Cerpen Artie Ahmad (Jawa Pos, 13 April 2024)
BEBERAPA hari belakangan kau terlihat begitu gelisah, tetapi memang itulah yang kaualami beberapa tahun belakangan ini ketika Ramadan datang. Ada kebahagiaan di wajahmu, namun juga ada kegelisahan bahkan kesedihan di matamu. Ramadan, terlebih tatkala Lebaran nyaris tiba, kesedihan di wajahmu jauh lebih pekat dari sebelumnya. Bibirmu hanya sesekali menyunggingkan senyum, selebihnya bagai bunga layu, dayamu seolah meredup. Masa-masa seperti itu memang hanya ada dua hal bagimu, rindu dan pulang. Keinginanmu yang begitu sulit kutunaikan.
“Sebentar lagi Ramadan habis,” bisikmu perlahan saat berleha di sofa depan televisi.
“Ya, sebentar lagi Lebaran,” sahutku cepat.
Kau tak menjawab lagi, wajahmu memberengut, sedangkan kedua matamu melihatku dengan tatapan sedikit sengit. Seolah aku ini seorang musuh yang patut kaucurigai. Dalam beberapa hal kau memang menganggapku tak berperi kemanusiaan, bahkan seringkali kau memanggilku sebagai manusia tanpa empati. Sesungguhnya hal itu terjadi hanya lantaran aku sering kali mengabaikanmu saat waktuku tersita untuk bekerja, juga menyoal aku tak pernah mengajakmu pulang kampung meski kau sangat ingin kembali ke kampung halamanmu itu.
“Sekarang ada kereta, pesawat terbang, bahkan bus jauh lebih cepat dari tahun-tahun sebelumnya. Tapi aku tak pernah berhasil pulang kampung!”
Itu adalah kalimat keluhan lainnya yang kauutarakan. Aku tak perlu menjawabnya, sungguh dalam banyak hal sesungguhnya aku tak ingin berargumen denganmu, terlebih untuk hal-hal semacam itu. Aku selalu bertekad bahwa diriku harus berdamai denganmu, aku tak ingin kita bermusuhan, meski acap kali kau mengeluhkan kurang beruntung hidup berdua denganku saja, sedangkan anak-anak yang lain telah memiliki kehidupan di luar sana, tinggallah si bungsu yang sering kali tak terlalu berguna.
“Apa kau tidak menyayangiku?” tanyamu saat kita makan sahur berdua.
“Sayang sekali,” jawabku selepas meneguk susu hangat. Dari bibir cangkir, aku melirikmu, kau terlihat menyelidik lewat tatapanmu.
Kau ingin melontarkan sesuatu yang lain, tapi kemudian kau memilih diam dan meneruskan makan sahurmu dengan khidmat. Sampai menjelang berbuka puasa, kau tak melontarkan pertanyaan apakah aku menyayangimu atau tidak. Tentu kau percaya denganku, meski kau merasa aku cukup kejam di waktu-waktu tertentu, sesungguhnya di dunia ini hanya dirimu yang kusayangi.
***
Dirimu selalu dicekam rindu, aku memahami betul hal itu. Sungguh, andai aku bisa menunaikan rasa rindumu, tentu sudah kutunaikan sejak dulu. Aku memang tak bisa berkata banyak lewat lisan, aku tak bisa mengungkapkan betapa menderitanya aku saat melihat kedua matamu merebak lantaran tangis sebab kau rindu kampung halamanmu yang telah kautinggalkan berpuluh tahun lalu. Aku tahu betapa menderitanya engkau menanggung kenangan dan rasa ingin pulang.
Saat kau tak berhasil keluar rumah untuk pulang ke kampung halamanmu dulu, kau mulai bercerita tentang desa kecil di bawah kaki bukit, kau bercerita tentang orang-orang yang belum pernah kutemui, bahkan kau bercerita tentang makanan yang kaugemari dan tak bisa kutemukan di pasar tradisional sekalipun. Kau memiliki ingatan begitu kuat, teramat berbeda denganku yang memiliki ingatan tak seberapa bagus. Di dalam kepalamu tersimpan begitu banyak kenangan, tertata apik dalam berkas yang seakan kekal.
