Cerpen Ahimsa Marga (Kompas, 17 Maret 2024)
KUIKUTI langkahku yang menuju entah ke mana. Berhari-hari aku berjalan hanya mengikuti kehendak kaki. Aku sudah kehilangan semuanya sejak dua tahun lalu, eh, sejujurnya, jauh sebelum itu.
Sejak peristiwa tujuh tahun lalu itu, dari luar, aku masih Satyaka yang humoris, rendah hati, penolong; Satyaka yang selalu bisa memberi solusi; Satyaka yang berwibawa. Klienku masih harus menunggu untuk bisa berkonsultasi. Daftarnya cukup panjang.
Kehidupan rumah tanggaku tetap tenteram, tak tergoyahkan, meski kami mungkin tidak diberi momongan, setelah menunggu selama 25 tahun. Keluarga besar kami adalah keluarga Jawa yang akrab satu sama lain, terbuka, tetapi juga konvensional. Ada aturan-aturan baku yang tidak boleh dilanggar, dan semua anggota keluarga tahu itu.
Selama lebih 25 tahun, hidupku nyaris sempurna. Bahkan riak-riak kecil pun tak singgah dalam kehidupan keluargaku. Istriku adalah sosok yang lengkap. Aku menemukan semua bentuk hubungan dalam dirinya. Dia bisa menjadi sosok adik, kakak, sahabat, sekaligus kekasih sejak kami memutuskan menikah.
Sampai satu titik, aku seakan masih berada di jalan lurus, tanpa menyadari bahwa ujungnya menuju maut.
***
Aku berhasil keluar dari stigma yang menjadi beban keluarga selama berpuluh tahun dengan menjadi diri sendiri. Bapak adalah tahanan politik selama bertahun-tahun, tanpa putusan pengadilan, seperti lazim terjadi pada waktu itu. Saat Bapak “diambil” akhir tahun 1967, aku masih berada di perut ibuku.
Kata Ibu, “kesalahan” Bapak adalah menerima sumbangan beras selama hampir dua tahun dari temannya sesama guru yang menjadi anggota organisasi onderbouw PKI. Bapak menerima bantuan itu dengan “alhamdulillah” karena saat itu segalanya serba susah. Dengan empat anak, gaji Bapak sangat tidak mencukupi. Ibu kerap menjual telur ayam peliharaan agar bisa membeli beras. Gizi anak-anak menjadi nomor sekian, karena yang penting perut mereka terisi nasi. Di tengah situasi yang porak poranda, aku lahir dengan berat 2,2 kg.
Kata “alhamdulillah” berubah menjadi “naudzubillahi min dzalik” ketika Bapak dituduh sebagai simpatisan PKI. Telunjuk sang temanlah yang mengirim Bapak dari penjara ke penjara sampai tiga kali pindah sebelum dibebaskan dengan sekian persyaratan dan cap ET di KTP-nya.
Aku selamat karena diangkat sebagai anak oleh sahabat Bapak. Maka, kemudian aku dikenal sebagai Satyaka Winduatmodjo, bukan Satyaka Josoharmojo, nama keluarga kami.
***
Secara alamiah, sejarah mengulang dirinya. Tetapi pada kenyataannya sejarah tak benar-benar terulang dengan sendirinya, melainkan berima. Kita acap kali tak bisa belajar dari kesalahan karena sering tidak mengenali pola yang berulang, terutama yang terjadi di depan mata. Pandangan tentang takdir membuat segala sesuatu dengan mudah masuk ke dalam rangkaian peristiwa.
Batu karang kesetiaanku perlahan terkikis sejak tujuh tahun lalu, ketika seorang perempuan memasuki ruang konsultasi, suatu pagi. Ibu dari tiga remaja itu berpenampilan biasa saja. Tidak ada yang istimewa, tetapi luka batinnya memunculkan seluruh gambaran tentang ketersiaan dan ketidakberdayaan, yang terekam pada wajah yang kosong.
