Cerpen, Kaltim Post, Widya Amanda

Bukan tentang Tanah, Rumah, apalagi Kolam Renang

Bukan tentang Tanah, Rumah, apalagi Kolam Renang - Cerpen Widya Amanda

Bukan tentang Tanah, Rumah, apalagi Kolam Renang ilustrasi Jumed/Kaltim Post

5
(1)

Cerpen Widya Amanda (Kaltim Post, 07 April 2024)

“AYAH, ayah, di rumah Gilang ada kolam renangnya. Apa boleh Adil berenang di rumah Gilang?”

Anak laki-laki enam tahun itu menerobos masuk dengan seruan bersemangat tanpa tarikan napas. “Apa boleh, Ayah?”

Ia duduk di hadapanku, tanganku yang menggenggam rotan berhenti menganyam, netra rusanya tampak berbinar, memancarkan sejumput harapan yang membuatku sedikit kasihan. Aku lantas memaksakan seutas senyum. “Nanti kita berenang di tempat lain saja, ya.”

Adil adalah anak yang pengertian, satu kalimat membuatnya berhenti menuntut dan langsung pergi entah ke mana walaupun dengan wajah murung. Aku menghela napas dan melepaskan rotan dari genggaman, menatap sisa bayangan Adil yang sudah menghilang dari balik pintu kayu rumah kami.

Seharusnya anak itu juga bisa merasakan rumah dengan kolam renang, tetapi kenyataannya untuk membeli mainan yang ia inginkan saja harus menunggu ayahnya ini berhari-hari menganyam rotan untuk menghasilkan uang. Padahal, dulu ia bisa mendapatkan apa saja yang ia inginkan.

Sejak kapan, ya, keadaan menjadi menyedihkan seperti ini? Apa sejak bapaknya Gilang, Mas Herman, mampir ke rumah kami dengan seutas senyum ditemani beberapa lembar kertas di dalam map merah?

Iya, sepertinya sejak Mas Herman bertamu ke rumah kami untuk pertama dan terakhir kali. Ia datang dengan map merah, duduk di sofa ruang tamu dan membuka map itu sembari melempar seulas senyum.

Bersamaan dengan senyum itu, ia mengatakan bahwa ia menginginkan tanah yang kutanami berbagai jenis sayur dan buah.

“Aku mau bangun rumah dan kontrakan, tapi tanahku yang di sebelahmu itu ndak cukup.”

“Mas Herman mau beli tanahku?”

Ia mengangguk lalu menjelaskan berapa harga yang ia minta untuk tanah itu. Awalnya aku merasa keberatan dengan harga yang ia tawarkan karena menurutku sangat tidak sesuai. Lagipula, tanah itu menjadi satu-satunya tempat untukku dan keluargaku mencari nafkah.

Baca juga  Hujan Tadi Malam

“Aduh, itu jangan dipikirkan. Anggap saja kita sedang berbisnis, nanti sebagian hasil dari rumah kontrakan yang dibangun di atas tanahmu itu ya kukasih ke kamu,” jelas Mas Herman. Ia juga menambahkan kalau uang yang akan digunakan untuk membayar tanah lebih dulu itu sekadar untuk mencukupi kebutuhan keluarga kami sampai rumah yang ia bangun selesai dan mendapatkan penghasilan lagi dari sana.

Tidak sampai di situ, ia menjelaskan berbagai keuntungan jika aku mau menyerahkan tanah tersebut kepadanya. Aku sendiri sebetulnya tidak begitu paham dengan sebagian besar yang dia jelaskan, tapi beberapa poinnya aku rasa akan menguntungkan aku. Mungkin ia juga tahu bahwa aku akan terpengaruh sehingga ia langsung datang dengan map, surat, meterai, dan pulpen di hari yang sama.

Aku ingat betul bagaimana marahnya istriku saat aku menceritakan kesepakatan dengan Mas Herman. Istriku mengeluarkan kata-kata yang tidak pernah kudengar dari mulutnya sebelumnya. Istriku bilang bahwa aku bodoh, terlalu mudah terpengaruh. Istriku mengatakan bahwa aku sudah menghancurkan hidup kami.

Sejak saat itu, istriku beberapa kali mendatangi Mas Herman untuk membatalkan kesepakatan sekaligus mengembalikan uang yang diberikan Mas Herman. Namun, Mas Herman jelas menolak dan mengancam menggunakan surat yang sudah kutandatangani. Istriku tetap mendatangi Mas Herman, kadang berbicara baik-baik, kadang juga mengeluarkan sumpah serapah. Terkadang pula istriku menangis kenapa bisa Mas Herman yang masih memiliki ikatan darah denganku tega menipu seperti itu.

“Kenapa kamu punya pikiran kayak gitu?” tanyaku ketika itu. “Mas Herman selama ini baik kepada kita, mana mungkin menipu kita seperti itu.”

