Cerpen Yin Ude (Koran Tempo, 24 Maret 2024)
SARKAWI adalah bupati istimewa, yang berbeda dari bupati-bupati Sumbawa Timur sebelumnya.
Itulah pandanganku, yang tak pernah berubah dan tak bisa diubah oleh siapa pun.
Alasanku banyak, tapi yang utama adalah Sarkawi suka blusukan untuk mengetahui kondisi rakyat dan menyerap aspirasinya secara langsung. Blusukan ini repot, melelahkan, dan berisiko menurutku. Tapi Sarkawi mengabaikan itu semua demi kepentingan rakyat.
Dan aku sendiri adalah salah satu rakyat yang sangat mengharapkan dikunjungi olehnya. Aku ingin Sarkawi mengetahui kesusahan yang kualami selama ini, yang selalu hendak kusampaikan langsung kepadanya.
Bertahun-tahun aku dan keluargaku tinggal di rumah panggung tidak layak huni. Kayu-kayu rangkanya sebagian sudah menunjukkan tanda keropos, dinding gedeknya melapuk dan berlubang-lubang, gentengnya banyak yang retak, berlubang, dan rontok. Usuk atap pun merapuh. Dengan penghasilan sebagai pekerja serabutan, aku dan istriku tak punya biaya untuk memugarnya. Karena itu, bertahun-tahun pula aku bermimpi mendapat bantuan bedah rumah dari pemerintah. Mimpi yang entah kapan menjadi kenyataan, sebab setiap turun program sosial itu, rumahku tetap terlewatkan.
Seandainya Sarkawi datang blusukan, akan kusampaikan kepadanya bahwa pemerintah, entah desa, entah kecamatan, telah berlaku tak adil kepada keluargaku. Berbagai dalih mereka cetuskan ketika aku menyampaikan protes.
“Bukan kami yang tentukan keluarga sasaran bedah rumah. Kami pun bingung kenapa rumah Bapak tidak masuk daftar.” Ini yang paling sering diucapkan Pak Kades.
Ya, aku sangat berharap Sarkawi datang blusukan, untuk kukeluhkan sejelas-jelasnya isi hatiku, bagaimana sebagai rakyat miskin yang seharusnya diperhatikan ternyata diabaikan. Dan dalam angan-anganku, kami bicara berdua saja di dapur rumahku. Harus di dapur, sebab walau di dapur ia tak akan kusuguhi apa pun. Kutahu, dengan kebijaksanaannya, ia paham alasan pemilihan tempat dan perlakuanku itu.
Istriku tercenung saat aku, sambil senyam-senyum, menceritakan harapanku itu kepadanya.
“Sabar, Kak. Siapa tahu tahun depan pemerintah mencatat nama kita. Jangan berpikir macam-macam, nanti pusing sendiri, akhirnya stres.” Tanggapannya serius. Mungkin ia bisa menangkap latar sesungguhnya dari ceritaku, yang walaupun kulontarkan sambil senyam senyum, tapi di baliknya tidak main-main.
Dua minggu sudah kata “seandai”, “seandainya Sarkawi datang blusukan” mengisi kepalaku. Tiba-tiba kata “seandai” itu cenderung berubah menjadi “seharusnya”. “Seharusnya Sarkawi datang blusukan.” Dan aku pun tergoda untuk melakukan reka adegan bagaimana seandainya, ketika karena keharusan, Sarkawi hadir di dapurku.
Sore itu, sepulang dari bekerja menjadi buruh di sawah tetangga, rumah sepi. Istriku pergi mengunjungi orang tuanya. Kedua anak kami dibawanya serta.
Aku angkut kursi dan meja dari ruang tamu. Kuatur serapi mungkin di dapur. Aku pun duduk, menghadap kursi kosong yang kubayangkan sedang ditempati Sarkawi. Kami dipisahkan meja.
Senangnya aku dikunjungi bupati pilihanku itu. Kutatap ia dengan hati berbunga-bunga. Wajahnya begitu ramah, dihiasi senyum tipis. Lalu potongan rambut belah sampingnya disisir rapi sekali, mengkilat, membuat aku menebak-nebak bahwa ia orang yang senang dengan keteraturan dan berkepribadian tertib. Tapi kemeja putihnya, celana hitamnya, dipadu sepatu yang santai memunculkan kesenanganku yang lain padanya: ia orang yang mampu memadukan formalitas, wibawa, dengan kesederhanaan dan kepraktisan. Dua hal yang penting dijadikan sifat oleh daerah ini untuk keluar dari persoalan, terutama persoalan ekonomi, dan lekas bergerak mengikuti langkah cepat perubahan zaman.