Aku tidak bisa menceritakan secara detail peristiwa yang membuatnya tumbuh dengan rasa percaya diri yang rendah. Tapi bayangan sebagai anak yang ditolak terus mengejarnya dan kemudian menjelma menjadi perasaan terabaikan; semacam ingatan akan penderitaan, yang tak mampu ditransformasikannya menjadi kekuatan. Sebaliknya, malah diperam sampai matang sebagai perasaan mengasihani diri sendiri dan membenarkan segala tindakan atas nama itu semua, sampai usianya yang menjelang setengah abad.
Aku selalu terhubung dengan penderitaan seperti itu, sehingga memunculkan gambaran kabur tentang kondisi kejiwaan seseorang. Kewaspadaanku lumpuh.
Secara fisik aku tidak tertarik padanya, sehingga aku tak ingat, bagaimana mulanya. Aku cuma ingat, dia sudah menyiapkan semuanya. Ketika aku ragu, dia meyakinkan, “Tenang, Mas, aku tidak akan menuntut apa pun dari kamu. Aku cuma butuh penguatan bahwa aku ini berharga.”
Kalimat bersayap itu seharusnya kukunyah lama, tetapi entah kenapa, aku menelannya begitu saja. Padahal dari ceritanya aku tahu bahwa semua petualangan kasur yang dilakukannya juga untuk mendapatkan pengakuan semacam itu. Sejak pertama aku menerima ajakannya, aku tak pernah bisa menolak keinginannya.
Di hadapannya aku seperti kerbau dicocok hidung. Semakin lama aku semakin berkubang di dalam rongga yang gelap tak berdasar. Tak bisa kusalahkan setan atau apa pun namanya yang memengaruhiku, karena nyatanya semua itu terjadi selama beberapa waktu secara intensif. Aku mendapat pengalaman yang tidak kudapatkan selama aku berkeluarga, dan, tololnya, aku menikmatinya.
Ketika terang membangunkan lelap kesadaranku, semuanya sudah terlambat. Aku berusaha menghindar. Dia meradang dan terus mengejar, seperti banaspati. Aku ingat semua rekam jejak kejiwaannya: bahwa dia bisa melakukan apa saja kalau merasa ditolak. Perasaan ditolak itu yang seharusnya kubantu untuk “dijinakkan”, tetapi keakuan yang berselubung rasa belas kasih mengoyak tabir kelemahanku, membuat dia berhasil menaklukkanku.
Sampai pada suatu hari, dua tahun lalu, aku dipanggil oleh komisi etik organisasi profesi untuk mempertanggungjawabkan semua pelanggaran yang kulakukan. Ah, rupanya perempuan itu datang mengadukan semuanya.
Di hadapan ketua komisi, dengan mata berkilat, penuh kebencian, dia mengangkat telunjuknya dan mengatakan, “Bapak Satyaka telah melakukan pemaksaan dan kekerasan seksual pada saya!”
Aku terbeliak.
Pemaksaan? Kekerasan seksual?
Siapa yang melakukannya? Aku?
Tapi aku tak bisa berargumen. Mulutku seperti dibekap, karena dengan alasan apa pun, yang sudah terjadi, entah karena terjebak atau saling menjebak, di luar tuduhan itu, adalah fakta. Dalam prinsip relasi kuasa, sebagai laki-laki, apalagi sebagai konselor, aku berada pada posisi lebih kuat, yang pasti bersalah dalam kasus seperti ini, tanpa peduli bahwa relasi semacam itu bisa bersifat lentur.
Aku menyesali semuanya. Aku bersalah. Aku sungguh bersalah, karena akulah yang seharusnya memegang kendali atas diriku. Bukan orang lain.
***
Pernah kudengar kisah seorang biksu yang dituduh seorang gadis bahwa dialah ayah dari anak yang dikandungnya. Telunjuk seorang gadis membuat biksu itu dicemooh dan dijauhi masyarakat. Namun sang biksu itu merawat bayi itu dengan penuh cinta, sampai suatu hari si gadis tak tahan didera perasaan bersalah karena telah berkata bohong. Si gadis mengambil bayi itu, sambil meminta maaf sampai terbungkuk-bungkuk. Sang biksu dengan wajah datar, memberi jawaban standar seperti saat dia difitnah.
