Cerpen Deta Roosmaladewi (Media Indonesia, 28 Januari 2024)
PUKUL empat pagi, masih terlalu gelap untuk memulai aktivitas bagi sebagian orang. Namun, tidak demikian halnya dengan Usman dan istrinya, Imah.
Sedari bangun, Imah mulai bekerja menyiapkan bahan-bahan untuk membuat mi ayam porsi mini yang akan dijual di rumah. Sebuah keberuntungan, rumah Usman terletak tepat di depan sekolah dasar.
Selain berjualan di rumah, Usman berkeliling untuk menjajakan mi ayam agar kebutuhan keluarganya tetap terpenuhi.
Usman melanjutkan pekerjaannya menyusun buku-buku di tas obrok motornya setelah salat subuh. Beberapa buku yang terlihat agak rusak, kali ini disisihkan Usman dan tidak dibawanya.
Usman berkeliling kampung seperti biasa. Bagian belakang motornya dimodifikasi hingga bisa mengangkut mi dagangannya, sekaligus bisa membawa buku di sisi kanan dan kiri motor.
Di bagian kaca etalase yang terdapat gulungan mi tertulis ‘Mi Ayam Unyil’. Kemudian, di bagian samping tas obrok yang terbuat dari anyaman plastik, tertulis ‘Ayo Membaca Bersama Unyil’.
Laki-laki itu tidak menjual buku, tetapi berkeliling membawa buku untuk siapa saja yang mau menghampiri dirinya agar bisa membaca atau meminjam buku.
Laki-laki yang sudah sepuluh tahun berjualan sambil membawa buku itu sudah memiliki tempat langganan untuk berhenti beberapa saat. Bisa antara 1 dan 2 jam Usman ada di setiap titik pemberhentiannya.
Kali ini pemberhentian pertama ada di sebuah kompleks sekolah negeri.
Bangunan sekolah berjejer dimulai dari bangunan untuk taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas.
Bel elektrik dari sekolah dasar yang berbunyi keras hingga terdengar sampai luar sekolah membuat Usman dan para pedagang lainnya mulai bersiap menghadapi anak-anak dengan daftar permintaan jajanan yang kadang unik. Usman sudah lebih dulu menggelar buku-buku bawaannya di atas tikar yang dibawanya. Sisi-sisi tikar dia kosongkan agar anak-anak bisa duduk sambil membaca buku.
“Bapak, buku ini bisa saya pinjam?” tanya seorang anak beberapa saat sebelum bel waktu istirahat selesai berbunyi.
“Oh, boleh. Nama adik siapa?” tanya Usman.
“Alex. Nama saya Alex, Pak. Saya pinjam buku ini ya? Saya kelas satu. Saya di kelas Bu Melati.” Anak itu memberikan informasi pada Usman.
“Oh, iya. Bawalah. Jangan lupa dibaca, ya. Nanti boleh ceritakan pada Bapak apa isi buku ini, ya,” kata Usman.
“Baik, Pak. Terima kasih,” ucap anak itu. Dia kemudian berlari menuju sekolah setelah bel berbunyi.
Usman tersenyum melihat Alex kecil yang berlari sambil membawa sebuah buku cerita bergambar. Alex ialah pelanggan kecilnya. Setiap waktu istirahat dia akan minta dibuatkan semangkuk mi ayam, lalu duduk memilih salah satu buku cerita bergambar.
Usman sesekali memperhatikan Alex di tengah kesibukannya melayani pelanggan lainnya. Anak itu cukup menarik perhatian bagi Usman. Alex biasanya hanya membolak-balik buku, lalu berteriak takjub saat melihat gambar yang menarik. Saat bersama temannya, Alex kadang bercerita tentang buku yang sudah dipilihnya. Namun unik, yang diceritakan Alex berbeda dengan isi buku yang ada di tangannya. Hal itu membuat Usman tersenyum sekaligus penasaran dengan Alex.
***
Esok hari, Usman tidak melihat Alex di jam istirahat. Matanya mencoba menyapu dari ujung hingga ujung mencari keberadaan Alex. Namun, Alex masih juga belum terlihat. Usman berpikir mungkin anak kecil yang ramah itu sedang asyik dengan buku yang kemarin dipinjam.