Ia menatapku dengan tenang. Kuyakin ia hanya berusaha menenangkan diri, berusaha tidak terbawa ekspresi mukaku yang serius, yang sedang menghadapkannya dengan persoalan penting. Itu membuatku kecewa. Sebenarnya aku ingin ia juga tegang, agar aku puas mendapati bahwa ia menganggap persoalanku itu tidak dengan santai-santai saja.
Dan yang tidak kalah kuharapkan pula adalah ia tidak usah bicara denganku melalui kata-kata. Sudah cukup kata-kata hanya meluncur dalam basa-basi saat tadi aku menyambutnya di pintu dapur.
Menurutku, kata-kata membosankan dan tak lagi cukup bisa menghasilkan saling pengertian atas segala permasalahan. Bagusnya, menurutku, ia terus saja menatapi wajahku yang lesu, yang tak menyiratkan sinar harapan, yang di dalamnya akan ia dapati redup kekecewaan. Maka, ketika bibirnya bergerak, aku menggeleng-geleng sambil menempelkan telunjuk di bibirku. Mukaku pun kutolehkan ke segala arah, merayapi ruangan dapur dengan pandangan.
Sarkawi tak jadi bicara. Mukanya pun ikut menoleh ke segala arah, mengitari ruangan dapurku dengan tatapan yang mendadak serius.
Aku suka itu. Aku suka sekali ia melihat papan lantai yang sebagian besar sudah berlubang dan kututupi dengan anyaman bambu untuk keamanan kami berdiri di atasnya, dinding gedek yang juga bolong-bolong dimakan usia, usuk keropos yang menopang genteng retak-retak, dan tiang rangka rumah yang miring, menjadikan rumah juga ikut miring. Aku suka ia mengangguk-angguk pelan lalu menghela napas. Pasti ia sudah mengerti tentang semua itu.
Pandanganku beralih ke meja yang ada di antara kami. Meja itu kosong. Tak ada jamuan yang seharusnya. Tatapannya juga ikut melekat di sana. Lalu buru-buru ditarik, dibuang ke langit-langit. Aku yakin Sarkawi didera keprihatinan dalam tentang keadaanku dan tak ingin membuatku risih atau merasa bersalah tak menjadi tuan rumah yang baik.
Ia mengangguk-angguk lagi. Ia menghela napas lagi, yang kudengar berat. Lalu sesaat membenahi rambut belah sampingnya yang diterpa susupan deras angin melalui jendela dapur. Lalu menegakkan badan seraya tersenyum tipis. Lebih terlihat sebagai senyuman kecut. Aku tahu ia sedang ingin pamit dan hendak mengungkapkannya dengan kata-kata, tapi ragu, jangan-jangan aku larang.
Suara tabuhan baskom penjual baskom antipecah di luar rumah membuyarkan khayalanku.
***
LIMA belas kali sudah Pak Sarkawi “blusukan” ke dapurku. Ya, lima belas kali dalam dua bulan belakangan. Dua bulan yang hari demi harinya kian meninggikan tensi harapanku “dikunjungi” oleh sang Bupati, untuk ia dengar teriakan-teriakan batinku yang dari hari ke hari pula semakin kecewa pada acuhnya pemerintah.
Dari lima belas kali “blusukan” pemimpinku itu, empat kali di antaranya mengundang omelan istriku. Penyebabnya adalah tiga kali aku tak sempat mengembalikan kursi dan meja ke ruang tamu, sementara istriku sudah pulang. Sedangkan sisanya karena istriku memergokiku sedang “asyik bicara” dengan Sarkawi.
“Apa-apaan kamu ini, Kak? Mengkhayal dikunjungi Pak Sarkawi, bicara sendiri seperti itu. Berkali-kali lagi!” serunya. “Kakak sudah stres? Aku takut lama-lama Kakak akan gila!”
Aku tersinggung. Tapi terenyak pula oleh ucapan istriku itu.
Benar juga, jika terus-terusan begini, aku bisa terlepas dari kenyataan. Aku akan bahagia dan semakin betah di alam khayal. Perilakuku akan menyimpang dan itu dekat dengan gila. Paling tidak, jika dilihat orang lain, aku akan dikira sudah gila!
Sendiri di kamar, aku tercenung. Lama tercenung.
