Cerpen, MZ Billal, Suara Merdeka

Yang Mendesis di Kepalaku

Yang Mendesis di Kepalaku - Cerpen MZ Billal

Yang Mendesis di Kepalaku ilustrasi Gunawan/Suara Merdeka

0
(0)

Cerpen MZ Billal (Suara Merdeka, 14 Maret 2024)

“TIDAK ada yang boleh pergi. Tidak ada. Sampai hari paling akhir. Tidak ada yang tersisa lagi, Fawad.”

Aku tak tahu lagi bagaimana menyingkirkan suaranya dari telingaku. Ia selalu mengikuti ke manapun aku pergi. Membuat hari-hariku menjadi lebih kacau dan suhu tubuhku berubah-ubah, dari sangat panas lalu menjadi dingin parah dan kembali lagi menjadi semendidih air rebusan. Memaksaku untuk tetap bersamanya walau niat untuk meninggalkannya baru terbersit di dalam benak. Sepertinya ia tahu bahwa aku mulai muak dengan semua keadaan ini.

Namun ia tak mau melepaskanku. Bahkan tidak akan pernah. Ia menginginkan jiwa dan ragaku. Dan terlalu beresiko bila aku benar-benar meninggalkannya. Ia bersumpah akan selalu berada sangat dekat dengan telingaku untuk membisikkan banyak hal, ia akan menempel di dalam anggur paru-paruku agar tiap hela napasku melafazkan namanya, bahkan ia akan mengalir dalam darahku dan mengubahnya menjadi tinta paling gelap.

Meski aku mulai merencanakan perlawanan, namun ketakutanku terlalu besar hingga rasanya seakan aku menjunjung sebuah gunung berapi di kepalaku dan lavanya yang luar biasa panas itu sewaktu-waktu bisa meleleh dari kedua telingaku. Bahkan tak jarang bisikannya mulai mengancamku dengan desis yang mengerikan.

“Aku akan mencabik tubuhmu dan merentangkan ususmu, Fawad. Kau tak akan bisa pergi ke manapun atau siapapun mampu membawamu menjauh. Tidak ada yang bisa melakukannya. Tidak ada sampai hari paling akhir dan kita menyaksikan segalanya….”

Aku sadar bahwa penyesalanku kini hanyalah sebuah kesia-siaan yang tidak ada artinya. Sebab memang begitulah yang biasanya terjadi pada orang-orang sepertiku. Penyesalan selalu datang terlambat. Walau aku bukan satu-satunya manusia yang mengalami ini. Namun ketika mendapati pilihan sangat rumit darinya, maka tidak seorang pun dapat membantu. Tidak seperti ketika aku pertama kali berjumpa dengannya dan ia memberikanku saran-saran hebat yang membakar api semangatku. Kupikir bersamanyalah duniaku akan lebih baik, selamanya, kupikir begitu.

Akan tetapi ketika perlahan aku menyadari bahwa diriku telah keliru dalam memandang dan menanamkan pemahaman ke dalam hatiku, aku kian merasa muak berada di sisinya. Muak karena pada akhirnya aku harus menurut pada aturan yang dibuat olehnya secara sepihak tanpa meminta persetujuan dariku terlebih dahulu.

Bahkan seiring berjalannya waktu ia justru menjadi seperti parasit kasat mata yang hampir menguasai seluruh bagian tubuhku, menempel seperti akar pohon berwarna hitam dan menjalar, menembus ke bagian organ dalam, meski ia kerap berkata bahwa bersamanya hidupku akan jauh lebih berarti. Sebab, setiap hari, setiap kali jantungku berdetak dan napasku berembus, ia terus menjanjikan bahwa aku bisa dengan bebas menikmati hidup tanpa larangan berdalih dosa sampai kapanpun dalam keabadian. Karena menurutnya, dosa hanyalah alasan palsu yang dibuat Sang Pencipta agar manusia dan seluruh makhluk kreasi-Nya tak bisa meraih tahta tempat-Nya duduk dan menciptakan segala sesuatu.

“Kita hampir sampai, Fawad. Kita akan duduk melingkar bersama yang lain dan menyatukan api semangat. Tubuh kita akan mengeluarkan api, bahkan dari kedua mata dan mulutmu akan menyembur cahaya merah sewarna darah, yang nanti akan membakar habis langit yang pendusta itu….”

Baca juga  Upacara Ona

Desis yang dulu ia bisikkan ke telingaku ketika aku pertama kali bertemu dengannya di suatu tempat yang temaram dan aku berada di titik nadir kehidupan, kembali ia suarakan. Berulang kali, untuk mengingatkan akan masa lalu yang tiba-tiba saja berlalu lalang di mataku dan hanya dialah yang paling mendengarkan semua keluh-kesahku saat itu. Hingga kepalaku terasa sangat pusing dan mual ingin muntah.

“Tolonglah, aku hanya ingin pulang….” Aku merintih kepadanya. “Aku merindukan banyak hal indah yang pernah terjadi dalam hidupku, terutama keluargaku. Aku ingin mengulang semua itu, meski rasanya tak mungkin lagi hal itu menjadi nyata dan aku tak bisa menghalau kebencian yang telah mendarah daging. Tapi aku sangat yakin semua bisa berubah menjadi lebih baik.”

