Cerpen Dody Widianto (Kedaulatan Rakyat, 01 Maret 2023)
MENURUT primbon, Bapak percaya hari ketiga selanjutnya dari weton kelahiran adalah hari sial yang sudah ditakdirkan. Sejujurnya, di era yang serba digital ini, aku kadang meragukan isi buku primbon yang diwariskan Eyang Kakung. Namun, Bapak selalu berujar, orang Jawa itu punya ilmu titen, ajaran yang meyakini jika segala sesuatu akan terjadi karena pemahaman yang dulu-dulu selalu begitu. Termasuk ketika Bapak mendadak seolah meramal jika hari Sabtu besok, jika tidak hati-hati, ia akan ketiban sial.
“Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon. Hari pancawara itu tercipta turun temurun dari dulu. Sebagai hitungan yang paten. Anak muda sekarang mana tahu hari pancawara paringkel. Tahunya cuma film kartun Jepang dan lihat keseharian artis-artis di Youtube. Apa jadinya nanti jika ilmu titen ini tidak diketahui generasi muda selanjutnya.”
Kulihat Ibu di sebelahku yang sedang mengunyah nasi goreng hanya mengangguk. Aku diam saja. Sering berpikir jika isi primbon serupa perkataan nabi atau sebuah wahyu yang harus Bapak percaya dan ia imani.
Maka, ketika dini hari telah datang dan suara kentongan di kampungku bertalu-talu terdengar, aku terbangun dalam kekagetan dan ketidaksiapan. Kasurku di lantai telah basah oleh air. Dari sela jendela kamar yang rendah, air mengalir serupa grojogan. Bapak berteriak, Ibu lebih histeris. Di luar orang-orang terus berteriak pilu ketika aliran air itu menyerang rumah warga. Seseorang terus menabuh kentongan berulang-ulang agar warga yang masih tertidur bangun.
Kawasan kampung kami yang notabene sebagian besar di bawah aliran sungai, mendadak menjadi sebuah danau maha luas dengan tampilan atap-atap rumah berjajar. Dan dengan digiring orang-orang untuk naik ke atas daratan yang lebih tinggi, kami manut saja. Namun, tidak dengan Bapak. Ia masih berjibaku di dalam rumah ketika air sudah setinggi dada orang dewasa. Bapak seperti sedang mencari-cari sesuatu. Entah uang atau barang berharga lain aku tak tahu. Dan ketika aku sudah sampai atas daratan, air semakin meninggi, listrik padam. Aku dan Ibu terus berteriak agar Bapak menghentikan perbuatan konyolnya. Beliau tetap ngeyel. Hingga akhirnya, dalam keremangan malam dan deras aliran karena tanggul sungai di sebelah kampungku jebol, aku tak tahu nasib bapak. Saat itu juga, kulihat Ibu di sampingku lemas. Memelukku dalam tangis sesenggukan.
Sampai detik itu juga, aku masih tak percaya jika Sabtu adalah hari tersial yang pernah disebutkan buku primbon. Bapak tidak sial, Bapak ngeyel saja. Batinku kesal, sedih, dan marah. Ia menerjang bahaya atas kemauan sendiri. Hingga jam delapan pagi saat kami mengantre makan di pengungsian, kami tak tahu apakah Bapak masih hidup atau mati.
“Bapak di sini, Le.”
Sebuah suara yang membuatku gemetar. Aku tahu bapak pandai berenang ketika masih anak-anak. Kulihat tubuhnya dipenuhi lumpur dan kotoran daun. Namun, aku sangat bahagia. Kulihat satu benda ia peluk di dada dalam map plastik dengan bungkus yang sangat rapat. Kukira buku primbon. Di dalamnya ada akta nikah, akta kelahiran, KK, fotokopi KTP, ijazah, dan berkas-berkas penting lainnya. Ibu datang menjewer pipi Bapak dengan gemas sambil menangis.
“Ngeyel kowe, Pak.”
“Ndak, Bu. Bapak tak takut kehilangan nyawa, Bapak lebih takut kehilangan berkas ini karena proses membuatnya baru nanti bakal bertele-tele dan panjang. Jika pun ingin cepat jadi, Bapak tak punya banyak uang isi amplopnya untuk petugas dinas terkait.” ***
.
.
*) Dody Widianto lahir di Surabaya. Karyanya tersebar di berbagai media massa nasional.
.
Pancawara Paringkel. Pancawara Paringkel.
Leave a Reply