Cerpen Surya Gemilang (Media Indonesia, 25 Februari 2024)
“WAKTUMU 24 jam,” ucap seorang pria di seberang sambungan telepon dengan datar. “Persiapkan dengan santai.”
Panggilan ditutup. Pukul 19.08. Di sisi seberang meja makan, anak gadisku, Vianna, sedang menonton sesuatu, entah dari Youtube atau Netflix, dengan ponselnya, dengan earphone di kuping. Istriku meletakkan panci besar di tengah meja makan, kepulan uap sup menghalangi wajah Vianna. Di luar jendela, hanya tampak deretan rumah lain dan lampu jalan, semua bercahaya pucat, dan tak tampak siapa pun mengawasi rumahku—tapi aku cukup bijak untuk tak kabur, untuk tak menelepon polisi, untuk tak membuat masalah membesar.
“Besok aku mati,” kataku tiba-tiba, sesantai mungkin, seolah hanya izin ke toilet.
Vianna menjeda tontonan dan melepas earphone dan menoleh ke arahku; istriku berhenti menyendok nasi dari penanak dan menoleh ke arahku. Hening. Uap dari sup dan penanak nasi seperti arwah melayang. Hujan mulai mengetuk-ngetuk kaca jendela seperti detail klise dalam adegan melodrama. Apa arti tatapan mereka?
Apa latihan keluargaku selama ini berfungsi baik?
“Ayah,” kata Vianna, “Bayarkan dulu SPP-ku.”
Bagus. Tak ada getaran dalam suaranya. Terdengar sangat santai. Bagus.
“Apa ini latihan…?” tanya istriku.
Bukan pertanyaan bagus. Sebentar lagi piring akan jatuh dari tangannya yang gemetar. Air mata di ujung dagu jatuh ke kerah daster birunya. Latihan selama ini tak berfungsi optimal. Namun, aku harus jujur.
“Ini bukan latihan. Tapi santailah—agar kita semua bisa santai.”
Piring pun terlepas dari tangannya, pecah di lantai—sekali lagi seperti detail klise dalam adegan melodrama—dan istriku menjerit, memukul kabinet dapur, lalu berlari ke lantai atas dan membanting pintu kamar.
“Tenang, Yah, aku sudah bisa menghasilkan uang sendiri.” Vianna berkata sesaat sebelum menyusul istriku.
Aku sudah menduga panggilan itu akan tiba, meski sulit menerima bahwa dugaanku tepat. Aku telah melanggar salah satu aturan terpenting organisasi kami: jangan sisakan saksi mata saat menjalankan misi.
Usianya mungkin 17 atau 18 tahun, saksi mata itu—seumuran Vianna. Wajah tirusnya pun agak mirip dengan anak tunggalku itu. Setelah menghabisi sang ayah di perpustakaan pribadinya, aku tak tega membunuh juga gadis itu karena bayangan wajah Vianna terus menimpa wajahnya. Jadi, kubiarkan ia hidup dengan satu syarat: jangan ceritakan pembunuhan ini pada siapa pun—tapi yah, tentu saja, esoknya berita pembunuhan muncul di mana-mana, dan tibalah panggilan telepon itu.
Aku tak tahu siapa yang akan mengeksekusiku; aturan lain di organisasi mengatakan bahwa kami, para pembunuh, dilarang mengenal satu sama lain—setiap misi selalu bersifat individu, dan kami tak pernah dipertemukan dalam satu tempat.
Bagaimanapun, aku harus santai. Toh, selama satu setengah tahun, telah kulatih keluargaku untuk bersikap santai jika tiba kematianku.
***
Tentu aku ingin—dan harus—menyembunyikan pekerjaan asliku dari putri dan istriku. Namun, satu setengah tahun lalu, aku tak tahu bahwa mereka akan pulang lebih cepat dari rumah mertuaku; mereka tiba di rumah pada pukul 23.47, ketika aku sedang menjerat leher seorang wanita dengan dasi merah di ruang tengah, seraya menimpa tubuhnya agar tetap telungkup di lantai.
“Tenang, tenang, tenang,” ucapku, menatap lekat tatapan nanar Vianna dan istriku, seraya terus menjerat leher wanita itu hingga ia berhenti bergerak. “Hei, aku bukan tukang selingkuh.”
“Seperti di film-film Hollywood,” komentar Vianna. Keren, bukan? Dari awal ia sudah berbakat bersikap santai, berbeda dengan istriku yang mendadak pingsan. (Bahkan, hingga berhari-hari setelah kematianku, aku masih kagum pada bakat tersebut.)