Tanganku menggapai-gapai ke atas, kepada kekosongan yang berselimut kegelapan. Berharap ia meraih uluran tanganku yang lemah dan memaafkan diriku atas harapan yang baru saja kuucapkan. Mungkin melihatku sekarat ia akan berubah pikiran dan memberiku sebutir bintang yang menyala terang.

Namun ia sama sekali tak peduli. Ia tak berminat menjawab permohonanku dalam jeda waktu yang panjang. Membiarkan diriku tersungkur semakin lemah dan kesakitan oleh rasa takut dan kebencian yang mendadak menusuk-nusuk jantungku seperti duri besi sangat panas. Baru ketika rasa sakit itu mulai menjalar cepat ke seluruh aliran darah dan rasanya aku akan meledak sebentar lagi, ia mulai mendesis lagi, menggumamkan jampi-jampi yang membuat rasa sakit itu musnah seketika, bahkan tubuhku menguat lagi seperti habis diisi ulang stamina.

“Rasa sakit luar biasa itulah yang akan bersamamu menghabiskan usia, Fawad. Kau tak akan mendapat pembenaran dari siapapun. Kau sendirian waktu itu. Dan ketika nanti kau bangkit untuk kedua kalinya, kau hanya akan menjadi sebutir batu kecil yang lenyap dalam kobaran api hitam. Tentu saja tidak bersama keluargamu, teman-temanmu, atau bahkan bersamaku. Tidak akan, kecuali kau kembali pada api semangatmu yang dahulu kutatap pada kali pertama kita berjumpa….” Ia mendesis lagi.

Air mataku meleleh. Tidak membenarkan kata-katanya, tak pula membantah. Karena aku tak tahu harus mengatakan apa. Yang berputar dalam pikiranku adalah semua peristiwa yang telah terjadi dalam hidupku. Hal-hal menyakitkan, yang bahkan lebih sakit daripada tusukan duri besi panas atau lilitan akar pohon hitam yang menempel di tubuhku. Yang membuatku kembali ragu pada sebuah keyakinan, tapi tetap membuatku bersikeras untuk berusaha menemukan jalan pulang, agar terbebas dari semua perintahnya yang semakin mengikat seluruh hidupku, bahkan matiku.

***

Ketika aku tak mungkin lagi bisa menaruh harapan besar kepada ayahku yang telah mendekam di balik jeruji besi penjara selama bertahun-tahun karena kasus penipuan dan pembunuhan berencana yang telah dilakukannya, dan tak mungkin lagi membangun istana harapan lebih megah bersama ibuku yang telah memutuskan jalinan jiwaku padanya, dan ia lebih memilih menghabiskan hidup bersama pria-pria berbeda yang menyinggahinya setiap malam agar hidupnya terus berlanjut, menurutmu, apa yang seharusnya bisa kulakukan untuk menyudahi siksaan batin seperti itu?

Baca juga  Kelahiran Asma Sihombing

Terlebih ketika harta benda yang dulu menjadi kebanggaan kedua orang tuaku untuk disombongkan lenyap dan orang-orang yang dulu berada sangat dekat denganku kini mulai menjauh dan meninggalkanku seorang diri, bahkan menganggapku tak pernah diciptakan Tuhan, atau dalam pikiran mereka, bisa saja aku adalah penyakit menular yang mematikan, apa yang semestinya kuperbuat? Apakah aku harus menangis dengan suara lantang dan meminta keadilan kepada Tuhan? Apakah setelah itu Tuhan akan segera mengganti rasa sakit dan kebencianku itu dengan perasaan bahagia yang sempurna? Bahkan ketika sahabat terbaikku menjadi yang terakhir mencampakkanku dengan petuahnya yang manis, aku semakin geram oleh ketidakadilan yang dihempaskan Tuhan kepadaku ini.

“Aku yakin kehidupanmu akan menemui jalan terang pada saatnya nanti. Tapi maaf, aku harus benar-benar pergi, Fawad. Mungkin selamanya.”

Pada akhirnya aku benar-benar sendirian, dia baikan, dalam ketidakadilan. Terlempar ke jalanan, menjadi debu dan lenyap dari ingatan, kadang berubah menjadi penyakit menular yang membuat bergidik jijik bagi yang memandang, tak jarang pula menjadi buas demi pertahanan. Hingga akhirnya, pada suatu malam yang temaram, di bawah lampu jalanan yang redup bahkan hampir tewas karena terlalu sering berkedip-kedip, aku bertemu sesuatu yang menyebut dirinya sebagai “Nya”. Sesuatu yang berjanji akan membantuku, bahkan menjadi teman perjalanan yang setia sampai kapanpun.

Aku tidak tahu apa dan siapa “Nya” itu. Ia muncul begitu saja dari kegelapan di luar lingkaran sorot lampu jalanan yang nyaris mampus itu dan berkata dalam desisan seperti seekor ular, tapi sosoknya tak seperti ular, tak juga seperti manusia. Meski aku agak ngeri dan menjadi waspada, namun ia benar-benar meyakinkanku bahwa ia tak akan pernah mencelakaiku sedikitpun. Bahkan ia bersumpah akan melindungiku dari segala marabahaya paling celaka yang datang sewaktu-waktu. Hal itu membuatku lega dan sangat senang.