Aku telah mendengar ceritamu entah berapa kali, tapi sungguh aku tak pernah bosan. Hidupku hanya di kota besar, lahir dan tumbuh di tengah-tengah padang beton, gedung pencakar langit, juga polusi dan langit muram kelabu, langit biru menjadi barang langka. Maka ceritamu tentang desa kecil nan bersahaja selalu menarik perhatianku.
Kau bercerita tentang sebuah desa kecil di Jawa Tengah. Sebuah desa yang dikelilingi bukit-bukit kecil. Kau menggambarkan betapa pagi selalu hadir dalam keadaan demikian menarik. Kabut bagai selimut tipis, pohon-pohon di kejauhan serupa bayangan magis, lalu sinar matahari perlahan akan mengoyak lapisan kabut yang kaukagumi. Aku bertanya apakah kau menyesali sinar matahari yang mengoyak kabut kesukaanmu, kau tertawa perlahan dan menjawab tak pernah kausesali apa pun yang disediakan alam di desamu itu.
Dalam ceritamu aku sering kali menangkap kesahajaan dalam hidup. Hal yang tak kulihat betul dalam dirimu saat ini. Selain kabut, kau bercerita bagaimana semarak Ramadan di desa kecil itu. Kau mengingat bagaimana anak-anak sebayamu akan beramai-ramai menggotong tikar ke sungai, di sana kau dan teman-temanmu mencuci tikar bakal dijadikan alas untuk salat Tarawih. Di sungai yang airnya kausebut sebening air mineral dalam botol, semua anak-anak di desa mandi beramai-ramai. Kau menyebutnya padusan, saat itulah dilambangkan bahwa semua hal-hal kotor dalam diri hanyut bersama air kali untuk memulai hari suci Ramadan dan menyongsong Idul Fitri.
Aku selalu melihat binar di kedua matamu setiap kali kau bercerita tentang desamu. Kau selalu bersemangat saat kenakalan masa kecilmu dipergoki Pak Modin, seorang ustad di kampung halamanmu itu. Kenakalan kanak-kanak, kau tertawa perlahan saat menceritakan kenakalan itu.
“Kami dipergoki Pak Modin, minum air padasan saat bersiap salat Asar. Bukan untuk berkumur saat wudu, tapi benar-benar diminum. Dasar kami tak tahan haus setelah lelah menggiring kambing di lapangan desa.” Kau menggelengkan kepala mengingat kenakalan masa kecilmu. “Oh, kau pun pernah begitu juga! Dulu saat puasa, siang-siang kau sering minum air ledeng!”
Aku hanya mendehem mendengar ucapanmu. Hal itu memang benar, bukan sekadar tuduhan. Namun kemudian rona wajahmu berubah, sorot matamu tak secemerlang sebelumnya. Ada gurat sedih di kedua bola matamu, senyummu tak sebebas tadi, kau terlihat tenggelam dalam rasa duka.
“Di masa-masa itu, almarhumah ibuku sering kali memasak makanan lezat. Ramadan menjadi begitu istimewa karena ibu memasak makanan kesukaanku. Ibu selalu mempersiapkan makan sahur dan berbuka dengan hidangan terbaik….” Kau menceritakan itu dengan mata sebak.
Tentu kau rindu dengan masa-masa itu, aku tak pernah mengetahui secara tepat berapa puluh tahun ibumu telah berpulang, yang kutahu kau selalu mengingatnya bahkan merindukannya.
Ketika ceritamu telah sampai pada bagian ibumu, kau akan bercerita tentang ratusan ketupat dalam panci berukuran besar. Masa kecilmu tak selalu mudah, untuk menebus baju Lebaran kau harus membantu almarhumah ibumu dulu berjualan ketupat. Tak ada sepeda angin, kau akan merelakan kedua kakimu berjalan ratusan sampai kiloan meter untuk mengantar ketupat pesanan pelanggan. Bisnis kecil musiman yang kautekuni bertahun-tahun lamanya. Tak sekadar ketupat, kau juga bercerita tentang lepet lembu, makanan dari beras ketan berbalut janur. Lepet lembu sendiri sebesar kepalan tangan orang dewasa katamu, berbentuk sedikit lonjong. Gurih lantaran diberi parutan kelapa tak terlalu tua untuk menemani beras ketan.