Tapi, rasanya semakin lama, semakin sering berkhayal, semakin rapat intensitas “dikunjungi” Pak Sarkawi, aku semakin merasa nyaman. Setidaknya masih ada cara bagiku untuk membangun kepuasan atas sesuatu yang sampai saat ini belum juga bisa terpenuhi.
Istriku masuk dan duduk di sampingku. Tak bicara sepatah kata pun, justru ia terisak. Bahunya sedikit terguncang.
Aku hanya menatapinya, tak mengerti.
***
BEBERAPA hari lagi akan masuk musim hujan. Jelas rumahku akan bocor lagi, akan basah lagi hingga ke dalam.
Aku tak tahu harus berbuat apa. Semakin kupikir, semakin membuat aku pusing. Maka tiga kali sudah Sarkawi “mengunjungiku”. Berbeda dengan sebelumnya, saat ini setiap ia pulang aku memilih berdiam diri. Aku merasa kepalaku penuh! Istriku pun sering tak kugubris. Ia hanya bisa memandangiku dengan tatap berisi tanya, tapi tak tercetus. Ujungnya, ia pun diam. Tercenung, seperti memikirkan sesuatu.
Siang ini aku pulang dari mencari kayu bakar. Gegas langkahku, setengah berlari. Keringat membaluri sekujur tubuh. Tak kupedulikan. Aku ingin segera sampai di rumah, ingin lekas membuat nyaman jiwaku yang sejak pagi tadi sangat kalut.
Tak kudapati istri dan anakku. Kupikir mereka masih di rumah Pak Budi, sebab setiap siang istriku mengambil upah dengan membantu mencuci pakaian di sana. Maka, usai menurunkan kayu dari bahu, aku langsung menuju dapur. Pintunya tidak terkunci. Hal yang biasa. Jika meninggalkan rumah, kami hanya menutupnya, tanpa dikunci, sebab apalah yang dicuri orang dari kami yang miskin.
Rumah kosong, situasi yang bagus, pikirku. Aku akan bisa “bertemu” Sarkawi dan bicara lagi dengannya. Dengan leluasa.
“Ya, bicara lagi, tapi kali ini kami akan menggunakan kata-kata. Bukan lagi dengan kesan yang ditampilkan wajahku maupun kondisi dapurku. Aku rasa kemarin-kemarin aku telah keliru. Ternyata kata-kata masih sangat penting dan lebih jelas untuk membangun pengertian.
Aku angkut kursi dan meja ruang tamu. Kuatur seperti biasa. Dan dengan sisa peluh yang meleleh di kening dan badan aku duduk, berhadapan dengan Sarkawi yang seperti biasa menunjukkan sikap tenang. Sesaat ia berdehem dan tersenyum.
Tapi aku yang tak tenang. Tak pula kuucap selamat datang seperti biasanya. Deras dan keras lontaran kata-kata dari bibirku yang masih kurasa keringnya karena dipapar cuaca panas jalanan.
“Bagaimana ini, Pak? Bagaimana nasib saya? Apakah pemerintah tidak bisa membagi perhatiannya sedikit untuk kami orang miskin?”
Suaraku bergetar karena terbawa perih hati yang memuncak. Dan tiba-tiba aku ingin menangis.
“Sampai kapan saya hanya menonton tetangga-tetangga saya mendapat bantuan, sedangkan saya tidak.”
Bupati kesayanganku itu mengangguk-angguk seraya tersenyum. Ia tetap tenang menerima seruanku.
“Bapak jangan tersenyum saja!” sentakku. “Tolong beri saya jawaban, Pak!”
“Apa? Bapak akan mempertanyakan hal ini kepada para bawahan Bapak? Akan bagaimana hasilnya? Sejauh mana hasil itu akan memenuhi harapan-harapan saya?”
Sarkawi terus dengan ketenangannya. Aku jadi tidak senang karena merasa ia tak menanggapiku dengan serius. Tiba-tiba ada rasa dilecehkan yang merayapi dadaku. Emosiku mendadak memuncak karenanya.
Sontak aku bangkit dan berkacak pinggang, hendak berteriak lagi.
Tapi dua pasang tangan kekar tiba-tiba menyergapku dari belakang.
“Sudah, sudah, Pak Thamrin! Istigfar, istigfar, Pak!” seru mereka hampir bersamaan.
“Ada apa ini? He, kenapa aku disergap begini?! Istigfar? Memangnya aku kenapa?!” sentakku terkejut, juga antara malu dipergoki dan tidak mengerti dengan perlakuan kedua orang di belakangku itu.
