Cerpen, Jemmy Piran, Koran Tempo

Sumur Penyelamat

Sumur Penyelamat - Cerpen Jemmy Piran

Sumur Penyelamat ilustrasi Alvin Siregar/Koran Tempo

4.5
(2)

Cerpen Jemmy Piran (Koran Tempo, 21 April 2024)

DUA hari berikutnya, setelah kaki Yosef sembuh, mereka berjalan melalui jalur timur Sungai Nil menuju Farma, sebagaimana yang diarahkan oleh Hanif dan Heba. Tiga hari berikutnya, mereka tiba di sana. Sebuah kota kecil dengan banyak penjual yang menjajakan dagangan mereka di sepanjang jalan utama.

Untuk menghindari orang-orang, Yosef menyewa seorang anak yang dia jumpai di luar gerbang desa untuk mencarikan mereka sebuah penginapan. Anak itu menuntun mereka melalui sebuah gang sempit yang tidak banyak dilalui orang. Rumah penginapan itu terletak jauh dari keramaian dan agak di pinggir. Bagian luar sudah langsung berbatasan dengan tembok.

Sedangkan bagian belakang rumah itu terdapat sebuah sumur yang sudah kering airnya dan telah lama tidak dipakai oleh tuan rumah. Lalu, di atas atap yang terbuka, di kejauhan sana, mereka dapat melihat puncak piramida yang menjadi kebanggaan orang-orang Mesir.

Yosef memang dengan sengaja meminta sang anak untuk memilih penginapan yang agak jauh, karena ia berencana mereka tinggal di sana sambil menunggu Hanif.

Sang tuan rumah menyambut mereka dengan hangat. Ia langsung jatuh kasihan begitu melihat ada dua anak kecil yang ada dalam gendongan kedua perempuan bernama Maria itu. Selain karena kasihan, begitu mendengar dari Yosef bahwa mereka adalah pengembara dari tanah Israel, sang tuan rumah tampak amat senang. Sang tuan rumah segera meraup segenggam tanah di depan rumah dan menghamburkannya di atas kepalanya dengan harapan tanah memberkahinya dengan kemurahan.

Ia lalu mempersilakan Yosef dan rombongan kecil itu segera masuk ke rumah.

“Kalian tahu?” kata sang tuan rumah pada malam ketika mereka dihidangkan dengan jamuan. Nada suaranya agak ditinggikan untuk menarik perhatian mereka semua. “Sejak Musa meninggalkan tanah kami karena kesombongan Firaun, kami merasa seperti terus dikutuk. Dan memang kami selalu dikutuk.” Sang tuan rumah tertawa getir.

Mereka memandang sang tuan rumah. Mereka tidak mengira bahwa ia tengah membicarakan kejelekan bangsanya sendiri.

“Aku tahu kalian pasti menganggap aku orang gila karena membicarakan keburukan dan kutukan yang kami terima. Tapi, sungguh, aku bersumpah demi langit dan bumi, demi Yahweh kalian dan dewa dan dewi kami, aku bersyukur karena telah membukakan pintuku bagi orang-orang Israel, keturunan Musa dan Yakub, bapak kalian. Semoga oleh penerimaan ini, aku terbebaskan dari kutuk turun-temurun itu.”

Baca juga  Berat Hidup di Barat

Ia menarik napas panjang, lalu mengembus kuat-kuat seolah tengah membuang beban yang bercokol di hatinya. Ia mengangkat kepala, memandang mereka satu demi satu dengan dingin dan tenang. Ia kembali membuka mulut.

“Seandainya nenek moyang kami tidak menindas bangsamu, kami tidak hanya mengharapkan air dari Sungai Nil. Tiap tahun, pada bulan keenam, banyak anak mati terserang nyamuk yang datang dari jauh, yang kami yakin sebagai kiriman Yahweh. Lalat, belalang, dan katak selalu memenuhi daerah kami begitu musim panen tiba. Tidak terhitung lagi bagaimana binatang-binatang ternak kami mati karena penyakit. Kami putus asa. Makanya para tua-tua di sini menjadikan kota ini sebagai kota dagang. Ya, hanya itu yang bisa membuat kota ini sedikit bergeliat. Selebihnya kami hidup dibayang-bayangi kutukan.”

Sang tuan rumah berhenti sebentar, lalu ia berkata dengan suara yang dibuat serendah mungkin. Seolah-olah tengah membocorkan aibnya. “Semua anak laki-laki sulung di kota ini hidup tidak lebih dari sepuluh tahun.”

Air mata menggenang di kelopak matanya. Ia menenangkan diri beberapa saat. “Begitu juga dengan anakku.” Ia menghapus air matanya. Ia ingin terlihat tegar.

Yosef meraih pundak sang tuan rumah. Ia berkata, “Setelah ini, semua kutuk itu tidak akan lagi terjadi atas hidupmu. Percayalah.”

Mereka semua dalam ruangan itu mengangguk.

Setelah mengatur napasnya, sang tuan rumah berkata dengan lepas, “Di kota ini, belum tentu ada orang yang mau menerima kaum keturunan Yakub. Tapi, aku punya keyakinan lain, berkat akan datang begitu kami membukakan pintu bagi mereka. Itu sebabnya, begitu mendengar bahwa ada orang dari Bani Israel yang mencari penginapan, aku dengan senang hati membukakan pintuku.”

Sebetulnya sang tuan rumah pun sedikit agak terkejut; mengapa ia dengan begitu mudah mengutarakan beban yang mengendap dalam hatinya. Ia tidak pernah berbicara panjang-panjang seperti ini sebelumnya. Ia hanya merasa terdorong begitu saja untuk melepaskan beban yang menyesakkan dadanya selama ini. Apalagi setelah kematian anak sulungnya tiga tahun lalu.

