku akan lebih baik.
Kembang api mulai susut binarnya di langit Koenji. Kakiku terasa lemas menuntun sepeda gen-chari. Aku juga berusaha untuk tidak memuntahkan dua mangkuk ramen yang telah kumakan. Aku menyesal terlalu banyak menegak ginjo di mise. Hingga aku tersandung sekepal benda padat dan terjatuh. Aku lantas melihat benda itu berdenyut-denyut.
“Chikusho!” umpatku. “Apakah aku menginjak seekor tikus?”
Semula, aku mengira itu tikus sekarat yang terlindas shooboosha karena di sekitar sini sering terjadi kebakaran. Saat berusaha mencari pembenaran, aku tak menemukan ciri-ciri fisik seperti kepala, biji mata, ekor, hingga bulu yang merujuk pada tikus.
“Aku pasti mabuk!”
Aku mendekatkan geta-ku dan menjejak batu itu dengan pelan. Aku terkesiap karena batu itu kembali berdenyut. Permukaan batu itu kembang kempis seolah memiliki paru-paru. Hal tersebut membuatku berpikir bahwa di dalam batu itu bersembunyi sosok ikiryo yang melarikan diri dari kejaran Bishamonte. Batu itu kembali menjadi seonggok benda padat pada umumnya.
Penasaran dengan yang terjadi, aku membawanya pulang. Sesampainya di apartemen, aku usap batu itu. Tak ada respons. Aku menekan permukaannya. Masih sama. Tidak ingin menjadi gila seperti tokoh Aomame yang melihat dua bulan dalam novel 1Q84 karya Haruki Murakami, aku memutuskan mandi.
Sebelum memasukkan tubuh ke ofuro, aku memutar “Sinfonietta” karya Janacek. Ada sekitar tiga puluh lima menit aku menenggelamkan untuk menghilangkan mabuk. Aku bahkan sempat tertidur dan bermimpi buruk. Saat terbangun, ternyata turntable yang kupakai memutar “Sinfonietta” berhenti. Dan di kamar, batu itu berdenyut.
***
Aku duduk pada tatami dengan menghadap langsung batu itu. Cahaya dari luar menerobos jendela yang kubuka kerainya. Lampu apartemen sengaja aku matikan. Demikianlah sekali lagi, aku menunggu batu itu berdenyut. Lima belas menit berlalu begitu saja tanpa si batu memberikan respons. Namun aku tidak kehabisan akal memancingnya.
Aku memutar “Sinfonietta” karya Janacek pada turntable di pojok ruangan. Aku berharap batu itu memberikan respons dari iringan simfoneta yang merepresentasikan manusia bebas, keindahan, dan kegembiraan. Alat musik horn yang ditiup menggaung sebagai pengiring pembuka subjudul pertama allegretto maestoso, dan segera memberikan suasana pekat di apartemenku.
Entah sudah berapa kali aku memutar “Sinfonietta” selama lima tahun terakhir. Setiap mendengarkan iringan biola, harpa, perkusi, serta horn yang terbagi menjadi lima subjudul kecil, aku seperti bocah yang terjebak di kapal kecil pada sungai Sai no Kawara. Aku mengapung di sungai tanpa gelombang yang memantulkan warna senja di permukaannya. Kapal kecil itu kemudian perlahan bergoyang karena ulah para onryo di dasar sungai.
Ketika iring-iringan biola dan klarinet masuk pada subjudul kedua: andante, kapal kecil yang kugunakan terbalik. Tubuhku tertarik-tenggelam oleh tangan-tangan gosong anryo. Pekat air membuat paru-paruku sulit bernapas. Cuma dalam situasi genting, aku masih bisa mendengar tangisan para arwah mizuko kuyo yang malang di dasar sungai.
Memasuki subjudul ketiga: moderato, aku berada di dasar sungai dengan dada penuh air. Seorang wanita dengan wajah rusak duduk di atas dadaku. Tangan wanita itu syahdan menjejalkan kepalaku ke lumpur, hingga yang aku lihat adalah tubuh telanjang mantan kekasihku yang gantung diri di apartemennya.