Dini hari, setelah istriku siuman, kujelaskan sejujur-jujurnya pada keluargaku soal pekerjaan dan organisasi itu, dan mereka mendengarkan dengan mulut menganga. Tentu keduanya tak ada yang menduga bahwa inilah pekerjaan asliku, bahwa aku bukan pustakawan sungguhan, terlebih aku hanya pria kurus berkacamata dengan rambut mangkuk dan mirip ia-yang-selalu-dirundung dalam film-film—tapi pembunuh yang baik memang tak tampak seperti pembunuh. Dan, penjelasan kuakhiri dengan, “Kalian berminat pergi dariku?”
Mereka menggeleng, meski tak tersirat ancaman dalam pertanyaanku.
Lalu, aku menjelaskan soal risiko kematianku, baik di tangan targetku, rekan organisasiku, maupun atasanku. Mereka pun menangis. Wajar saja, menerima fakta bahwa suami atau ayahmu bukan orang baik tak sesulit menerima fakta bahwa ia bisa mati sewaktu-waktu, dengan cara selain sakit atau kecelakaan. Di titik inilah aku mendapat ide untuk mengadakan latihan bersikap santai.
Latihan dimulai esok paginya, saat kami sarapan nasi goreng buatan istriku. Aku mendadak berkata, “Besok aku mati.”
Vianna berhenti mengunyah dan menjeda tontonan dan melepas earphone; istriku berhenti mengunyah dan sendok di tangannya terjatuh ke lantai.
“Besok aku mati,” ulangku. “Berikan reaksi yang paling santai. Vianna, silakan.”
“Wow,” balas putriku. “Titip salam untuk Izrail.”
“Bagus. Sayang, giliranmu.”
“Kau pikir ini lucu, setan alas?” Suaranya gemetar, air matanya menetes.
“Tidak. Ini cuma latihan.”
Ia berteriak dan meraup nasi goreng dengan tangan dan melemparnya ke wajahku sebelum berlari ke lantai atas dan membanting pintu kamar. Ia kurang santai. Melatih istriku memang tak mudah.
“Bisa berangkat sekolah sendiri hari ini, Nak?” kataku.
“Besok dan seterusnya pun bisa.”
“Terima kasih.”
Latihan kedua kulakukan di sarapan selanjutnya, begitupun latihan ketiga, keempat, dan seterusnya, sampai kalimat, “Besok aku mati,” menjadi sarapan rutin. Tiap hari, Vianna selalu memberi reaksi santai yang mengagumkan, tak jarang komikal, sedangkan istriku diam saja. Bagaimanapun, ada sedikit kemajuan darinya: di latihan kedua hingga ketiga ia langsung pucat begitu mendengar kalimatku, tapi di latihan keempat dan seterusnya ia tak pucat sama sekali, tak peduli sama sekali.
Aku menghentikan latihan rutin di hari keempat belas. Mereka membutuhkan variasi latihan, membutuhkan kejutan yang sehebat kematian sebenarnya. Maka, latihan kelima belas kulakukan dua puluh delapan hari kemudian, setelah mereka yakin bahwa aku bosan dengan latihan.
Hari itu adalah Minggu pagi, pukul 6.50, hujan hampir menghapus pemandangan di luar jendela. Aku berbaring di lantai dapur, dan menikam perut sendiri dengan pisau dapur, dan membelalakkan mata seakan mati akibat serangan kejutan. Beberapa menit kemudian, terdengar pintu kamar Vianna terbuka, dan suara langkahnya mendekat—aku menahan napas—dan ….
“Ayah …?” Suaranya hampir bergetar. Sejenak ia menarik napas panjang, berusaha bersikap santai. Dan, “Sebelum mati, setidaknya bantu aku kerjakan PR matematikaku.”
Bagus.
Pintu kamarku dibuka. Terdengar istriku menuruni tangga. Begitu melihatku, ia langsung berlutut di sampingku, menjerit panjang, mencabut pisau dari perutku dan hendak menikam leher sendiri—aku langsung menahan tangannya.
“Hei, hei, kau kurang santai!”
Heninglah sejenak. Pelan-pelan, Vianna mengambil pisau dari tangan istriku.
“Lebih baik latihan yang seperti biasa saja,” ucap istriku, parau.
“Baik. Bisa tolong antarkan Vianna ke sekolah? Aku harus ke rumah sakit.”
