Cerpen, Kompas, Sandi Firly

Bagaimana Sebuah Kampung Menuju Kematiannya

Bagaimana Sebuah Kampung Menuju Kematiannya - Cerpen Sandi Firly

Bagaimana Sebuah Kampung Menuju Kematiannya ilustrasi I Made Arya Palguna/Kompas

4.4
(19)

Cerpen Sandi Firly (Kompas, 14 April 2024)

TAK ada lagi deretan batang kayu gelondongan memenuhi tepian sungai di seberang sana, yang dulu mendatangkan ratusan pekerja dari Jawa, juga pelacur, ke kampungku.

Seperti pernah kuingat, sungai itu tetap sama. Airnya kecoklatan bila musim hujan, dan sedikit lebih terang bila laut pasang. Selalu ada sekelompok burung layang-layang hitam yang melakukan atraksi bagai formasi pesawat tempur, meliuk dalam keteraturan menakjubkan naik turun di atas permukaan air.

Kulihat tubuh kecilku mencebur di sana bersama beberapa teman. Menantang diri, menyelam melintasi bagian bawah satu dua lambung kapal yang tambat, yang ketika menyembul kembali di permukaan di sisi lain kapal bagai menjemput kembali roh yang terlepas.

Terkadang, waktu malam saat terang bulan, kami berjongkok di tepian dermaga pasar dengan pantat telanjang menghadap sungai lalu menjatuhkan isi perut di sana. Setiap terdengar suara “plung”, selalu saja ada yang cekikikan di antara kami. Dan untuk menyamarkan suara itu, seseorang akan bernyanyi, namun tetap saja suara “plung” itu terdengar karena suara nyanyinya akan jeda sejenak kala melepaskan sesuatu dari pantatnya.

Pada batang-batang kayu gelondongan yang sempat parkir di sungai kami sebelum akhirnya ditarik kapal besi tugboat ke muara lalu berlayar ke laut Jawa, kami biasa berlompat-lompatan di atasnya. Tidak sekali dua di antara kami terpeleset atau malah terjepit. Kami tidak pernah jera.

Di seberang sana—mungkin sejarak dua ratus meter, hutan bakau masih tampak seperti dulu dengan pohon-pohon rambai berjejer di tepiannya. Dulu, beberapa remaja sering kali menyeberang ke sana, lalu memanjat pohon rambai yang menjadi makanan monyet dan bekantan. Segera saja terlintas sebuah peristiwa tragis namun terasa menggelikan.

“Wan, kamu ingat Abul yang jatuh dari pohon rambai di sana?” tanyaku kepada Iwan, teman sejak kecil yang menemaniku duduk di tepian dermaga pasar sore itu.

Iwan seketika tertawa. “Itu cerita legend,” serunya.

“Dia satu-satunya manusia yang persis judul film Bernapas dalam Lumpur,” kataku.

“Sulit dibayangkan memang. Jatuh dari pohon rambai dengan kepala lebih dulu ke bawah dan tertancap ke dalam lumpur, tapi masih hidup,” Iwan mengulang kisah itu sambil senyum-senyum.

“Masih ada dia sekarang?”

“Panjang umur dia.”

Kami tertawa berbarengan.

Sesungguhnya tidak banyak yang berubah dari kampungku selama sembilan tahun berlalu. Kampung kecil di Kalimantan Tengah yang berada di ujung bagian selatan berbatasan dengan Laut Jawa, tempat dulu gelondongan-gelondongan kayu hasil penebangan hutan di sepanjang tepian sungai bagian hulu—entah legal ataukah liar, diparkir sementara sebelum akhirnya kayu jenis tengkawang, sengon, bahkan ulin itu dibawa keluar dari muara oleh kapal tunda.

Baca juga  Hanya Cinta yang Kita Punya untuk Mengatasi Segalanya

Tidak terlihat jejak pembangunan dari hasil penebangan pohon-pohon semenjak aku kecil itu. Jalan-jalan aspal hampir sama seperti dulu. Rumah-rumah yang dulu juga. Pohon-pohon yang itu-itu juga. Yang paling terasa justru kampungku jauh lebih sepi sekarang, seiring tak ada lagi orang-orang luar yang datang untuk bekerja sebagai pembatangan, menebang pohon di hutan. Para pelacur pun balik ke daerah asalnya, karena sudah tidak ada pekerja yang harus mereka layani.

Kampung yang sepi kini justru riuh oleh suara burung walet—atau mungkin dari audio, di bangunan-bangunan buta tanpa jendela yang menjulang di tepian sungai.

“Kini orang-orang kampung kita, selain tetap mencari ikan di laut buat makan atau dijual seperti aku, banyak yang bisnis sarang walet,” ucap Iwan.

“Ke mana mereka menjual sarang waletnya?”

“Kadang ada bos yang datang. Atau, bisa juga mereka jual langsung ke Jawa. Tapi bisnis ini kan tidak membuat kampung kita menjadi ramai seperti dulu. Kamu sudah lihat pasar kita yang sepi.”