Beranjak ke subjudul keempat: allegretto, aku melihat mata mantan kekasihku yang melotot dengan lidah terjulur. Di bawah kakinya ada kertas kecil bertuliskan “surat batu” yang ditindih sebuah batu cukup besar. Pada larik subjudul kelima: andante con moto, yang merupakan subjudul terakhir, mantan kekasihku tiba-tiba menarik leherku.
Aku segera tersadar dari lamunanku. Aku membenarkan posisi dudukku. Aku mengamati batu itu. Sekepal batu berwarna hitam keabu-abuan yang mirip dengan batu yang digunakan kekasihku untuk menindih pesannya tampak berdenyut.
***
Pukul dua malam, aku tidak sengaja tertidur. Selama tertidur aku mendengarkan suara dari aktivitas yang acap dilakukan oleh mantan kekasihku. Seperti suara orang menyalakan kompor listrik, cerek yang mendidih, hingga dengung mesin vacuum cleaner yang tampak sibuk membersihkan debu. Sampai kemudian aku mencium aroma omurice menyelisik hidungku.
Semula, suara-suara dan aroma sedap itu aku kira hanya mimpi. Lima tahun terakhir ini, aku sering memimpikan hal-hal aneh. Aku pernah bermimpi bertemu dewa Hachiman yang membawa tombak berlumur darah dengan kepala mantan kekasihku di tangannya. Oleh karena itu, aku terkadang tidak begitu yakin dengan sesuatu yang ada di hadapanku.
Aku membuka mata dengan pikiran bahwa omurice itu hanya halusinasi. Namun, ketika aku menyentuh dan memakannya, omurice itu nyata.
“Akhirnya kau bangun,” kata mantan kekasihku. “Kau tidur seperti orang mati.”
“Ini semua pasti mimpi,” pekikku.
“Aku memang mantan kekasihmu,” tegas wanita itu.
“Tapi bagaimana kau bisa hidup lagi?” segera aku mengambil garpu dan menusukannya.
“Batu yang kau temukan itu,” ia mengambil batu itu dan menyimpannya.
Wanita itu tidak mengucapkan apa pun lagi setelahnya, padahal aku menunggu lanjutan dari penjelasannya. Ia pun malah membersihkan piring dan gelas kotor yang belum aku cuci.
“Lima tahun ini kau pasti hanya membuang-buang waktu!” keluhnya lagi. “Aku mati dan kau hanya bersedih.”
Aku mendengarkan semua keluhan mantan kekasihku seraya berulang kali menampar wajahku. Hari ini aku merasa seperti terjebak dalam novel The Time Machine karya HG Wells yang pernah terbit pada tahun 1895. Novel itu aku baca dalam versi Jepang saat memasuki bangku kuliah di Tokyo. Kini aku seakan melompat ke masa lalu dan bertemu mantan kekasihku yang telah mati.
***
Selama seminggu, aku tinggal satu apartemen dengannya. Sejauh ini aku tidak menemukan sesuatu yang merujuk bahwa dirinya telah mati. Dari bau busuk hingga sekumpulan belatung di tubuhnya, aku tidak menemukan. Ia tetaplah wanita wangi, cantik, dan menjaga penampilannya. Ia mandi sehari dua kali dan makan sehari tiga kali. Namun, hal itu masih belum bisa membuatku menerima kenyataan. Apalagi ia pernah meninggalkanku tanpa sebab. Waktu aku bertemu dengannya, ia dalam keadaan gantung diri.
“Kau sepertinya tidak bahagia aku hidup lagi,” ucapnya ketika makan malam. “Apakah kau takut denganku?”
“Aku merasa kau seperti bukan kenyataan.”
“Kau masih memikirkan bagaimana aku bisa ada di sini?”