“Baiklah….”
Aku bukan sang biksu, dan tidak bisa mengatakan “Baiklah,” meski aku bukan pelaku.
Telunjuk itu.
Dalam ajaran Jawa, setiap jari tangan punya makna. Jari telunjuk atau panuduh dalam bahasa Jawa secara filosofis mempunyai arti bahwa kita harus bisa menjadi contoh untuk hal-hal baik bagi orang lain. Akan tetapi, pada banyak kasus, telunjuk menjadi simbol dari mereka yang berada pada posisi yang lebih kuat, baik secara sosial, ekonomi, intelektual, psikologi, dan lain-lain; digunakan untuk menunjuk, menuduh.
Agar telunjuk itu terangkat ke luar, empat jari lainnya harus ditekuk, tetapi tiga jari mengarah ke dalam. Kuingat pesan eyangku, “Hati-hatilah menggunakan telunjukmu, karena dengan telunjuk itu kamu bisa berutang nasib pada orang lain. Tiga jari itu mengarah pada dirimu. Ingat itu!”
Telunjuk mengempaskan Bapak ke penjara dan pulang dengan jiwa yang pecah berkeping 10 tahun kemudian. Ibuku sempat terguncang, sebelum berubah menjadi perempuan berhati baja. Anak-anaknya bertumbuh dengan kebaikan jagat bentala.
Sekarang, telunjuk itu membuat aku kehilangan semuanya. Gelar intelektual, karier yang gemilang, nama besar, semua meruap, ketika integritas dipertanyakan.
Namun yang membuatku luluh lantak adalah paksaan keluarga untuk menceraikan istriku, meski istriku memaafkan dan aku yakin, dia selalu mencintaiku. Namaku dicoret agar tak ada jejak yang boleh tertinggal, dan mungkin tak pernah dikembalikan setelah melanggar aturan paling keras dari keluarga besar: komitmen. Mukaku kutekuk dan tatapanku tak mampu beradu dengan pancaran kekecewaaan dari mata tua ibuku.
Aku bahkan tak berani menyebut nama Tuhan-ku. Dia ada di sini, sangat-sangat dekat, tetapi untuk bersimpuh pun, aku merasa tak pantas. Aku menangguk karmaku; membayar pengingkaran kesetiaan yang tak mungkin bisa kulunasi. Meski meyakini, Dia Maha Pengampun, tetapi aku tetap harus menanggung akibat dari perbuatanku.
Yang membuatku terus berjalan memasuki wilayah yang belum terjamah, mungkin, adalah kemauan bertahan, atau mungkin dorongan untuk meniti jalan kematian.
Jeda langkahku hanyalah antara tidur dan terjaga.
Di antara itu, suatu waktu di sepertiga malam, kulihat sketsa samar satu sosok perempuan berambut panjang, bertopeng dengan pakaian compang-camping terhuyung menari seperti gayang di tengah gelanggang, dan aku menonton di pinggiran dengan muka telanjang. ***
.
.
Tangerang Selatan, awal Februari 2024
Ahimsa Marga adalah Maria Hartiningsih, wartawan senior yang pada masanya dikenal gigih memperjuangkan hak asasi manusia, terutama bagi anak, perempuan, dan kelompok yang dimarjinalkan. Tahun 2003, ia menerima penghargaan Yap Thiam Hien, sebuah penghargaan di bidang edukasi HAM yang pertama diterima oleh wartawan di Indonesia.
Sigit Santosa, lahir di Surakarta, 1950. Lulusan Sekolah Tinggi Seni Rupa ASRI Yogyakarta ini setidaknya empat kali menggelar pameran tunggal dan enam kali pameran bersama. Selama 43 tahun bekerja di agen periklanan serta 21 tahun mengajar di Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta dan Sekolah Tinggi Desain Interstudi. Pernah jadi ilustrator lepas di majalah Dewi, Hai, dan Bobo.
.
.
Leave a Reply