Vianna meletakkan pisau di wastafel. “Aku bisa berangkat sendiri.”
“Tidak. Belakangan gurumu menelepon terus soal kau yang bolos.”
“Aku sibuk bekerja di kedai kopi. Semakin banyak tabungan, semakin santai kami menyambut kematianmu. Bukankah itu yang Ayah mau?”
“Terima kasih.” Aku tersenyum. “Tapi dikeluarkannya kau dari sekolah tidak akan membuat kami santai.”
***
Entah kenapa istriku bertanya, “Apa ini latihan…?” Setelah kusampaikan kabar kematianku yang sesungguhnya. Biasanya ia diam. Mungkin, dari caraku bicara, ia merasakan sesuatu yang berbeda dari ratusan kali latihan. Mungkin aku sendiri belum sesantai itu. Namun, minimal kami sudah berlatih.
Pukul 19.00 pun tiba. Waktuku 8 menit lagi. Kami berkumpul di meja makan, menyantap piza quatro formaggi favorit kami bertiga. Tadi Vianna dan istriku berpakaian serba hitam, tapi aku menyuruh mereka memakai pakaian biasa, seolah tak ada apa-apa hari ini. Vianna kini berswiter hitam dan rok pendek, istriku berdaster batik cokelat.
“Bagaimana caramu mati?” tanya istriku, sambil mengunyah piza, tanpa menatapku.
Itu ialah kalimat pertamanya hari ini. Sedari pagi, ia menganggapku tak ada: tak sekalipun menatapku, tak sekalipun bicara padaku—Vianna membisikiku, “Ibu sedang berlatih hidup tanpa Ayah.”
“Cara kami selalu tak terduga, Sayang. Misalkan, mungkin, pemulung itu diam-diam membawa senapan jarak jauh—setop, jangan menoleh ke jendela.”
Dari jendela ruang makan, tampak seorang pemulung tua menyeret gerobak sampah perlahan, dan mengangkat tempat-tempat sampah di depan deretan rumah dengan lamban, seolah tiap gerakan berpotensi mematahkan tulang-tulangnya. Namun, mungkin seluruh tulangnya baik-baik saja. Bisa jadi ia hanya melambatkan gerakan untuk fokus memantauku.
“Sekali lagi kuingatkan,” kataku, “Pembunuh dilarang menyisakan saksi mata.”
“Jadi, sebaiknya kami pergi ke kamar masing-masing,” balas Vianna, dan aku mengangguk.
Istriku menghabiskan piza di tangannya, mengelap bibir, lalu mengecup keningku. Ia kemudian melangkah ke lantai atas tanpa bicara. Vianna masih duduk di kursinya, mencocolkan piza ke saus keju.
“To..long, jaga ibumu.” Sial, suaraku bergetar. “Jangan bolos sekolah terus. Kamu sudah mau lulus. Sekarang, pergilah.”
Vianna menghabiskan pizanya dan berkata, “Selamat malam, Ayah.” Ia memelukku.
Rasanya baru kali ini ia memelukku lagi setelah bertahun-tahun. Aku ingin menangis. Namun, aku harus bersikap santai. Vianna sudah cukup santai—aku tak boleh membuatnya ikut menangis. Mempersiapkan kematian dengan santai memang tak pernah mudah.
Tiba-tiba, sesuatu yang dingin menyentuh leherku.
Seeet… leherku disayat.
Vianna mundur beberapa langkah. “Sekarang kau tahu kenapa aku sering bolos,” bisik putriku, gemetar, menyelipkan sebilah pisau berlumur darah ke lengan switernya. Lalu, ia mengacungkan jempol ke luar jendela, ke pemulung itu—yang membalas dengan isyarat serupa—dan pergi ke kamarnya seolah tak terjadi apa pun.
Darah melengketkan bajuku ke kulit. Aku tumbang ke lantai. Pandanganku mengabur. Wow. Mungkin, selama ini bukan aku yang berusaha membuatnya santai dalam menyambut kematianku, melainkan sebaliknya. ***
.
.
Surya Gemilang, lahir di Denpasar, 21 Maret 1998. Karya-karya tulisnya antara lain dapat dijumpai di lebih dari 10 antologi bersama dan sejumlah media massa, seperti Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Media Indonesia, Bacapetra.co, dan Basabasi.co
.
Mempersiapkan Kematian dengan Santai. Mempersiapkan Kematian dengan Santai. Mempersiapkan Kematian dengan Santai. Mempersiapkan Kematian dengan Santai.
Leave a Reply