“Sudah berapa lama kampung kita sesepi ini?” tanyaku nelangsa.

“Sejak hutan kita habis, lima atau enam tahun lalu.”

“Kampung kita di ujung dekat pantai ini seperti jalan buntu. Tidak menjadi lintasan jalan provinsi, sudah pasti akan sepi bila tidak ada suatu pekerjaan yang memerlukan orang banyak seperti bisnis kayu dulu,” kataku sambil mengembuskan asap rokok.

“Bukan tidak mungkin, sepuluh tahun lagi kampung kita ini akan mati. Dan seperti namanya, Kuala Pembuang, kelak kampung kita benar-benar akan terbuang,” sahut Iwan. Lalu ia menoleh ke arahku, “Sebagai orang terpelajar, wartawan, kurasa kamu harus memikirkan bagaimana agar kampung kita ini tidak mati. Tinggallah di sini, Hasan.”

Aku tercenung. Aku ingat, Iwan dulu dikenal cerdas di sekolah. Namun sayang, ia tak bisa kuliah lantaran bapaknya hanya nelayan kecil. Ia pasti tahu bagaimana nasib kampung kami ke depan dengan keadaan seperti ini.

“Apa yang bisa aku lakukan, Wan?” gumamku. Pertanyaan yang tak semestinya aku tanyakan. Akulah yang justru menjawab pertanyaan itu.

Iwan hanya mengangkat kedua pundaknya dengan pandangan jauh ke depan.

Aku memang sudah terlalu lama meninggalkan kampung. Berkuliah di Yogyakarta, menjadi pengarang lalu bekerja menjadi wartawan berpindah-pindah di beberapa kota, hingga kemudian menetap di Jakarta sejak dua tahun terakhir. Selama itu, hanya sekali aku pulang kampung, saat liburan kuliah semester pertama. Tidak cukup alasan aku pulang kampung, karena kedua orangtuaku telah meninggal. Ibuku wafat saat aku masih kelas enam SD, lalu bapakku saat aku masih di bangku kelas dua SMA. Aku hanya berdua dengan abangku yang meneruskan pekerjaan bapak kami sebagai tukang jahit, dan dialah yang membiayai kuliahku. Kini dia mau menikah, itulah alasan aku pulang kampung saat ini.

Baca juga  Toya

Aku baru tiba tadi malam setelah menempuh perjalanan cukup panjang. Dari Jakarta aku naik pesawat menuju ibu kota Palangkaraya, dilanjutkan naik mobil travel menuju kampungku dengan menempuh waktu perjalanan sekitar delapan jam. Tiba malam. Karena kelelahan, aku baru terbangun menjelang tengah hari. Setelah itu aku langsung menuju rumah Iwan, dan mengajaknya jalan-jalan hingga berakhir dengan duduk di dermaga pasar yang sepi.

“Eh, San. Kamu sudah tahu siapa calon istri Burhan, abangmu?” tanya Iwan tiba-tiba seakan itu pertanyaan yang sudah lama ingin ditanyakan.

“Belum. Aku juga belum menanyakan kepadanya. Siapa?”

“Dia pacarmu waktu kita SMA dulu.”

“Hah, Minarti?”

“Iya.”

Aku tertawa kecil, lalu mengisap rokok dalam-dalam.

“Kamu tidak kaget? Tidak cemburu?” Iwan tampak heran. “Atau kamu memang sudah melupakannya karena kebanyakan melihat gadis-gadis kota?”

Setelah tawaku reda—yang aku sendiri tidak tahu kenapa tertawa, aku berucap, “Sebenarnya barusan tadi aku ingin menanyakan kabar Minarti. Dan andai dia belum bersuami, aku mau mengajak kamu ke rumahnya.”

“Hah! Jadi kamu sebenarnya masih mencintainya?” Iwan terlihat benar-benar terkejut.

“Tidak. Tidak. Bukan karena aku masih mencintainya atau tidak. Dan aku juga tidak berhak menuntut cintanya setelah hampir sepuluh tahun aku tidak ada kabar. Aku cuma ingin bertemu saja.”

“Jadi kamu ingin bertemu Minarti?”

“Iya tadinya, itu pun bila ia belum bersuami. Tapi karena sekarang aku telah tahu bahwa dialah calon istri abangku, maka aku batalkan bertemu.”

“Memangnya abangmu tidak tahu kalau Minarti itu dulu pacarmu?” selidik Iwan.

“Hmm…, kurasa tidak tahu. Dulu, kan, saat SMA pacaran, ya, begitu-begitu saja, tidak pakai memberitahukan orang rumah segala.”

“Tapi aku ingat, dulu kamu tergila-gila kepadanya,” pancing Iwan.

“Ha-ha-ha…, ya, itu dulu.”

Iwan mengangguk-angguk. “Kurasa kamu memang sudah benar-benar jadi orang kota, San.”