Satu minggu tak melihat Alex, rindu mulai muncul di hati Usman. Dia seperti merasakan kembali saat-saat kehilangan anaknya. Tiba-tiba, saat melayani pembeli Usman dikagetkan dengan suara anak yang sangat dikenalinya. “Bapak, Bapak…,” suara itu memanggil pelan.
“Eh, Alex! Kenapa beberapa hari tidak masuk sekolah? Bapak mencari-cari Alex setiap jam istirahat,” sahut Usman dengan nada gembira.
“Bapak punya buku banyak begini apa bisa membacanya?” tanya Alex. Dia tidak menjawab pertanyaan Usman.
“Tentu saja! Bapak sudah membaca semua buku yang Bapak bawa. Bapak malah kadang sampai hafal dengan cerita yang ada di semua buku ini, Alex.”
“Bapak, mau mengajari aku membaca? Aku tidak bisa membaca. Ayah dan ibu tidak sempat mengajariku. Aku tidak suka diajari membaca dengan Kak Lina. Dia selalu marah-marah saat aku tidak bisa ingat itu huruf apa,” jelas Alex panjang lebar.
Usman seketika terdiam. Pertanyaan yang selama ini dia pendam mengenai Alex terjawab sudah. Alex tak bisa membaca. Dia hanya melihat gambar dan menyusun cerita sendiri dari gambar yang telah dilihatnya. Usman berpikir, bagaimana dia akan mengajari Alex membaca, sedangkan dia harus berkeliling untuk menghabiskan mi ayam dagangannya.
“Nanti Bapak ajari Alex membaca, sekarang Alex masuk ke kelas dulu. Sudah bel masuk tuh,” kata Usman. Laki-laki itu tak mau memberi jawaban yang akan mengecewakan Alex, seorang anak yang sedang mencari jalan keluar dari keadaan buta huruf yang sedang dijalani.
***
“Coba Bapak kembali lagi di jam pulang sekolah Alex. Rasanya 30 menit sudah cukup untuknya. Jangan lama-lama juga, dia pasti capek juga setelah sekolah, Pak,” kata Imah mengusulkan.
Usman terdiam sejenak, lalu menyetujui usulan istrinya. Hati kecilnya merasa kasihan pada Alex, seharusnya dia bisa mendapatkan dengan mudah apa yang diinginkan, bisa membaca. Bahkan, jika hanya mengganti guru membacanya dengan guru yang lebih nyaman, sepertinya sangat mungkin.
Usman melihat bahwa barang-barang sekolah Alex tidak seperti temannya yang lain. Suatu ketika anak itu mengeluarkan sebuah kotak pensil yang harganya cukup mahal menurut Usman. Namun, Usman memilih untuk menahan rasa ingin tahunya. Dia tak mau melibatkan diri pada urusan yang tidak bisa dijangkaunya.
Esok hari, Usman sudah menanti Alex di waktu istirahat sekolah. Saat anak itu datang, Usman mengatakan jika dirinya bersedia belajar bersama Alex saat pulang sekolah. Dia akan mengajar Alex di tempatnya saat ini menggelar dagangan mi ayam dan menggelar buku-bukunya. Usman bertanya pada Alex apakah anak itu bersedia dan bisa meminta izin pada kedua orangtuanya terlebih dahulu.
“Nanti pak sopir yang akan menemaniku sampai selesai, Pak. Aku akan meminta padanya saja agar menyampaikan pada Ayah jika aku belajar membaca dengan Bapak,” jawab Alex.
Usman hanya menuruti kemauan Alex. Selama ini dirinya tak pernah tahu Alex pulang sekolah dengan siapa karena dirinya memang tak pernah menggelar dagangan hingga jam pulang sekolah Alex. Usman akan berkeliling kembali saat anak-anak selesai istirahat.
***
Usman memarkirkan motor di tempatnya biasa berdagang. Tak banyak pedagang yang masih berjualan siang hari saat anak-anak di sini pulang sekolah. Kebanyakan anak sudah dijemput orangtua masing-masing dan langsung pulang. Hari ini Usman bersyukur dagangannya sudah habis hingga dirinya bisa lebih santai menunggu Alex keluar dari kelas.
