Cerpen Annisa Moezha (Suara Merdeka, 25 Februari 2024)
WAWAN membenarkan posisi kacamata tuanya berkali-kali dengan tangan kirinya, memastikan letaknya tak akan merosot dari punggung hidungnya yang ramping. Sementara tangan kanannya memegangi handphone (hp) milik Wati, anaknya. Matanya nampak menyipit berusaha mempertajam penglihatan. Susah payah ia menatap layar cerah dari hp di genggamannya untuk melihat berkas surat yang sejak tadi ditampilkan di sana.
Melihat Wawan sukar menatap layar, Wati yang sejak tadi duduk di sebelah Wawan buru-buru menurunkan kadar pencahayaan dari hp miliknya. Kemudian, hanya dengan menggunakan jari jempol dan telunjuk, Wati menyentuh layar dan memperbesar tampilan berkas sehingga ukuran tulisan di sana jauh lebih besar dari sebelumnya.
“Sudah bisa kebaca belum, Pak?’’ tanya Wati. Wawan mengangguk tanda mengiyakan.
Anak gadisnya itu paham betul Wawan tidak terbiasa menggunakan benda canggih macam itu, jadi ia harus mendampingi Wawan hanya untuk memberitahu surat penting yang beberapa saat lalu diterimanya melalui email. Maklum, di rumah hanya Wati yang punya hp canggih. Itu pun ia beli second dari teman sekolah yang mengaku sudah bosan dan hendak dibelikan hp baru oleh orang tuanya.
“Kenapa tho nggak dicetak saja? Biar Bapakmu gampang bacanya.” Muncul dari dapur, Sulastri turut mengomentari kepayahan suaminya itu.
Wati tak merespons ibunya, hanya saja ia membayangkan malasnya pergi ke warnet atau tempat fotokopi untuk mencetak berkas surat yang dimaksud ibunya.
Wawan membaca dengan teliti berkas dokumen di hp Wati. Surat pemberitahuan tentang rincian pembayaran awal pada proses daftar ulang penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi tempat Wati akan mengenyam bangku kuliah nanti, termasuk jumlah biaya Uang Kuliah Tunggal yang harus dibayarkan setiap semesternya. Ada banyak angka di sana, tertera beserta rincian pembayaran apa saja yang harus dilunasi. Angka-angka itu seketika membuat kepala Wawan terasa berat.
“Lagian, dicetak atau nggak, jumlah angkanya nggak akan berkurang, Bu,’’ seloroh Wawan begitu selesai membaca semua isi surat, tangan kirinya kini beralih memijit ringan pelipisnya.
Beberapa hari lalu, raut wajah Wawan dan Sulastri begitu sumringah kala mendapati kabar anaknya diterima di salah satu perguruan tinggi ibu kota. Dengan kemampuan akademis pas-pasan yang dimiliki, Wati menjajal peruntungannya untuk mengikuti tes masuk perguruan tinggi dengan jurusan yang diidam-idamkan. Wati bersikeras untuk bisa menembus tes seleksi penerimaan mahasiswa baru itu dan bertekad untuk melangkahkan kaki ke ibu kota.
Wati ingin sekali melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana seperti teman-temannya, meski tahu keadaan ekonomi keluarganya tak memungkinkan. Baik Wawan maupun Sulastri, sebenarnya berberat hati ketika mendengar keinginan Wati untuk pergi merantau ke ibu kota dan melanjutkan pendidikan di sana. Selain persoalan ekonomi, melihat kerasnya kehidupan di ibu kota membuat mereka khawatir pada putri semata wayangnya itu.
“Bapak Ibu pasti bangga kalau punya anak sarjana. Anaknya penjahit keliling juga bisa kuliah, Pak,’’ kata Wati kala merajuk pada orangtuanya.
Dan keinginan Wati terwujud, ia dinyatakan sebagai calon mahasiswa baru salah satu perguruan tinggi di ibu kota. Wawan yang hanya lulusan sekolah dasar, begitu senang dan terharu. Ia tak menyangka akan segera memiliki anak yang bisa mencicipi bangku kuliah dan kelak menjadi sarjana. Rasa bangga menyelimutinya sepanjang malam. Hingga segala senyum yang sejak kemarin betah di bibirnya, nampak sirna pagi ini begitu ia membaca berulang kali daftar rincian awal pembayaran kuliah Wati.
“Kemana kita harus cari uang segini banyak dalam waktu singkat, Wat?” Satu kalimat tanya terlontar dari mulut Wawan, membuat ketiganya mematung tak berdaya di ruang tengah rumah mereka yang mungil.