“Maksudmu?”

“Ya, kampung ini, juga Minarti, sepertinya sudah tidak lagi menarik bagimu. Dan aku meragukan kesungguhan cintamu kepada keduanya. Bila cintamu kepada Minarti mungkin memang sudah mati, sementara kampung ini perlahan-lahan menuju kepada kematiannya sendiri.”

Baca juga  Perempuan yang Menggambar di Tanah

Aku tersentak.

“Hasan, kamu boleh tidak menyelamatkan cintamu kepada Minarti. Tetapi kepada kampung ini, jika kamu benar-benar masih cinta, mestinya kamu tidak boleh membiarkannya mati.”

Sekali lagi aku tertohok hingga ke hulu hati. Tidak bisa berkata apa-apa.

Lamat-lamat terdengar suara azan Maghrib. Riuh kicau walet semakin jelas. Sementara hutan bakau dengan pohon rambai di seberang sana kian mengabur. Kami beranjak meninggalkan dermaga. Sependek lorong pasar yang gelap, kata-kata terakhir Iwan menggedor-gedor benakku. Benarkah aku sudah tidak mencintai Minarti? Mungkin iya. Tetapi, mengapa Iwan mesti mempertanyakan cintaku kepada kampung halamanku sendiri? Kukira, tidak seorang pun bisa membunuh dan mengubur perasaan cintanya kepada kampung halaman sampai akhir hayatnya. Pun aku. Bila aku lama tidak pulang, bukan berarti aku tidak mencintai dan merindukannya. Semua perantau tahu perasaan semacam apa itu. Tidak, sebuah kota tidak akan pernah bisa mengubah perasaan seseorang terhadap kampung halamannya. Kisah Si Malin Kundang sudah tidak ada lagi.

Namun tidak bisa kumungkiri, segelap dan sesepi lorong pasar, aku seakan merasakan denyut jantung kampungku yang melemah. Dan sesungguhnya, aku pun tidak tahu bagaimana cara menyelamatkannya. Sebagai seorang wartawan dan pengarang, barangkali aku hanya bisa berjanji menuliskannya, bagaimana sebuah kampung menuju kematiannya. ***

.

.

Sandi Firly, lahir di Kuala Pembuang, Kalimantan Tengah. Menulis novel dan cerpen. Karyanya pernah termuat dalam Buku Cerpen Pilihan Kompas. Mengikuti Ubud Writers & Readers Festival 2011. Buku cerpen terbarunya Suatu Malam, Ketika Puisi Tak Mampu Ia Tulis Lagi (2022). Saat ini menetap di Banjarbaru, Kalsel, dan aktif memberikan pelatihan menulis cerpen kepada penulis muda.

I Made Arya Palguna, lahir tahun 1976 di Ubud, Bali. Pertama kali belajar melukis di bawah bimbingan ayahnya, I Ketut Sudana. Ia menamatkan pendidikan seni di ISI Yogyakarta tahun 1996 dan sejak itu menetap di Yogyakarta. Telah menerima penghargaan untuk mural dan diundang ke sejumlah negara untuk residensi. Palguna dua kali menjadi finalis Philip Morris Art Awards (2011 dan 2012) dan finalis Indofood Art Awards 2002.

.
Bagaimana Sebuah Kampung Menuju Kematiannya. Bagaimana Sebuah Kampung Menuju Kematiannya. Bagaimana Sebuah Kampung Menuju Kematiannya. Bagaimana Sebuah Kampung Menuju Kematiannya.

Loading

Average rating 4.4 / 5. Vote count: 19

No votes so far! Be the first to rate this post.

2 Comments

  1. Sandi Firly

    Terima kasih, ruang sastra.com 🙏 salam @sandi_firly

  2. David John Rawson

    Dalam cerpen “Bagaimana Sebuah Kampung Menuju Kematiannya” ada penggambaran tentang nasib sebuah kampung yang mengalami pertumbuhan ekonomi cepat lalu kemerosotan yang tajam. ‘Pembangunan’ yang bisa diukur dengan pertumbuhan jumlah penduduknya semakin dan betapa ramai pasar lokal. Si narator yang kembali ke kampungnya melihat keadaan kampungnya dalam kemerosotan. Motor pertumbuhan, gendongan dari hutan di hulu kampung itu sudah habis dan para penebang pohon sudah pergi. Suatu pembangunan yang tak tahan lama karena berdasarkan praktek tidak berkelanjutan. Penduduk sepertinya ada harapan bahwa ‘pembangunan’ itu bisa kembali ke desa itu. Namun yang jelas pembangunan yang dialami dulu singkat sekali tanpa manfaat jangka panjang bagi siapa-siapa. Peristiwa kematian hutannya justru disusul oleh kematian kampungnya. Seperti itu cara yang tepat untuk mengukur pembangunan semacam ini.

Leave a Reply

error: Content is protected !!