Cerpen F Ilham Satrio (Media Indonesia, 11 Februari 2024)
KETERLALUAN. Kabar sudah tersiar ke seluruh penjuru negeri, tapi tak satu pun dari mereka kasih solusi? Keterlaluan. Namun, bila saya terus-menerus membatin seperti ini, saya bisa stres sendiri. Maka saya pergi ke rumah Jauhari. Ia seumuran, paham mengapa kepala saya panas belakangan ini. Tak lain karena situasi, ditambah duit cekak, ditambah lagi segala protes yang disuarakan orang banyak berakhir seperti dengungan gardu listrik.
Jauhari kasih saya secangkir kopi hitam dan biskuit di dalam stoples. Sebenarnya tak bisa disebut biskuit. Isinya adukan remah kerupuk, remah rangginang, remah opak, dan remah-remah lain yang dapat ia kumpulkan jadi camilan. Dengan cara begitu lidah diayak buat mengganjal lapar atau sekadar menghilangkan sepat di mulut. Tahu pembicaraan bakal ngalor-ngidul, Jauhari memberi dua lembar Pattimura ke dua begundal cilik. Kedua anaknya itu melesat ke luar rumah seiring tak-tok-tak lato-latonya menjauh.
“Tapi, apa yang bisa kita perbuat, Ham?”
Memang betul. Apa yang dapat saya perbuat selain mengumpat dan membatin? Ia mungkin agak beruntung. Istrinya buruh pabrik tekstil; biaya sekolah kedua anaknya dapat disanggupi dari penghasilan ojol, sementara gaji bininya untuk kontrakan dan makan. Hidupnya dapat membaik bila tahun lalu pandemi tak menghajar wartegnya, tempat kami menjadi karib akibat saking istikamahnya saya berkasbon.
“Kita bahkan tak boleh menyuarakan isi perut di tempat umum,” kata saya.
“Lantas, buat apa kita pilih mereka kalau jadinya malah seperti ini, Ham?”
“Ah! Tak tahulah. Saya kan enggak pilih siapa pun. Pilih perut sendiri saja masih begini sulit, kok masih ngotot mau pilih mereka?”
“Hus! Jangan keras-keras, Ham! Pelankan suaramu. Kita enggak tahu tetangga yang mengontrak samping kanan-kiri ini betulan manusia atau bukan.”
“Ah, ya, benar juga.”
Lontaran caci maki dari bibir kami begulir seperti desau angin. Mengendap-endap, ibarat gosip miring atau skandal rahasia ranjang orang tersohor. Membicarakannya sama dengan bergunjing dan itu dilarang agama kami karena mengandung fitnah, haram. Namun, sudah terlalu banyak keharaman kadung kami telan. Termasuk kabar yang kian santer di televisi, yang juga nangkring setiap saat di layar pemberitahuan di gawai kami. Tak dibaca penasaran, dibaca bikin emosi. Judulnya: Bersiaplah, Badai Resesi di Depan Mata!
Itu satu saja, dan datang setiap hari, dengan isi dimodifikasi dan judul berbeda. Namun, isinya masih sama. Asam lambung yang mendesak ulu hati ini mendorong otot-otot tangan dan kaki untuk bertindak, dan ujung dari tindakan itu lebih kerap mengundang rasa nyeri, jeri, sedih, ironi, dan amarah. Tahu apa yang baru saja terjadi pada pemuda kampung kami yang mengedarkan amarahnya? Ia memamah cacing kering di balik jeruji besi, berkalang tanah, tanpa penerangan, selama satu purnama penuh.
Bukannya ciut, saya dan Jauhari pun pernah sampai di titik didih. Tubuh kami meronta, sementara isi kepala kami berkicau tentang penjara dan pasal dan denda yang tak kami ketahui muara dan faedahnya. Namun, tubuh kami tetap meronta-ronta, jempol dan jemari kami menari-nari di atas layar gawai demi menggambarkan suasana suwungnya perut. Sadar mendapat atensi yang tak sedikit, Pak RT mendatangi kami, “Sudahlah, kalian tahu kan, ini semua akan membuat kalian mengunyah cacing?” katanya.
“Mau bagaimana lagi, Pak RT? Kami jengah, kami marah, Pak!”
“Iya, saya paham, jari saya juga gatal. Tapi kan kalian enggak tahu makhluk apa yang bersemayam dalam gawai kalian.”
“Ah, ya, benar juga, Pak RT.”
Rasa gatal dan gelinjang otot jempol berangsur reda. Kami kembali terpekur di kursi masing-masing. “Pak RT betul,” kata Jauhari, “kita enggak tahu makhluk apa yang bersemayam di dalam gawai kita.”
Karena itulah saya rajin menyambangi Jauhari. Ia orang yang tulus. Tak hanya saya, keluhan serta gerutu warga lain pun ia tampung di rumahnya. Sejak diberlakukannya larangan menyanyikan isi perut, pintu rumah Jauhari semakin terbuka lebar. Saya pernah menyampaikan bahwa ia sudah pantas menjadi ketua RT, tapi ia membalasnya dengan tawa. Bahkan, suatu ketika Pak RT sendiri yang menawarkan jabatan itu. Ia paham kapasitas Jauhari.
