Cerpen Dody Widianto (Bhirawa, 02 Desember 2022)
DULU, sebelum aku pergi, kau pernah menyelipkan selembar senyum dalam dompetku. Menuangkan minyak rindu ke dalam maskerku. Kau cantik, juga licik. Berharap rindumu selalu beresonansi. Dalam denyut panca indra. Dalam getar di dada. Dalam rindu yang masih bernyawa. Dan hari ini Tuhan mengizinkanku. Sejenak, aku kembali untukmu.…
Berjalan melebihi keinginan, setelah hari hampir selesai, aku hanya punya satu jam terakhir dalam digit 5 dan 2. Sebelum segalanya terlambat, hilang, dan musnah, aku harus menyampaikan pesan ini. Aku harus datang sendiri lengkap dengan tubuhku. Memulai perjalanan rindu sepanjang jalan berdebu dari ujung timur ke barat. Perjalanan yang akan membuktikan jikalau kebenaran bisa menemukan jalannya sendiri.
Kondektur memberi tanda kepada para penumpang. Bus akan berangkat. Bersama puluhan penumpang lain, kuseret langkah dengan ragu. Map warna biru dalam bungkusan plastik hitam kupegang erat. Melekatkannya ke dada. Ada hangat juga denyut di sana. Bungkusan ini akan bercerita tentang rindu dan kebenaran. Bungkusan yang juga akan bercerita jikalau hidup manusia selalu dalam jalan takdir-Nya.
Di antara kerumunan penumpang yang berdiri berjajar menyusur lorong kursi-kursi penumpang, bangku nomor 19 berhasil kutemukan. Aku segera duduk. Di sebelahku kosong. Kugeser pantat mendekati jendela. Aku melihat gerimis itu. Seperti tangismu yang mencoba menciumi tepi-tepi dan sudut jendela. Sontak menempelkan jemari. Mengusap sedikit embun yang muncul. Berharap wajahmu tergambar di angkasa. Aku sadar sedang berkhayal. Tak ada siapa-siapa di sana. Aku tak ingin melihat lebih lama.
Detik berlalu. Bergelayut dalam deru mesin dan derit roda-roda. Membawaku ke barat bersama aroma parfum jeruk yang mengudara. Gerimis masih turun. Butir-butir bening terus saja mengalir di jendela. Mirip tangismu. Sejenak, pemandangan itu kabur saat senja perlahan melahapnya. Gelap begitu cepat tiba dan malam berucap selamat datang. Tak ada apa-apa di sana selain hitam. Aku menunduk. Mungkin hanya butuh pelampiasan rindu. Kuharap kau sabar menungguku di sana.
“Aku sudah terima file cerpen-cerpenmu. Nanti aku coba. Pamanku punya kenalan di penerbitan buku. Kau harus sabar. Kemarin beberapa cerpenmu ada yang aku kirim ke media. Hanya satu yang tembus. Itu juga dengan honor yang tak seberapa. Ya, lumayan untuk tiket perjalanan rindumu. Kalau kau hanya berambisi pada honor, aku yakin kau akan cepat menyerah. Bukankah niat kau menulis untuk menebar kebaikan dan berbagi pesan moral kepada sesama? Teruslah menulis dan membaca. Kata-katamu membius. Sama sepertimu, aku juga suka cerpen Agus Noor dan Seno Gumira Ajidarma. Tetapi aku harap kau tak iku-ikutan menulis tentang kunang-kunang atau menamai tokohmu dengan nama Sukab. Kau harus jadi yang spesial. Kau harus punya karakter sendiri. Itu pesanku. Nanti jika salah satu cerpenmu ada yang tembus di media yang pernah kuceritakan itu, kuajak kau jalan-jalan melihat air terjun di Sibolangit atau menyusuri tepian Toba. Honornya lumayan besar. Tetapi jika kau menyisihkan untuk tabunganmu aku lebih rela. Pesanku, teruslah menulis untuk menebar kebaikan dan jalan kebenaran. Aku menyayangimu.”