Malam-malam setelahnya, Wawan dan Sulastri jadi sulit memejamkan mata. Angka-angka di surat itu seperti berdengung memenuhi kepala mereka. Begitu juga dengan Wati, ia dilanda kegundahan. Dalam hatinya keinginan untuk melanjutkan pendidikan sangatlah besar. Apalagi teman-teman seangkatannya tentu saja sudah merencanakan hal serupa untuk melanjutkan kuliah di perguruan tinggi ternama berbagai kota. Namun, demikian sifat remaja seusianya, niatnya tak goyah sedikit pun meski tahu keadaan ekonomi keluarganya sulit. Ia tak mau mimpinya berkuliah pupus begitu saja. Pasalnya, Wati juga sudah kadung mengabarkan ke banyak teman dan mengunggah di berbagai media sosialnya bahwa ia dinyatakan lolos seleksi mahasiswa baru perguruan tinggi di ibu kota. Melampirkan tangkapan layar hasil pengumuman penerimaan dirinya. Sudah banyak teman, guru, kenalan, dan orang yang entah datang dari mana memberinya tanda jempol dan turut berkomentar mengucapkan selamat di semua unggahan Wati.
Berhari-hari Wawan dan Sulastri dibuat sukar, ia mencoba berbicara pada Wati untuk menunda saja mimpinya. Sebab perkaranya bukan saja tentang biaya uang masuk di awal, namun pekerjaan Wawan sebagai penjahit keliling tentu saja tak bisa menopang biaya hidup Wati selama di Jakarta. Namun, Wati bersikeras dan meyakinkan kedua orang tuanya, ada banyak jalan yang bisa ditempuh sebagai solusi untuk urusan biaya kuliah dan modal hidup di ibu kota.
Hingga saat itu tiba.
Pada suatu pagi, Wati dengan mantap mengajak Wawan dan Sulastri duduk di ruang tengah. Wati menyampaikan satu ide sebagai jalan keluar permasalahan yang sedang mereka hadapi. Dengan sangat hati-hati dan menggunakan bahasa yang mudah, Wati menyampaikan idenya, meski sama saja di akhir obrolan Wawan dan Sulastri tercekat. Sebagai remaja yang sedang senang-senangnya berselancar di media sosial, ia menemukan satu cara untuk mendapatkan apa yang selama ini mereka harapkan. Wati seperti mencocok hidung orang tuanya dan meyakinkan mereka bahwa cara yang dia maksud tentu akan berhasil. Jalan buntu di kepala Wawan dan Sulastri pada akhirnya membawa mereka untuk mengikuti skenario yang dibuat oleh Wati.
Di jalanan besar kota tempat tinggal mereka, Wawan mengayuh sepeda tua yang biasa digunakannya berkeliling dengan alat jahit andalannya yang bertengger di bagian belakang. Sementara sebuah papan yang sudah disiapkan oleh Wati terpajang di bagian depan sepeda. Sesuai arahan Wati, Wawan berhenti lama di setiap sudut perempatan lampu merah, atau duduk di dekat alun-alun kota, atau mondar-mandir di pusat keramaian. Wawan harus memasang wajah lelah, mata sayu dan kosong seolah tak memiliki banyak harapan agar semua mata tertuju pada sosoknya. “Nanti pokoknya Bapak lakukan saja apa yang tadi sudah direncanakan. Dari jauh nanti Wati ambil videonya.’’
“Kamu yakin cara ini bisa berhasil?’’ tanya Sulastri dan dibalas dengan anggukan mantap oleh Wati.
***
Wati tersenyum puas dengan hasil karyanya. Tanpa berpikir ulang, ia menggunakan akun anonim untuk mengunggah sebuah video dramatis seorang bapak yang rela berkorban demi anaknya melanjutkan pendidikan. Ia juga mengirimkan video itu ke akun-akun besar dan menandai berbagai akun artis, seleb media sosial, dan influencer kenamaan disertai dengan narasi kesedihan yang mendukung. Wati bertingkah seolah-olah ia adalah orang lain.
Berjam-jam ia khusyuk menyebarkan video yang ia sutradarai sendiri itu demi mendapatkan apa yang dia inginkan. Dalam semalam, puluhan bahkan ratusan ribu orang berkerumun dalam postingan yang diunggah oleh Wati. Media sosial menunjukkan taringnya. Cepat sekali kisah sedih itu merebak ke berbagai pelosok negeri. Wajah Wawan yang mengayuh sepeda tua dengan alat-alat jahit kelilingnya disertai papan yang tergantung di bagian depan bertuliskan “BAPAK/IBU, SAYA SEHAT DAN SAYA SIAP JUAL GINJAL UNTUK BIAYA KULIAH ANAK SAYA’’ disertai deretan nomor hp yang kini jadi topik hangat sana sini.
Tak butuh bilangan hari, kisah Wawan menjadi viral. Sungguh tak dapat terbendung, semua berselancar ke postingan itu, ragam komentar pun berjubalan di sana. Sebagian orang menyemangati, ada pula yang menghujat, tak sedikit yang iba dan menanyakan di mana bisa bertemu dengan Wawan untuk berdonasi secara langsung.