Bel sekolah berbunyi. Usman mengamati setiap anak yang keluar dari gerbang sekolah. Dia seperti menjadi seorang bapak yang menanti anaknya pulang di hari pertama sekolah. Tak lama, Usman melihat Alex keluar. Anak itu berjalan menuju seorang laki-laki berkemeja batik lengan pendek rapi. Keduanya tampak berbicara sebentar sebelum kemudian menuju ke arah Usman.
Usman terlihat grogi. Dia berharap tidak ada masalah dengan niat baiknya terhadap Alex. Saat Alex dan laki-laki itu mendekat, Usman tersenyum.
“Saya, Ardi, Pak. Saya sopir Pak Nurdin, orangtua Alex. Katanya Alex mau belajar membaca dengan Bapak, ya?” Laki-laki itu mengulurkan tangan kepada Usman.
“Iya, Pak. Tidak lama. Mungkin hanya setengah jam. Alex juga rasanya perlu istirahat sepulang sekolah. Di sini saja, ya, Pak. Harap maklum. Saya juga bingung saat diminta Alex untuk mengajarinya membaca,” jelas Usman.
“Iya, Pak. Silakan. Saya akan menemani Alex. Mohon maaf, Pak Nurdin sibuk dengan pekerjaannya, kadang keluar kota sampai tak bisa menemani Alex,” lanjut Ardi.
“Mohon maaf, ibunya Alex ada?” tanya Usman memberanikan diri.
“Orangtuanya sudah berpisah, Pak. Ibunya Alex sudah pergi dari rumah dua tahun lalu,” kata Ardi pelan agar Alex tidak mendengar perkataannya. “Keduanya saat ini lebih sibuk dengan urusan masing-masing,” lanjut Ardi.
Usman menatap Alex lekat-lekat. Dia tak mau menghakimi orang dewasa yang ada di sekitar anak itu. Dia hanya berjanji pada dirinya untuk membuat Alex bisa membaca. Anak yang sekarang ada di dekatnya itu mengingatkan Usman kepada Ali yang sudah meninggalkan dirinya dan Imah tujuh tahun lalu.
“Ayo, Bapak. Kenapa malah ngobrol sama Pak Ardi?” tanya Alex yang sedari tadi asyik dengan buku cerita bergambar di tangannya. Usman tersenyum dan bergegas duduk di dekat Alex. Tak perlu lama, keduanya sudah terlibat dalam percakapan yang menarik. Hari ini tidak hanya pelajaran membaca yang diberikan Usman pada Alex, tapi juga cerita luar biasa tentang sebuah semangat dan impian untuk menggapai cita-cita.
“Bapak, jangan libur ya mengajariku. Kalau aku yang libur, nanti Pak Ardi yang akan memberi tahu Bapak, ya. Kemarin aku lama tidak masuk sekolah karena ibu dan ayahku marah-marah,” ucap Alex di akhir pertemuan hari itu.
Usman hanya memberikan senyum dan berjanji tidak akan libur mengajari Alex. Laki-laki itu paham saat Ardi memberikan isyarat padanya saat Alex berkata ayah dan ibunya marah-marah. Usman menarik napas panjang dan mengembuskan pelan-pelan. Dia merasa ada banyak hal yang didapatkan hari ini dari seorang Alex. Tidak hanya kesedihan, ketidakberuntungan, tapi juga sebuah semangat untuk tetap melakukan apa yang sudah diyakininya saat ini.
Saat sampai di rumah, Usman membersihkan diri dan mengajak Imah menemani duduk di teras belakang rumah. Dirinya meremas jemari Imah dan berkata, “Ali, aku menemukan Ali pada diri Alex. Ingatkan aku untuk tetap berkeliling membawa buku selain apa yang kita jual untuk menyambung hidup. Aku ingin bertemu banyak Ali di sisa hidupku.” ***
.
.
Terbanggi Besar, 15 Oktober 2023
Deta Roosmaladewi. Pemenang Harapan Sayembara Cerpen Media Indonesia 2023
.
Harapan Baru dari Balik Buku. Harapan Baru dari Balik Buku. Harapan Baru dari Balik Buku. Harapan Baru dari Balik Buku. Harapan Baru dari Balik Buku.
Leave a Reply