Pesan panjang di WA-ku terus kubaca ulang. Huruf-huruf itu seakan hidup dan menampakkan garis senyummu di sana. Mungkin kami sedang mabuk asmara. Aku tetap sadar, aku orang tak punya. Aku hanya sopir ayahmu. Kematian ayah dan ibu cukup untuk membuatku bangkit. Lebih kuat dan bekerja lebih giat lagi untuk adik-adikku. Dari langganan koran Minggu ayahmu, tak sengaja aku sering membaca kolom cerpen dan sastra. Sejak saat itu, entah kenapa aku tertarik dunia literasi dan ingin menulis. Ketertarikan itu makin bertambah ketika kau, yang sering duduk di kursi belakang mobil di belakangku, bercerita tentang paman-pamanmu yang menggeluti dunia sastra dan jurnalistik. Hanya ayahmu yang menekuni dunia properti. Mungkin nasib pula yang mempertemukan kita.
Tetes hujan tergelincir di tepi jendela. Hujan belum reda. Barangkali tangismu belum berhenti. Ada getar di sanubari yang tak bisa kunamai. Tunggu aku sebentar lagi. Akan kuberikan bungkusan ini padamu. Bungkusan yang akan bercerita tentang indahnya cinta dan cita-cita. Menjadikan kau penulis hebat lewat tanganku. Semua kulakukan secara sukarela. Aku yakin kau bisa. Menunjukkan pada dunia lewat tulisan-tulisanmu yang menyala. Yang bisa meredam kemarahan, membakar semangat, juga mengkritik pemimpin yang tak amanah dan setia.
Kemarin, kau bilang ingin menua bersama. Hingga rayap dan belatung berhasil memakan tulang dan daging kita. Sudah kukatakan aku berbeda. Aku orang tak punya. Bagaimana nanti jawaban ayah ibumu juga saudara-saudaramu? Carilah yang sepadan denganmu. Yang bisa memberimu kehidupan dan masa depan yang cerah. Bukan hanya janji gombal seperti kalimat dalam cerpenku yang indah. Kau cerdas. Juga cantik. Kau bilang ingin melanjutkan sekolah ke luar negeri yang namanya aku susah menyebutnya. Tentu banyak laki-laki yang menunggumu di luar sana. Turuti keinginan orangtuamu. Aku akan tetap hidup bersama tulisan-tulisanmu di media. Berjanjilah. Tak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya dalam derita. Jika waktu telah berlalu, kau pasti berhasil melupakanku.
Roda bus menjerit. Satu motor menyeberang sembarangan. Melintang. Membuat gemas penumpang. Gerimis belum reda. Apa kau merasa terluka? Tunggu. Tunggu sebentar lagi. Aku akan tiba saat gerimis berhenti dan tangis rindumu terobati. Saat itu kau bisa menumpahkan keluh kesahmu di depanku. Nanti kuberikan bungkusan ini padamu. Bungkusan yang akan bercerita dengan lengkap untuk menjawab kesedihan dan dukamu.
Bus terus melaju. Melawan arah kerlip lampu-lampu. Sepanjang jalan. Menyusuri detik. Menembus terowongan waktu. Menapaki kenangan dari Januari hingga Juni. Jika aku sudah tak ada, aku yakin tulisan-tulisanku akan tetap hidup walaupun tubuhku tak lagi bisa menjelma di dunia. Setidaknya ada rinduku yang tertinggal di sana. Juga sebutir cinta walau orangtuamu tak menganggapnya.
Tepat pukul lima lewat dua menit, bus perlahan mengarah pintu masuk. Di depan pos penjaga, di tengah lingkaran dengan lampu-lampu taman yang masih menyala, huruf-huruf balok berderet. Menampakkan nyala nama terminal. Tempat di mana kita mengikat janji. Bertemu dan melepas rindu. Gerimis belum berhenti. Aku yakin kau masih menungguku.
“Maaf lama. Sudah dari tadi?”
Kau mendongakkan kepala. Pipimu lembap. “Lima bulan tanpa kabar dan hanya itu yang terucap dari bibirmu, Juna?”
Aku bersimpuh. Di depanku, wajah sendu menatapku sekilas. Kau menoleh, mengalihkan pandangan seakan tak sudi melihat wajahku. Melihat orang-orang berlalu lalang keluar pintu bus lalu menuju jalan keluar utama. Kedua telapak tanganku memijit pahamu. Berusaha menenangkanmu.