Ia beranjak dari meja makan itu. Aku sempat mengira bahwa ia marah. Namun, ia ternyata mengambil batu yang aku temukan dahulu.
“Karena batu ini.”
“Lalu?”
“Aku bisa saja menceritakan kepadamu,” kata mantan kekasihku. “Tapi bila aku menceritakannya, aku akan menghilang selamanya.”
“Kau tidak sedang membodohiku, bukan?”
“Baiklah,” ia menatapku menyesal. “Seharusnya aku segera mengatakannya saja. Karena kesempatan yang aku punya hanya satu tahun.”
Aku semakin bingung dan tidak bisa menanggapi apa pun selain minum bir. Mantan kekasihku segera menjelaskan segala hal yang membuatnya bunuh diri. Ia menghilang selama dua bulan waktu itu karena berada di rumah sakit untuk menggugurkan kandungannya. Ia hamil dari pacar simpanannya.
“Aku tahu kalau kau selingkuh,” jelasku. “Tapi aku tidak tahu kalau kau hamil.”
“Aku merasa depresi karena telah membunuh bayiku,” lanjutnya lagi. “Setiap malam aku selalu bermimpi terjebak di sungai Sai no Kawara dengan sebuah kapal kecil. Lalu, aku tenggelam dan mendengarkan para mizuko kuyo.”
Mimpi itu sangat mirip dengan apa yang terjadi padaku bila mendengarkan “Sinfonietta”.
“Karena hal itu kemudian aku bunuh diri,” air matanya menetes pelan. “Dan di batu itu adalah surat untukmu.”
Ia pun menyodorkan batu yang kutemukan. Ia menyuruhku untuk mendekatkan kupingku padanya. Aku lamat-lamat mendengarkan “Sinfonietta” dan suara mantan kekasihku. Pada batu itu aku mendengarkan kisah serupa seperti yang dituturkannya.
“Itu adalah surat batu untukmu, dan hanya kau yang bisa mendengarnya,” tubuhnya mendadak transparan. Tapi sebelum menghilang, ia sempat berkata, “Maafkan aku telah melukaimu kembali.” ***
.
.
Risda Nur Widia. Mahasiswa program doktor PBSI UNY. Buku cerpen tunggal terbarunya adalah Berburu Buaya di Hindia Timur (2020). Cerpennya tersiar di berbagai media.
Bunga Jeruk Permata Pekerti. Lahir di Solo, 8 Mei 1972. Melukis sejak berusia 9 tahun. Sering mendapat penghargaan berbagai lomba melukis anak-anak tingkat daerah, nasional, ataupun internasional. Kuliah di ISI Yogyakarta, Jurusan Seni Murni. Lulus S-1 dengan predikat cumlaude. Ketika masih kuliah mendapat penghargaan Sketsa terbaik dan Lukis terbaik. Sebelum lulus kuliah, mulai aktif mengikuti berbagai pameran di dalam dan luar negeri sampai saat ini. Ikut Program Residensi di Amerika.
.
Surat Arwah. Surat Arwah. Surat Arwah. Surat Arwah. Surat Arwah. Surat Arwah. Surat Arwah.
Jenka Restia
Agaknya tujuan satu2nya penuli menulis cerpen ini hanya untuk gagah-gagahan.
Rajah Gerday
Terlalu banyak kemubaziran kata-kata. Penggambaran/deskripsi atas suatu hal dengan merujuknya pada referensi-referensi lain dikemas dengan konyol dan terkesan hanya agar terlihat ‘berwawasan’, banyak idiom yg tidak perlu, bertele-tele, sekali lagi, hanya menambah kemubaziran tanpa esensi apa-apa..
DD
Paragraf pertama cukup membosankan untuk perkenalan ini itu eh dianjurkan banyak di paragraf selanjutnya. Mestinya ini bukan cerita fiksi sih lebih kek artikel pengenalan semua hal yg sudah dibaca n diketahuinya
Rajungan
Semua cerpen penulis ini tipenya seperti ini kok, pamer istilah asing (pernah Tionghoa, Jepang, pernah juga kawasan Lombok atau Papua). Dia masih kaku kalau meleburkan data riset dan istilah yang tampak sangat droping semata menjadi bagian dari cerita.