Jenis komentar terakhirlah yang Wati tuju. Donasi. Tangan Wati gemetaran begitu esok paginya ia melihat sebanyak apa notifikasi yang muncul di hp-nya. Banyak pesan masuk dan panggilan telepon untuk meminta bertemu dengan Wawan. Wati tak menyia-nyiakan kesempatan ini, ia langsung memberikan nomor rekening begitu ada yang meminta, bahkan menyodorkan alamat rumahnya untuk dikunjungi donatur yang akan membantu Wawan.
Berbagai orang merasa iba, beberapa aktivis kemanusiaan di media sosial turut menggalang dana, bahkan yang lebih mengejutkan lagi postingan yang dibuat Wati sampai kepada Menteri Pendidikan. Pak Menteri meminta ajudannya untuk mencari Wawan ke kotanya. Dan dalam hitungan hari, Wawan, Sulastri, dan Wati disibukkan dengan berbagai aktivitas meladeni tamu dadakan, wartawan yang ingin sekedar mencatut kisah sedihnya, donatur yang datang dengan peralatan konten segambreng dengan jumlah donasi tak seberapa, pejabat caleg yang tiba-tiba saja datang dan menjanjikan untuk memberikan uang bulanan pada Wati kelak untuk biaya hidup di ibu kota.
Baik Wawan, Sulastri, dan Wati harus menjalankan perannya sebagai orang paling nelangsa di hadapan para pejabat dan donatur yang datang untuk menarasikan keadaan ekonomi tidak boleh menghambat generasi muda negara ini untuk mendapatkan pendidikan yang adil dan setara. Skenario itu terus diulang-ulang, hingga akhirnya pundi-pundi uang donasi didapatkan untuk biaya masuk kuliah Wati, berikut jaminan hidup selama masa kuliah. Dalam sekejap, hanya dengan kekuatan satu postingan yang diunggah ulang oleh ratusan ribu tangan manusia, hidup keluarga Wawan yang dulu dipenuhi kekurangan, kini di luar batas angan-angan.
Seperti yang Wati pernah katakan pada Wawan tempo hari, berita viral hanya akan bertahan sebentar dan akan dilupakan. Orang-orang akan berganti kerumunan, dan meninggalkan kita yang pernah dikerumuni. Sebab kisah-kisah lainnya yang tumpang tindih akan dengan cepat mengalihkan perhatian pengerumun. Maka, dalam waktu yang singkat pula orang-orang melupakan cerita perjuangan bapak yang hendak menjual ginjal untuk biaya kuliah anaknya. Keluarga Wawan pun memetik hasilnya dan tak ada ginjal yang pada akhirnya terjual.
Wawan dan Sulastri tak lagi khawatir. Mereka akhirnya bisa tidur nyenyak, bahkan lebih lelap, setelah Wati anak satu-satunya terjamin biaya pendidikan dan modal hidupnya di ibu kota. Dengan hasil jerih payah mereka, Wati berhasil merasakan bangku kuliah dan tentu saja suatu hari akan pulang sebagai sarjana. Dada Wawan masih terasa hangat, ketika mengingat ulang kalimat Wati, “Bapak Ibu pasti bangga punya anak yang sarjana. Anaknya penjahit keliling juga bisa kuliah, Pak.”
Tiga tahun berlalu setelah kisah sedih Wawan itu viral, di halaman rumahnya yang kecil pagi ini Sulastri menerima kabar bahwa Wati resmi dikeluarkan dari perguruan tinggi yang dibanggakannya. Wati mangkir empat semester tanpa keterangan. Sulastri sama sekali tidak terkejut. Sejak ia melepas Wati tinggal di ibu kota untuk mengejar cita-cita menjadi sarjana, anak perempuannya tak pernah pulang ke rumahnya. Wati kini telah pulang ke rumah lain bersama laki-laki yang telah membawanya pergi. Wati kawin lari. Ia tak lagi berada di ibu kota, tapi di kota lain yang telah menjadikannya ibu.
Masih di halaman rumahnya, Sulastri menikmati secangkir teh yang tak lagi hangat. Rutinitasnya setiap hari adalah duduk menghadap jalanan depan rumah, berharap Wati muncul membawa cucunya yang lucu. Sementara tubuh Wawan makin tak berdaya di ranjang dipan ruang tengah, penyakit liver menggerogoti tubuhnya setahun belakangan. ***
.
Keterangan:
(penggunaan istilah kerumunan terinspirasi dari novel Kerumunan Terakhir karya Okky Madasari)
.
.
— Annisa Moezha, kelahiran Brebes, Jawa Tengah. Gemar menulis puisi dan cerpen. Beberapa jurnal dan karyanya terbit dalam buku-buku antologi serta dimuat di berbagai media cetak lokal dan nasional.
.
Cara Kerja Kerumunan. Cara Kerja Kerumunan. Cara Kerja Kerumunan. Cara Kerja Kerumunan. Cara Kerja Kerumunan. Cara Kerja Kerumunan. Cara Kerja Kerumunan.
Leave a Reply