Ketika aku berbalik, kudapati wajah Muslim dan Burhan, tetanggaku, yang semakin ketat merangkulku. Yang lebih membuat aku terhenyak adalah istriku yang ternyata sudah hadir pula, dengan wajah sembap, menangis.
“Sudah kubilang, Kak, sabar, sabar…, jangan berpikir macam-macam, nanti ujung-ujungnya pusing sendiri. Akhirnya stres. Ini akibatnya…,” ucapnya hampir tak terdengar karena tertindih isakan.
“Apa maksudmu? He, kau pikir aku stres, karena aku bicara sendiri? Atau… kau kira aku sudah gila, sampai aku dikeroyok begini?”
Aku panik demi merasa telah dianggap gila oleh istriku dan kedua tetanggaku itu.
Aku berontak, berusaha melepaskan diri dari Muslim dan Burhan. Tapi keduanya terlalu kuat. Aku hanya bisa meronta-ronta dan berteriak-teriak karena marah.
Parahnya, teriakanku itu malah mengundang perhatian tetangga yang lain. Mereka berdatangan dan kuhitung ada dua belas orang, laki-perempuan, memasuki dapur, dan empat di antaranya ikut pula meringkusku.
Aku semakin panik, semakin marah, dan juga malu sekali. Terlebih ketika ibu mertuaku datang pula dan memeluk anaknya yang kian menjadi-jadi tangisnya seraya berkata terbata-bata, “Sudah beberapa kali saya intip kelakuan Kak Thamrin, yang mengangkut kursi meja ke dapur, dan bertingkah seperti sedang menerima tamu, yang ia sebut-sebut namanya Sarkawi. Ia bicara seperti sedang mengobrol dengan tamu itu. Dan… siang ini saya sembunyi di kamar untuk mengintip kelakuannya. Kak Thamrin teriak-teriak, marah-marah kepada tamunya yang tak ada itu….”
“Aku tidak gila, Dik! Sungguh, aku normal! Aku hanya terbawa-bawa perasaan, dan akan aku jelaskan yang sebenarnya!”
Teriakanku itu sudah tak lagi dipedulikan oleh istriku. Ia pun sudah dibawa pergi oleh ibunya.
Aku tak berdaya melepaskan diri dari orang-orang yang semakin banyak memegangiku. Aku menjadi kalap. Dan pada saat emosiku memuncak, aku rasakan kepalaku pening sekali, pandangan pun berputar, dan seketika gelap.
Sadar, aku dapati diri sudah berada di sebuah ruangan, seperti kamar rumah panggung, yang sepertinya aku kenal.
Oh, benar! Seru hatiku. Ini kamar dalam rumah Haji Syam, dukun yang dipercaya bisa mengobati sakit gila!
Badanku sontak gemetar. Ternyata istriku dan orang-orang telah sungguh-sungguh menganggap aku sudah gila!
Badanku lebih gemetar saat kulihat kedua kakiku berada dalam jepitan kayu balok. Pasungan!
“Ya, Allah!” jeritku tertahan karena lidahku kelu.
Sendiri, letih, aku putuskan pasrah dan membaringkan tubuh. Wajah temanku, Wasib, Mastar, dan Bayit, warga desa sebelah, melintas-lintas di mataku. Kami berempat selalu saling curhat tentang nasib yang sama, tentang rumah yang tak pernah tersentuh oleh program bedah rumah, tentang kemiskinan yang membuat kami tak punya daya apa-apa.
Kemarin mereka pun mengaku sangat berharap dikunjungi oleh Sarkawi. Ingin sekali. ***
.
.
Yin Ude, asal Sumbawa Timur, NTB. Menulis sejak tahun 1997. Tulisannya termuat di media cetak dan media online dalam dan luar Sumbawa.
.
.
Kirimkan cerita pendek, puisi, dan esai seni serta budaya melalui surat-e [email protected] cc-kan ke [email protected]. Panjang cerpen maksimal 13.000 karakter dengan spasi. Jumlah puisi minimal lima judul, panjang esai maksimal 8.000 karakter dengan spasi. Karya tersebut belum pernah terbit di media manapun, termasuk media sosial, atau sedang dikirimkan ke media lain. Lampirkan biodata singkat, foto penulis, alamat, kontak, dan nomor rekening. Waktu tunggu penerbitan maksimal enam pekan.
.
Dikunjungi Bupati. Dikunjungi Bupati. Dikunjungi Bupati. Dikunjungi Bupati. Dikunjungi Bupati. Dikunjungi Bupati. Dikunjungi Bupati. Dikunjungi Bupati.
Leave a Reply