Cerpen Rifat Khan (Suara Merdeka, 22 Februari 2024)
KAMPUNG Majidi geger. Di pagi buta, sebuah batu besar tiba-tiba berdiri kokoh di teras rumah Malin. Batu yang, jika diperhatikan dari jarak satu meter dengan mata melotot, sebenarnya bukan batu biasa, melainkan batu yang menyerupai wujud manusia.
Tepatnya cuma bagian atas batu yang tampak seperti kepala manusia yang, apabila diperhatikan lebih dekat lagi dengan melotot lebih lama lagi, memiliki wajah persis manusia; memiliki alis, dua buah mata, hidung, bibir, dan dagu. Dan anehnya, wajah batu itu sangat mirip dengan wajah Malin. “Benar-benar mirip,” terang Haji Raohim saat seorang wartawan media online mewawancarainya.
Haji Raohim, sebelum diwawancara, sempat balik sebentar ke rumahnya. Mengambil sarung cap mangga yang ‘baru’ untuk dipakai saat wawancara. Tak lupa juga ia memoles rambutnya dengan Gatsby, agar lebih menarik. Padahal, meskipun Haji Raohim difoto oleh si wartawan, yang muncul di berita online itu hanyalah foto batu menyerupai wujud manusia itu.
Hanya dalam hitungan menit, warga berbondong-bondong menuju rumah Malin. Mereka penasaran dan ingin menyaksikan langsung batu yang menyerupai manusia yang wajahnya mirip Malin itu. Ratusan orang berdesakan. Muncul pula ide brilian dari Randuse, seorang pemuda pengangguran tamatan SMA, yang dua tahun lebih kerjanya cuma nongkrong dan saban sore punya rutinitas mengintip Ijah mandi. Mengenai Ijah, nanti akan dijelaskan di cerita ini.
Randuse dengan cepat membuat pembatas di pekarangan rumah Malin dengan tali rapia. Ia membuat areal parkir yang lumayan besar. Ia sangat yakin, warga dari kampung sebelah pasti juga akan berdatangan. Lumayan, ia memasang tarif parkir dua ribu per motor. Kalau 200 orang saja datang dalam sehari dari kampung sebelah, sekitar 400 ribu rupiah akan ia kantongi. Tentu akan dibagi dengan Ridwan, seorang kawan yang membantunya. Meski banyak yang mencibir, tapi Randuse yakin inilah jalan Tuhan. Dan Tuhan maha baik memberinya rezeki dari arah yang tak diduga-duga.
Keyakinan Randuse sejalan dengan pemikiran Haji Mahfud, salah seorang warga yang juga datang sebab penasaran dengan cerita batu itu.
“Tuhan maha adil. Bahkan dalam hal begini, Ia memberi pekerjaan bagi anak pengangguran ini,” batinnya berucap.
Pak RT dan Pak Kadus pun datang. Mereka berdua bertugas menjadi narasumber bagi para media yang ingin meliput. Sampai siang hari, orang-orang terus berdatangan. Bahkan ada beberapa yang memakai mobil. Ada beberapa yang mengabadikan dirinya dengan berselfie di depan batu yang menyerupai manusia itu. Ada beberapa yang memilih istighfar dan berjanji akan selalu berada di jalan Allah, dan tak akan lagi melanggar perintah Allah.
Ada juga warga dari kampung lain yang mencibir: “Palingan batu ini sengaja dipahat agar kampung mereka tersohor.”
Namun, tak satu pun yang berpikir di mana pemilik rumah. Di mana Bapak Malin? Tak ada yang berpikiran ke arah itu. Sampai seorang wartawan bertanya kepada Pak Kadus:
“Di mana pemilik rumah sekarang? Apakah pemilik rumah yang menjelma jadi batu menyerupai manusia ini?”
Pak Kadus diam. Tak tahu mau ngomong apa. Ia memerintahkan beberapa warga masuk ke dalam rumah. Barangkali Malin masih tidur. Pak Kadus tahu betul Malin selalu begadang, dan baru tidur sehabis subuh, dan akan bangun siang saat azan zuhur terdengar.