Omm Gemoy
Pusyeng aing. Teuing ah,, enggak tahu gimana critanya. Cuma baca setengah saja. Buat kalian yang tidak suka cerpen berhamburan istilah asing tak usah baca cerpen ini gaesss. Nulis cerpen biar keliatan intelek tapi ceritanya tidak bisa dinikmati semua kalangan. Banyak loh penulis cerpen kaum cendekiawan dan sarjana tinggi bahasanya sderhana saja tapi malah mengena critanya.
O, ya jangan lupa, ada kata ‘doktor’ di bionya.. hehehe
Nuh
Cerpen ini tidak buruk. Mungkin untuk cerpen koran yang sewajarnya hanya memuat sekitar 1500 kata, referensi-referensi yang disertakan terkesan kebanyakan dan memakan tempat. Tapi lebih tepat jika dibilang medium cerpen yang kita kenal itu sempit dan tidak mendukung untuk sebuah momen atau isi pikiran untuk disinggahi. Klaustrofobik. Dan begitulah kita lihat si tokoh tidak dapat diam di satu tempat, diam berarti tenggelam, terus bergerak membawa beban yang mendorongnya dalam pergelandangan di dunia yang riuh akan narasi dimana akhirnya dia memetik dua: lagu Hotaru no Hikari dari Ikimonogatari, sebuah lagu pembuka anime Naruto, tentang rindu yang tetap menyala di hati dan novel 1Q84 tentang pergi ke sebuah dunia lain yang tidak dapat dimengerti. Si tokoh, meski berpikir dia tidak gila seperti Aomame, bahkan menirukan kebiasaannya mendengarkan Sinfonietta Janacek di dalam isolasi yang mengingatkan pembaca novel itu akan kardus kucing Schrodinger.
Ini cerita tentang delusi dan depersonalisasi. Bisa dibilang latar dan kata-katanya terlalu hampa, “abstrak”, tak berbobot, bahkan tak berarti apa-apa bagi yang tidak menangkap alusi yang dimaksud penulis. Tapi begitulah duka yang mendalam, kata-kata hanya kata-kata, dunia hanya pengasingan, dan harapan sebuah delusi yang menelan kita hingga pasrah menerima kesimpulan apa saja.
Sebenarnya tidak ada yang Salah dengan dengan huruf S besar tentang cerpen ini. Prosanya ringan, prosanya mengalir, dan pembaca Murakami akan terkesan dengan penghormatan yang disajikan. Jika ada yang tidak berkenan bagi saya, adalah tren penulis kita bercerita tentang isi jiwa orang luar seakan kita bisa menembus isi hati mereka, yang hidup di lingkungan yang begitu berbeda, yang dikerumuni mitologi yang sebuah novel hanya merupakan puncak kecil bongkahan es, disalurkan kepada kita melalui terjemahan yang sayangnya tidak dapat menyampaikan sebuah karya secara keseluruhan; dan seakan bahwa cerita-cerita ini tidak bisa diceritakan di tanah kita, bahwa mereka tidak ada tempatnya di sini. Namun itu bukan kesalahan penulis ini seorang.
Anonymous
Ra genah. Sipaling
Dom
Salut redakturnya membaca sampai selesai. Saya hanya kuat 2 paragraf saja.
RAJUNGAN
Tenang, kalau sudah jadi “pemain” cerpen Kompas, kayae setiap kiriman akan langsung dimuat.
Pernah dapat cerita cerpenis perempuan ngomong ke penjaga gawang, “Bli, aku kirim cerpen ya.” Dan tak lama cerpen atas nama cerpenis perempuan itu muncul di Kompas.
memang previlese itu ada.