Setelah meluapkan semuanya, sang tuan rumah merasakan urat-uratnya yang selama ini membuat tubuhnya menegang mulai mengendur.

Baca juga  Aku Membuatmu Bersetia kepada Kesepian dan Kesedihan

Yosef berkata, “Kami juga bukan orang dari golongan bangsawan. Atau yang pandai dengan isi kitab dan tahu banyak ramalan. Kami hanyalah pengembara malang. Semoga kehadiran kami membawa berkat atas rumah ini. Tentunya, kami pun akan berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar kalian semua dilindungi dan diberikan rezeki.”

“Bilamana terjadi apa-apa, ada ruangan di bawah sana. Kalian bisa menggunakannya.”

Seusai makan, seorang pelayan datang membawa seteko air untuk mereka. Melihat itu, sang tuan rumah langsung meminta maaf karena mereka sedang mengalami krisis air. Sudah beberapa lama penduduk kota mengalami kekurangan air, dan untuk memenuhi kebutuhan air, mereka membeli dari para saudagar kaya yang memiliki kuda. Para saudagar ini mematok harga yang cukup tinggi untuk sebejana air. Mereka memberi alasan kereta kuda tidak bisa membawa air dalam jumlah banyak.

“Jika demikian, mari kita berdoa, memohon kepada Yang Maha Kuasa agar menjauhkan masalah ini dari kita. Tapi, bagaimanapun, kita harus bersyukur dengan apa yang ada,” ucap Yosef.

Maria, istri Yosef, mengiyakan dengan semangat. Kleopas, walaupun dengan enggan, akhirnya memejamkan mata juga. Sementara itu, sang tuan rumah hanya memperhatikan mereka karena caranya menyembah agak berbeda dengan yang Yosef beserta keluarganya lakukan.

Setelah selesai berdoa, ia hendak bertanya, tapi segera ia urungkan niatnya. Kenapa mereka tidak berdoa dengan cara memukul-mukul dada sebagaimana yang mereka lakukan? Kenapa tidak di depan sebuah patung yang mewakili dewa atau dewi?

Namun akhirnya sang tuan rumah tidak bisa menahan dirinya. “Kalian tidak meminta kepada Dewa Hapi [1]?

“Kami meminta kepada Yahweh kami. Yang membawa bangsa Yahudi keluar dari tanah Mesir dan telah menuntun kami kembali ke tempat ini,” ucap Yosef sambil tersenyum.

Malam itu, setelah mereka terlelap, untuk pertama kalinya hujan turun dengan deras-derasnya. Keesokan harinya, langit tampak begitu cerah.

Ketika pagi merekah, orang-orang di kota itu memandang ke arah langit dan tidak mengerti kenapa tiba-tiba langit bisa menumpahkan airnya tadi malam, padahal sekarang bukan musim hujan. Lalu pagi ini, awan-awan bagai menghilang entah ke mana.

Sementara itu, di dalam sebuah rumah, ada keluarga yang sedang berkemas-kemas. Kleopas mengisi air, langsung dari sumur yang ada di belakang rumah itu. Sedangkan Yosef mengikat bawaan mereka di atas punggung keledai.

Baca juga  Keroncong Pembunuhan

Ketika orang-orang di kota itu masih diliputi keheranan, rombongan yang dipimpin Yosef bergegas mengikuti jalan setapak, yang diapit tembok pada sisi kiri dan kanan. Sang tuan rumah memberitahukan bahwa itulah jalan tercepat menuju ke gerbang lain, gerbang kedua. Gerbang itu hanya dipakai bila terjadi penyerangan. Di luar gerbang itu, ada jalan setapak menuju arah bukit. Lalu dari sisi bukit itu ada jalan lain yang mengarah ke utara.

Orang-orang sudah tidak memakai jalan itu karena ada jalan lain menuju kota yang sama, yang lebih singkat dan melalui desa dan kota yang ramai. Tidak ada orang yang mengetahui bahwa ada sebuah rombongan kecil telah meninggalkan kota kecil mereka, kecuali sang tuan rumah yang telah membukakan pintunya untuk rombongan itu.

Sehari setelah rombongan itu pergi, tergemparlah di seluruh penjuru kota itu bahwa sumur milik salah seorang warga sudah bisa kembali dipakai.

Selanjutnya, orang-orang di kota itu berbondong-bondong datang ke rumah yang terletak agak jauh dari pusat keramaian itu untuk memastikan. Mereka bertanya-tanya bagaimana hal itu bisa terjadi, sementara sumur-sumur lain di kota itu masih tetap kering.

Sang tuan sumur tidak berkata apa-apa, hanya terus melayani mereka yang datang meminta air kepadanya. Bahwa sesungguhnya ada sebuah keluarga kecil, yang lupa ia tanyakan nama mereka, yang pada malam sebelumnya telah bertandang ke rumahnya, berdoa kepada Yahweh dari Bani Israel untuk membantu mereka sekalian.

Ia juga sempat berpikir bagaimana kalau ia mematok tarif untuk sebejana air yang diambil dari sumurnya, di tengah orang yang semakin mengular. ***

.

.

Keterangan:

[1] Dewa Hapi: dewa penjaga Sungai Nil

.

.

Jemmy Piran, lahir di Sabah, Malaysia, 18 Februari. Dia alumnus PBSI pada Universitas Nusa Cendana, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Cerpen-cerpennya sudah tersiar di sejumlah media massa.

.
Sumur Penyelamat. Sumur Penyelamat. Sumur Penyelamat. Sumur Penyelamat. Sumur Penyelamat. Sumur Penyelamat.

Loading

Average rating 4.5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

3 Comments

  1. SD

    selamat kk Jemmy. cerpenya sangat bagus.

Leave a Reply

error: Content is protected !!