“Kamu bodoh.” Ia mengumpat. “Semua yang dikatakan Mas Herman nggak masuk akal, terus kenapa dia pakai mengancam segala kalau memang tidak untuk mengambil untung sendiri?”

Baca juga  Perihal Sebatang Kayu di Belakang Limas Kami yang Ada dalam Hikayat Emak

Aku mencoba berkilah. “Mengambil untung sendiri bagaimana? Mas Herman sudah kasih uangnya ke kita.”

Istriku terus bersikeras bahwa itu tidak sepadan dan Mas Herman tidak akan memberikan untung dari rumah kontrakan yang mau dibangunnya. Istriku bahkan terus-terusan merasa bingung bagaimana bisa aku terbuai dengan janji-janji Mas Herman yang sama sekali tidak masuk akal. Istriku bahkan mendapat informasi entah dari mana bahwa Mas Herman tidak berencana sama sekali membangun rumah kontrakan.

Ketika Mas Herman sudah mulai mengumpulkan bahan dan membangun fondasi, istriku juga beberapa kali menghampiri mereka. Aku sering menghalanginya pergi keluar dan mengatakan bahwa kita lihat dulu nanti hasilnya karena kita tidak tahu jelas apa yang ada di pikiran Mas Herman sebenarnya.

“Kamu tuh bodohnya keterlaluan, ya.” Istriku malah membalas dengan nada tinggi. “Mau aku jelaskan bagaimana pun juga kayaknya kamu nggak bakal sampai.”

Kata-kata bodoh yang beberapa waktu sering kudengar itu tidak terlalu kupedulikan. Aku tetap mencoba menenangkan istriku dan memberinya pengertian tentang Mas Herman. Istriku pun tetap tidak peduli dan tetap pada keyakinannya.

Aku ingat dengan jelas hari saat aku menjemput Adil yang berlibur di rumah neneknya untuk membawanya kembali pulang ke rumah. Namun, di depan rumahku sudah ramai warga berkumpul. Begitu melihatku dan Adil, mereka berbondong-bondong menghampiri. Salah seorang tergesa-gesa menyuruhku ke rumah sakit dan mengatakan bahwa ia bersedia menjaga Adil dulu untuk sementara.

Kata mereka istriku ada di rumah sakit. Salah satu warga mengantarku ke sana. Ternyata istriku memang benar ada di sana. Terbaring dengan mata tertutup, penuh darah, tidak bernapas, dan tanpa nyawa. Aku meminta penjelasan dan katanya istriku tertabrak truk saat kutinggal menjemput Adil. Istriku tertabrak truk yang mengangkut bahan bangunan untuk rumah Mas Herman.

Baca juga  Kita Hanya Punya Waktu Satu Jam

Aku masih ingat dengan jelas kekosongan yang kurasakan hari itu. Aku bahkan tidak tahu siapa saja yang membantu menyiapkan pemakaman, siapa saja yang datang melayat, siapa saja yang mengucapkan belasungkawa, bahkan hari itu aku tidak tahu di mana dan dengan siapa anakku. Hal yang paling kusesalkan hingga sekarang adalah seharusnya istriku bisa pergi dengan tenang, seharusnya istriku tidak pergi tiba-tiba dengan cara seperti itu.

Beberapa hari setelah pemakaman, aku mencoba mencari keadilan. Namun, aku tidak mendapatkan apa-apa dan mereka malah mengatakan itu adalah salah istriku sendiri. Mas Herman tetap melanjutkan pembangunan rumahnya tanpa sedikit pun penyesalan. Beberapa bulan kemudian rumah itu jadi. Ia membangun rumah yang cukup mewah beserta rumah kontrakan di sampingnya.

Sejak pembangunan selesai, Mas Herman sama sekali tidak ingin bertemu bahkan berbicara denganku. Ketika aku meminta hakku seperti yang dia janjikan, dia malah menghardik dan mengusir.

Sekarang setiap melihat rumah itu, aku ingin menghancurkannya segera tapi tetap tidak bisa melakukan apa-apa. Rumah itu dibangun dengan mengorbankan keharmonisan rumah tanggaku, bahkan dengan nyawa istriku. Ternyata aku memang sebodoh itu. ***

.

.

Widya Amanda. Lahir di Berau pada Mei 2004. Mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman. Karyanya yang lain dapat ditemukan di link bio instagram @widyaamd_

.
Bukan tentang Tanah, Rumah, apalagi Kolam Renang. Bukan tentang Tanah, Rumah, apalagi Kolam Renang. Bukan tentang Tanah, Rumah, apalagi Kolam Renang.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Ricardo

    Bagus. Penulisnya berbakat. Semoga tidak berhenti menulis yaa.

Leave a Reply

error: Content is protected !!