Saya sempat mencari-cari arti resesi, tapi belum betul-betul percaya kalau bukan Jauhari sendiri yang menyampaikan. Bukan hanya dibuat paham, saya pun dibuatnya kalang kabut sebab saya tak punya persiapan apa-apa! Saya tak menyalahkan Jauhari, Pak RT, atau warung-warung yang menjual rokok dengan harga yang terus merangkak naik bulan demi bulan. Saya tak mengerti mengapa, dari cerita orangtua, nenek dan kakek, buyut dan uyut, atau para leluhur, negeri ini tak kepalang tanggung kekayaannya. Namun, apa yang penguasa beri kepada kami? Cacing kering!
Hush! Jangan keras-keras! Apa?
Iya, jangan keras-keras! Kau tak tahu makhluk apa yang bersemayam dalam pikiranmu, kan?
Bajingan. Benar juga.
“Kenapa, Ham? Lihat setan?”
“Ah, bukan, itu, begini, ya, jadi, begitu,” tiba-tiba otak saya enggak nyambung sama lidah. “Sepertinya kepala saya korslet.”
Jauhari memicingkan matanya, melolos keretek dan membakarnya. Aroma cengkih menguar dan saya masih tak percaya ada suara dalam tempurung kepala sendiri.
“Apa kau mendengarnya, Har?” tanya saya, tapi kedua alisnya masih rapat.
“Kau pasti mendengarnya kan, Har?”
“Mendengar? Maksudmu suara kentutmu, Ham?”
Kami sama-sama mematung. Saya menyulut sebatang keretek, membenamkan punggung dalam senderan sofa, menatap langit-langit yang rombeng.
Saya membayangkan apa yang selama ini saya khawatirkan terjadi. Namun, saya tak sampai hati menyelesaikan bayangan itu. Selain menakutkan, saya tak tahu harus berbuat apa guna mencegahnya selain tetap memburuh dan berharap terselamatkan dari badai itu, entah dengan cara apa pun. Barangkali Jauhari berpikiran serupa. Barangkali ia lebih paham, atau jangan-jangan malah sebaliknya? Ah, bisa jadi, bagaimana kalau bininya tiba-tiba dipecat dan sulit cari pekerjaan lagi? Bagaimana kalau pesanan ojolnya mendadak sepi?
Namun, saya tak tega membayangkannya. Begitu ia terkena imbas, lebih parah dari tahun-tahun yang lalu, ke mana saya larikan keresahan ini? Bisa apa saya tanpanya? Ah, sialan memang. Bayangannya di kepala saya menjadi kian syahdu. Seperti temaram lampu senja di pinggir jalan raya yang tiangnya dipeluk rintik hujan.
“Memangnya, apa yang saya lakukan?” Suara Jauhari memecah lamunan.
“Oi, kenapa kau?”
“Ah, enggak tahulah. Apa dengar barusan?”
“Dengar apa? Kentutmu?”
“Ah, bajingan!”
“Serius.”
“Justru itu!”
“Ada suara dalam kepalamu, Har?”
Benar-benar keterlaluan. Saya memandang Jauhari, kedua matanya menatap bola mata saya. Kami seperti bicara dengan hati, tanpa menggerakkan bibir dan tanpa mengeluarkan suara. Desis dan desau pun tidak. Hanya hati kami saling berucap dan kami pada akhirnya mengerti.
Kejadian itu terus berulang dan membuat kami semakin mahir bersitatap diam-diam. Menjalarkan degup jantung dari gelinding bola mata kami. Menghantarkan pahit dan masam hidup dari sudut mata kami. Bersukacita dan bersedih dengan air mata kami. Kami semakin liar mengungkapkan kekesalan sebab tak ada yang dapat menembus mata kami. Mata ialah jendela tempat hati berucap. Muara dari yang kedap dan bersih, dan tak dapat berkilah darinya. Mulut piawai berdusta. Namun, mata? Di situlah kami meronta dan beberapa kali menangisi keadaan. Memang terasa sunyi, tapi ke mana lagi kami harus bicara bila kepala kami pun rupanya telah disadap?
Hal itu tak hanya terjadi pada saya dan Jauhari. Kepala para tetangga kami pun berdengung, hati meronta, menjalari perasaannya tanpa sepatah-dua kata dan kami mengerti. Boleh jadi Anda telah berpapasan dengan orang-orang seperti kami. Jika belum, mungkin besok atau lusa. Saat Anda merasa sosok di hadapan tak lain orang yang dicari, tataplah matanya dengan tajam dan mendalam. Jalarkan perasaan hati Anda. Bersumpah serapahlah dan raungkan kutukan dari pendar mata. Seolah esok ialah hari terakhir untuk bersumpah serapah, seolah esok ialah hari terakhir untuk kita saling tatap, seolah esok memang tiada lagi esok. Sebelum mata kita disusupi, sebelum semua mata menjadi mata-mata. ***
.
.
F Ilham Satrio, lahir di Cimahi, 1989. Kadang-kadang menulis di blognya, sanstempsmort.wordpress.com
.
Protes. Protes. Protes. Protes. Protes. Protes.
Leave a Reply