“Orangtuamu sudah tahu aku siapa. Setelah ini aku akan pergi. Ada banyak cita-cita yang belum terlaksana. Kau harus kuat. Kau juga harus bisa jadi ibu yang bisa diharapkan suamimu kelak. Kau tak perlu terus mengingatku. Seiring berjalannya waktu, aku percaya kau bisa menghadapi kenyataan dan melupakan segalanya. Ini adalah jalan yang paling tepat. Bungkusan ini akan bercerita lengkap tentang semuanya.”
Kau menatapku curiga. Bungkusan dengan cepat berpindah dari tanganku. Melekat ke dadamu.
“Apa ini file bagian akhir ceritamu? Kau bisa kirim lewat surel bukan?”
“Nanti kamu bakal tahu. Waktuku tak lama.”
Tak ada jawab, hanya lelehan bening tiba-tiba keluar dari satu sisi sudut matamu. Gerimis berhenti. Aku bersiap pergi. Melangkahkan kaki. Memunggungimu. Sesaat menoleh. Aku memaksa tubuhku membalikkan badan. Mengamatimu dari kejauhan. Seakan tak rela. Ingin melihatmu membalas lambaian tanganku. Nyatanya kau diam saja. Beku. Mirip tiang lampu-lampu yang membelah jalur tengah terminal.
Sampai tubuhku tepat berada di pintu bus baru yang akan membawaku menuju perjalanan selanjutnya, kau masih membisu. Aku mencoba mencairkan rasa bekumu. Mengangguk. Tersenyum. Lalu merelekan bus melahap tubuhku lewat mulut pintu.
Bus melaju melebihi kecepatan cahaya. Sisi-sisi waktu kemudian berbenturan. Tak berirama. Membawaku pada padang luas berbias tanpa batas. Di tepi jendela, aku bisa melihatmu telah terduduk di salah satu bangku. Memangku bungkusan itu. Bulat matamu ikut membisu.
Bungkusan itu adalah balasan pertanyaan rindumu. Bungkusan yang berisi file rahasia tentang ayahmu. Bukankah kau yang berkata padaku, menulislah untuk kebaikan dan kebenaran. Setidaknya itu yang kulakukan. Aku mengetahui praktik ayahmu. Bagaimana ia dan teman-temannya memuluskan rencana. Terkadang memberi sesuatu pada pemimpin daerah di mana ia akan membuka proyek baru. Melenyapkan segala kendala yang ada. Uang memang tak berlidah, tetapi ia lebih lihai berbicara melebihi kita. Terakhir kali kemarin, kampungku ramai oleh sengketa. Ratusan hektar kebun singkong akan menjelma rumah. Lebih dari sebagian warga kami menolak ketika menerima ganti rugi harga tanah yang tak layak. Jika segala sesuatu hanya mengacu pada asas kebermanfaatan tanpa kajian lebih dalam, sumber pendapatan kami akan hilang. Kami akan mati perlahan-lahan. Aku mengumpulkan data orang-orang yang menerima tindak represif aparat. Mengajukannya ke Komnas HAM. Sayang, perjuanganku terhenti. Suara rindumu lebih bernyali.”
Bulan Juni adalah penanda di mana segalanya berakhir. Hari ini, rinduku tak lagi bernyawa. Bungkusan itu akan mengungkap jikalau kebenaran dan kejujuran seringkali berhasil dibungkam. Untuk sementara. Di dalamnya, kau akan menemukan kebenaran yang ada.
Bulan ke lima, hari ke dua, sebelum ini di kamarmu, kau masih ingat ketika dalam headline news, stasiun televisi swasta menyiarkan berita kecelakan bus yang menewaskan seluruh penumpangnya. Oleng. Masuk jurang di kepekatan malam. Nama busnya sama dengan yang ditumpangi kekasihmu. Dari olah TKP, polisi menemukan roda busnya seperti tertembak peluru. Sekarang kau harus memilih. Cinta atau jalan dusta. ***
.
.
Dody Widianto. Lahir di Surabaya. Pegiat literasi. Karyanya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media massa nasional seperti Koran Tempo, Suara Merdeka, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Banyuwangi, Singgalang, Haluan, Rakyat Sumbar, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Tanjungpinang Pos, Pontianak Post, Fajar Makassar, Rakyat Sultra, dll.
.
Di Rahim Kenangan, di Ujung Perpisahan. Di Rahim Kenangan, di Ujung Perpisahan. Di Rahim Kenangan, di Ujung Perpisahan.
Leave a Reply