Aku benar-benar tak menyangka bahwa sesuatu yang baik akhirnya datang kepadaku. Menyelamatkanku dari ketidakadilan. Aku benar-benar bahagia setelah itu, merasa sangat yakin bahwa masa penderitaanku telah berakhir dan aku bisa dengan bebas menggenggam apa saja hingga ke sudut-sudut jauh dari kehidupan. Melakukan hal-hal yang aku suka dan seliar mungkin. Tidak peduli lagi pada orang-orang yang menjauhiku dan tetap menganggapku sebagai penyakit menular. Karena kenyataannya setelah “Nya” bersamaku, lebih banyak orang yang hidup dalam ketidakadilan datang kepadaku untuk meminta pertolongan dan perlindungan. Yang kemudian kami hidup berkoloni dalam hura-hura pemberontakan dan nafsu yang bisa dengan mudah dilampiaskan.

Tapi sungguh, aku tidak akan pernah menolong ayah dan ibuku yang sudah tega melemparkanku ke dasar jurang kesengsaraan. Tidak ada secuil maaf pun bagi mereka. Kebencianku sudah mendarah daging. Biarkan kini saatnya aku yang menikmati hidup tanpa batasan, tanpa dibebani siapapun. Lagipula “Nya” selalu menyarankanku dengan sikap tegas untuk membalas masa lalu dengan api sewarna darah yang kemudian berhasil kuciptakan dari kedua mataku. Api itu akan membakar kesengsaraan dan dengan dahsyat menghanguskan orang-orang yang mencampakkanku di masa silam.

Baca juga  Ramalan Kematian

Hingga pada sekali waktu ketika aku bertemu tanpa rencana dan mengenal lebih dekat seorang gadis muda berwajah rupawan dan tampaknya patuh pada aturan agama yang dianutnya, dan kupikir aku telah jatuh hati padanya, aku baru mengetahui hal-hal yang selama ini tak terpikirkan dan disadari olehku. Seakan ia telah membuka sebuah pintu usang yang terkunci rapat oleh karat-karat yang telah merekat dengan sangat kuat pada tepiannya. Hal-hal yang membuat jantungku berdesir dan sontak merasa bersalah karena telah sangat keliru dalam menilai serta menjalani kehidupan yang selama ini telah kusebut bebas dan sempurna itu.

Sebuah pandangan yang teguh dan mantap yang menyatakan bahwa sebenarnya “Nya” samasekali tak pernah menyelamatkan hidupku. Ia tak pernah melindungiku dari bahaya dan petaka. Ia justru membawaku kepada marabahaya itu sendiri dan menyeretku ke tempat ia berasal; lembah api sewarna darah. Ia menjebakku dalam perangkap yang laknat. Bahwa sesungguhnya ia juga bukan “Nya” yang mengaku sebagai teman setia dalam hidupku, melainkan makhlukNya yang berkhianat bernama Iblis. “Nya” datang dan menghampiri karena kesedihanku teramat dalam hingga aku melupakan keberadaan Tuhan bahkan membenciNya. Karena “Nya” mengotori hati dan pikiranku dengan api dendam dan kemarahan.

“Bersamanya kau akan terbakar di tempat api hitam berada. Tak ada yang menyelamatkanmu ketika itu. Sebab hanya kau yang mampu menyelamatkan dirimu sendiri. Lepaskan ia segera dan temukan jalan pulang! Selalu ada ruang hangat di mana kau bisa berkumpul dengan ayah dan ibumu.” Gadis muda itu berkata dengan serius kepadaku, meski mimik wajahnya menyiratkan kesedihan dan kekhawatiran.

Kupikir sejak itulah ia selalu mendesis tiap waktu di telingaku dan menempel di tubuhku seperti akar pohon berwarna hitam. Semakin aku berpikir jernih dan ingin pulang, semakin sering pula ia mendesiskan ancaman dan kian erat melekat di tubuhku.

“Tidak ada yang boleh pergi. Tidak ada. Sampai hari paling akhir. Tidak ada yang tersisa lagi, Fawad. Kita akan menyaksikan segalanya terbakar.” ***

.

.

MZ Billal, lahir di Lirik, Indragiri Hulu, Riau. Menulis cerpen, cerita anak, dan puisi. Bukubukunya yang telah terbit berupa novel remaja berjudul Fiasko (2018), kumpulan puisi berjudul Cara Kerja Perasaan (2022), dan kumpulan cerpen berjudul Sebuah Tempat di Tepi Lelap (2022). Karya-karyanya juga dimuat di berbagai media cetak dan digital, serta sejumlah antologi nasional.

.
Yang Mendesis di Kepalaku. Yang Mendesis di Kepalaku. Yang Mendesis di Kepalaku. Yang Mendesis di Kepalaku. Yang Mendesis di Kepalaku. Yang Mendesis di Kepalaku.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!