Dua orang warga masuk ke dalam rumah mencari Malin atau mungkin anak gadisnya. Setelah semua kamar digeledah tak ditemukan seorang pun. Dua warga tadi keluar dan memberi info.
“Jangan-jangan memang benar Malin sudah menjelma batu?”
Beberapa warga teringat cerita Malin Kundang. Meski ada juga bantahan dari warga yang agak intelek.
“Ah, mustahil” pikir beberapa warga lain yang sekolahnya tinggi dan pernah kuliah di luar daerah.
***
Sebenarnya Malin hanyalah seorang laki-laki miskin. Istrinya meninggal tujuh bulan lalu akibat demam yang tinggi. Ia punya anak gadis. Namanya Ijah. Ijah duduk di kelas 1 SMA. Sebenarnya Ijah tak mau melanjutkan sekolah ke SMA. Namun, karena Pak Kadus meminta agar pendidikan Ijah dilanjutkan, pihak sekolah mengusahakan beasiswa untuk Ijah sebab otak Ijah memang cerdas.
Saat di SMP, Ijah selalu ranking satu. Luar biasanya lagi, Ijah dapat nilai seratus di dua mata Ujian Nasional SMP, yakni matematika dan bahasa Indonesia.
Selain cerdas, Ijah juga punya paras menawan. Mirip-mirip wajah Maudi Kusnaedi, manis dan ayu, messki jauh dari make-up. Banyak teman sekelas yang naksir sama Ijah. Sebut saja Dahlan. Dahlan benar-benar jatuh cinta kepada Ijah. Pernah pada momen yang dirasa tepat, Dahlan mencoba merayu Ijah.
“Aku ingin bilang satu hal sama kamu.” Suara Dahlan lembut.
Ijah tersipu; tak ngomong apa-apa, malah menunduk tak berani memandang wajah Dahlan.
“Kamu adalah gadis paling cantik di kampung ini,” lanjut Dahlan dengan malu-malu.
Wajah Ijah merah. Ia jadi malu juga.
Ini sebenarnya bukan kali pertama seorang pria memujinya. Puluhan pria lain sering memujinya. Tapi Ijah tak pernah sombong meski ia adalah bunga di sekolah dan di kampung. Menjadi idaman setiap pria, ia tak sekalipun pernah sombong. Di masa kecilnya Ijah sering mendengar ceramah Zainuddin MZ di radio. Ibunya kebetulan penggemar ustad kondang itu dan setiap sore ada satu stasiun radio yang setia memutar ceramah-ceramahnya.
“Allah tak suka bila ada orang kaya yang sombong. Tapi Allah lebih tak suka lagi dengan orang yang sudah miskin, sombong pula.” Kurang lebih begitu isi ceramah Zainuddin MZ yang pernah di dengar Ijah.
Sejak itu Ijah belajar tak sombong. Ia tak mau dibenci Allah. Ijah sadar, orangtuanya hanyalah orang miskin. Maka setiap ada yang memuji kecantikan dan kecerdasannya, Ijah hanya tersipu. Paling-paling ia hanya menjawab: “Semuanya pemberian Allah. Tak ada yang perlu dibanggakan.” Tanpa pernah Ijah sadari, jawaban bijak semacam itu yang membuat pria-pria itu semakin jatuh hati kepadanya.
Sejak kematian ibunya, hanya kepada ayahnya Ijah bisa berbakti. Ijah percaya, surga ada di bawah kaki ibu. Ia pun percaya, setelah tak ada Ibu, surga itu ada dibawah kaki seorang ayah. Ijah benar-benar berbakti kepada ayahnya. Setiap malam ayahnya minta dipijat. Ijah tulus memijatnya, bahkan dalam kondisi mata sudah seberat lampu lima watt.