Kau bercerita bagaimana tekunnya almarhumah ibumu dalam menyelesaikan semua pesanan ketupat dan lepet itu saat malam takbir. Pagi buta perempuan yang kaugambarkan bertubuh sedikit tambun itu akan duduk di bangku kecil dari kayu jati, kau menyebut bangku itu dengan sebutan dingklik. Dengan kedua mata yang masih cukup lekat lantaran kantuk, kau akan memperhatikan bagaimana ibumu dengan telaten memasukkan bulir-bulir beras ke dalam selongsong ketupat, betapa cekatan perempuan itu, pujimu berulang kali. Di depan pendiangan sembari menunggu air di dalam panci besar mendidih, ibumu akan mengisi semua selongsong ketupat, setelah ketupat selesai akan diteruskan mengisi selongsong lepet. Kau jujur, betapa terkesannya dirimu melihat keahlian almarhumah ibumu dulu.
“Kedua tangan almarhumah ibu begitu cekatan. Lepet itu ditali dengan tali dari serutan halus bambu. Aku tak pernah bisa membuatnya meski berkali-kali belajar.” Kau kembali mengenang-ngenang masa itu, mungkin di ingatanmu sedang tergambar seorang perempuan duduk di bangku kecil depan pendiangan dengan setumpuk ketupat di dekatnya.
Aku selalu menikmati ceritamu tentang masa lalu, meski ada waktu kau merasa gelisah, sedih, bahkan emosional karenanya. Kenangan memang menakutkan lantaran tak bisa diulang, waktu yang berlalu tak bisa diputar kembali, sedang ingatan sering membawa kita kembali ke tempat yang tak bisa lagi dijajaki.
***
Tampaknya kesedihanmu untuk pulang kampung begitu hebat di Ramadan ini. Kau selalu terlihat lesu, ada waktu kau terlihat marah saat aku menjawab bahwa betapa sulit membawamu kembali ke kampung halamanmu itu. Aku telah mencari di manakah harusnya aku mengantarmu pulang, sudah kujelajahi mengenai kampung halamanmu, tapi tak kutemukan tempatmu dulu. Alamat itu masih ada, namun tak ada desa kecil nan bersahaja.
Berpuluh tahun lalu, setelah kau pergi merantau dan kedua orang tuamu wafat, desa tempatmu bertumbuh telah ditenggelamkan. Masyarakat sangat membutuhkan pasokan air, maka haruslah dibuat sebuah danau buatan atau kau menyebutnya waduk. Seluruh desamu ditenggelamkan, begitu pula makam kedua orang tuamu. Tak ada gambaran sebuah desa lagi selain hamparan air.
Kampung halamanmu nan bersahaja telah bersilih rupa menjadi wadah air berjuta-juta kubik banyaknya. Aku tak bisa membawamu pulang ke kampung halaman di hari Lebaran bukan lantaran tak ingin, melainkan tak kuasa memperlihatkan betapa tak ada kenangan yang seolah disisakan untukmu selain ingatan yang kauperam di dalam kepala. Aku tak ingin melihatmu patah hati berulang kali. Sesungguhnya aku ingat dulu kau nyaris pingsan saat kita berkunjung ke sana, di sela perjalanan melancong ke Jogja. Kau tak bisa menahan haru saat melihat kampung, makam, dan lain-lainnya kini tak lebih dari genangan raksasa.
Menuju malam Lebaran kau sempat gelisah. Sejak pagi kau menyebut-nyebut nama ibumu, kau mengatakan bahwa telah dipanggil pulang untuk merayakan Lebaran. Aku tak mengerti mengapa kau harus pulang Lebaran bersama ibumu, sampai akhirnya selepas magrib aku menemukan jawabannya. Kau tertidur nyenyak, seolah sedang bermimpi indah. Aku kehilangan dirimu sore itu. Dirimu pulang, rohmu kembali pulang ke kampung halaman, sedangkan tubuhmu kuantar pulang ke Karet Bivak keesokan harinya. ***
.
.
Salatiga, Maret 2024
Artie Ahmad. Lahir dan besar di Salatiga. Menulis cerita pendek dan novel.
.
Pulang tanpa Kampung Halaman. Pulang tanpa Kampung Halaman. Pulang tanpa Kampung Halaman. Pulang tanpa Kampung Halaman. Pulang tanpa Kampung Halaman.
Leave a Reply