Cerpen Novita Riski Utami (Kedaulatan Rakyat, 17 Maret 2024)
SATU buah ubi rebus ini hanya cukup dihabiskan berdua. Tapi lelaki renta itu justru membaginya menjadi lima. Untuk dirinya sendiri dan keluarganya, hari ini bahkan juga esok hari.
Tak ada beras maupun telur. Petang tadi, bapak menemukan sekaleng camilan. Hanya ada remah-remah di dalamnya, tapi tetap dibawa pulang dengan riang. Serpih yang kerap orang lain anggap sebagai kotoran itu, akhirnya mampu mengganjal perut keroncongan. Memberi sedikit energi.
“Maaf, Nak.” Lelaki itu tertunduk lesu setelah mengucapkan.
Situasi ini pernah terlintas di pikiranku. Aku tahu ekonomi bapak memang jauh dari kata baik sedari dulu. Bahkan tempat yang tengah kami huni juga jauh dari kata layak. Namun, ucapannya malam ini cukup menyakitkan.
“Ta… tapi.” Suaraku tercekat di tenggorokan.
Belum usai kalimat meluncur, adik bungsuku berseru, “Mas, jangan egois! Kamu mau kita semua mati kelaparan karena membayar biaya sekolahmu?” Galuh berkata sembari menahan air mata yang terus mengucur di kedua pipi. Aku terkejut, kemiskinan sudah sekejam itu mendewasakan pola pikir anak berusia 13 tahun.
Dalam hening malam di sebuah bilik bambu yang menembus kesedihan tertuang kepasrahan. Kupandangi langit di antara hembus kencang angin malam yang cerahnya mengandung rembulan, dengan balut sinar keemasan. Aku termenung, menimang-nimang puluhan kemungkinan yang boleh jadi keputusanku perihal masa depan.
“Tegar mau ke kota,” ucapku di sebelah bapak yang tengah menghitung lembar rupiah hasil penjualan botol bekas. Keringat masih menghiasi wajahnya yang teduh.
Pada sorot kedua matanya kutemukan sedikit keterkejutan. Dalam hening bapak bersabda, “Hantamlah tembok tebal kemiskinan itu. Angkatlah pasrah tenggelam setinggi-tingginya, agar derajat sosial mampu kau ubah.”
Lelaki tua itu bukanlah lulusan sarjana. Bahkan sekolah menengah pun tak tamat dalam genggamannya. Namun bapak adalah idola, sosok yang menimbulkan rasa kagum dan bangga. Sampai detik itu ia tetap bergelut gundukan sampah yang seakan tak pernah habis.
Jangan tanya perihal aroma. Lubang hidungnya sudah mati rasa untuk sekadar menghiraukan bau dari kerumpulan sampah itu. Tanpa dibatasi sehelai kain di hidungnya pun ia tetap bisa bertahan, menyambung nyawa.
***
Diantarkannya aku menuju kota dengan lori pengangkut kelapa. Entah, sudah berapa perempatan jalan kutemui. Sejak keberangkatanku dari terjalnya bebatuan pelosok desa menuju kilometer tujuh belas sampai simpang Rumah Sakit Soedirman. Tak sempat lagi kuhitung berapa banyak perempatan atau tikungan. Pada tiap perempatan dan tikungan, selalu saja kutemui beragam bentuk kemiskinan. Ada puluhan bahkan ratusan kelaparan di sana. Tak jauh berbeda dari kehidupanku di desa.
Aku turun, tepat di depan pusat perbelanjaan. Sepatu usang yang lem sol bawahnya akan lepas menjadi dua, menjejakkan kaki di kota untuk pertama kali. Aku terpaku setelah menatap gedung-gedung pencakar langit yang begitu tinggi berjamuran di sana-sini. Di seberangnya ada rumah saudara jauh bapak. Ternyata di sini juga masih banyak lagi kutemui kelaparan. Kemiskinan masih menempel di setiap dinding kota, di setiap jembatan penyeberangan.
Di tepi kota, tampak hunian kumuh tak beraturan. Separuhnya terbuat dari kardus, sisanya terbuat dari potongan kayu buangan pabrik. Burung gereja hinggap di kabel listrik, di bawah naungan langit hitam asap roda industri. Tak ada keindahan senja ketika aku berada di kota. Di balik kemasyhuran kota, selalu ada pilu yang tergambar di wajah orang miskin.
***
Beberapa tahun lalu, bapak masih bersamaku. Beberapa tahun lalu, bapak yang mengantarkanku. Kini aku harus merindu. Ratusan kilometer seakan memberi sekat antara kami. Bapak menitipkan kami di dunia nyata sedang dia di dunia berbeda.
Benar kata Karl Marx, dunia seperti arena tempat bertarung sehingga yang lemah tertindas sedang yang kuat berkuasa. Bayang-bayang kehancuran dunia sering kali nampak di kota bukan di desa.
Perlahan, aku menyesap secangkir kopi panas tanpa gula. Rasa pahit di permukaan lidah justru membangkitkan gairah. Mendadak teringat perkataan orang yang paling penting di hidupku. Bapak selalu beranggapan jika takaran kebahagiaan seseorang tidak bisa disamakan.
Terimalah toga kelulusanku di pusaramu, Pak. ***
.
.
Novita Riski Utami. Mahasiswi Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia UGM. Tinggal di Sumberagung, Jetis, Bantul, Yogyakarta.
.
Kata Tak Sampai. Kata Tak Sampai. Kata Tak Sampai.
Leave a Reply