Meski Ijah sering mendengar cerita orang tentang ayahnya, (cerita-cerita miring, semisal: sejak istrinya meninggal, ayah Ijah sering mabuk; ayah Ijah gemar berjudi di terminal selepas menjadi kuli di pasar; ayah Ijah sering nongkrong di gang monyet; gang yang terkenal menjadi tongkrongan para PSK). Ijah tak percaya semua itu. Baginya itu hanya gosip belaka. Ijah selalu melihat, tiap datang waktu sholat, ayahnya menyegerakan berwudhu.
***
“Di mana Malin? Apa mungkin Malin yang menjadi batu? Ah, rasanya tak mungkin. Oh, mungkin-mungkin saja. Kenapa tak jadi emas saja? Lumayan kan bisa dijual.” Orang-orang terus menduga. Randuse dan Ridwan pun masih sibuk dengan urusan parkirnya. Pak RTdan Pak Kadus masih juga setia meladeni para wartawan.
Sampai di sini, tak ada warga yang tahu kebenaran cerita ini. Hanya ada satu orang yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di malam sebelum kemunculan batu menyerupai patung manusia itu. Orang itu adalah aku. Aku si penulis cerita ini. Bukan lantaran aku yang menulisnya, melainkan karena aku kebetulan mengalaminya langsung.
Di stasiun kereta, aku sedang duduk menunggu kedatangan kereta kedua tiba-tiba seorang gadis manis duduk di sampingku. Matanya sembab, sepertinya karena menangis lama. Dengan pelan setelah menawarkan satu botol minuman dingin, aku bertanya siapa namanya dan perihal apa yang menimpanya. Dengan terbata, ia menyebut namanya: Ijah, dan mulai bicara masalah yang ia hadapi.
Begini ceritanya:
Malam itu, seperti biasa Ijah memijat badan ayahnya. Ayahnya bilang badannya pegal-pegal. Sementara tangan kiri Ijah memegang buku cerita Malin Kundang. Sembari memijat, Ijah menyempatkan diri membaca. Ijah curiga; ada bau tuak memenuhi penciumannya.
Hampir sepuluh menit Ijah memijat tiba-tiba tangan ayahnya bergerak; memegang lembut paha Ijah yang duduk di tepi ranjang. Ijah bingung, terdiam ia seperti patung. Tangan itu terus bergerak dan sampai ke pangkal pahanya dan dengan cepat menerobos ke bagian kemaluan dan sedikit mengelus kemaluan Ijah. Ijah melepaskan diri. Tangan ayahnya menarik lengan Ijah. Ijah meronta dan akhirnya bisa terlepas. Ijah kemudian berlari kencang. Ayahnya mengejar. Namun, karena mabuk, lelaki itu tersungkur jatuh di teras rumah.
Dalam rasa takut yang dalam Ijah berdoa dengan bibir gemetar. “Tuhan. Jika anak durhaka bisa Kau ubah menjadi batu, maka, apa salahnya jika Ayah yang kurang ajar, kau ubah menjadi batu pula.”
Ijah mengucapkan kalimat itu tiga kali sembari menahan tangis. Sembari menahan takut.
Aku mengelus rambut Ijah seusai ia bercerita. Terdengar samar-samar ceramah Zainuddin MZ dari kejauhan:
“Banyak orang hanya melaksanakan sholat. Tapi tidak benar-benar mendirikan sholat.” ***
.
.
Majidi, 2020
Rifat Khan, lahir di Pancor, Lombok Timur, 24 April 1985. Ia menulis cerpen, puisi, serta beberapa kali terlibat dalam pertunjukan teater. Cerpen-cerpennya terbit, antara lain, di Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Nova, Padang Ekspres, detik.com, dan basabasi.co. Saat ini ia turut aktif di beberapa komunitas, antara lain Komunitas Rabu Langit.
.
Bukan Malin Kundang. Bukan Malin Kundang. Bukan Malin Kundang. Bukan Malin Kundang. Bukan Malin Kundang. Bukan Malin Kundang.
praja
KEREN BANGET CERITANYA, MENYALAAA ABANGKUUU💫💫💥💥💥💥💥💣💣
ANOMANI
Sosok mas amba😹😡