Cerpen Bella Sapitri (Kaltim Post, 21 April 2024)
ANAK perempuan itu terbaring di dalam peti. Mengenakan gaun hitam polos panjang tanpa lengan dengan sepasang anting mutiara dan sepatu berpotongan sederhana. Dia tampak menawan saat memakai warna hitam, sungguh aku jatuh hati setiap kali melihatnya.
Dialah yang membawaku masuk ke kehidupannya. Kehidupan yang tak ada bedanya seperti neraka, penuh dengan penderitaan dan perasaan nelangsa. Dia yang setiap harinya datang ke toko untuk melihatku, dia juga yang dengan sukarela menukarkan uang lima puluh ribu rupiah miliknya demi bisa membawaku pulang.
“Aku ingin boneka cantik yang ada di sana.” Dari sekian banyak boneka dia hanya menunjukku. Bukankah ini hanya berarti satu hal; aku begitu istimewa di matanya.
“Baik anak manis, ini bonekanya.” Pemilik toko mencubit gemas pipi anak itu, sebelum memberikanku kepadanya.
Aku langsung kegirangan saat merasakan sentuhan tangan-tangan mungilnya. Dia lalu membawaku ke sebuah tempat yang kemudian aku sadari sebagai tempat tinggalnya. Tempat yang dia sebut sebagai istana, namun tak ada mirip-miripnya dengan istana.
“Ayo kita masuk.” Dia membuka pintu perlahan, menengok ke kiri dan ke kanan lalu berjalan mengendap-ngendap menuju dapur.
“Yasina!” seseorang berteriak kencang. “Yasina! Di mana kamu?!”
Aku bisa merasakan tubuhku didekap dengan sangat erat. Seseorang kemudian mendekat, pria paruh baya bertubuh gempal dengan wajah garangnya.
“Aku lapar! Sejak tadi aku menunggumu membawakan makanan!”
Makin lama anak ini semakin mendekapku dengan erat dan sepertinya pria bertubuh gempal itu menyadari keberadaanku.
“Yasina! Apa itu yang ada di tanganmu? Ayo jawab!!”
Kenapa dia terus meneriaki anak ini, anak yang baru kuketahui bernama Yasina. Yang terjadi selanjutnya cukup menyebalkan, aku diambil paksa dari dekapan Yasina, lalu diangkatnya tinggi-tinggi dengan posisi terbalik, kaki di atas dan kepala di bawah.
“Dari mana boneka ini kamu dapatkan? Apa kamu mencuri!”
“T-tidak ayah, Yasina tidak mencurinya,” suaranya bergetar. “Boneka itu Yasina beli di toko seberang jalan.” Dia tertunduk.
Iya! Dia benar. Aku dibeli dengan uang, bukan hasil curian! Jadi berhentilah meneriakinya terus.
“Memangnya dari mana kamu dapat uang untuk membeli boneka ini? Ayo jawab! Jangan hanya diam saja!”
Pria gempal itu sangat menyebalkan, kenapa dia terus membentak Yasina. Tidak bisakah dia berbicara dengan lembut kepada temanku?
“Dasar anak sialan!”
Plakk! Satu tamparan berhasil mengenai pipi Yasina, dia tersungkur ke lantai dan aku bisa mendengar suara isak tangisnya.
“Ayo ikut denganku.” Pria itu lantas menyeret Yasina pergi, dengan aku yang masih berada di genggamannya. Masih dalam posisi terbalik.
Dia membawa kami ke toko seberang jalan, tempat Yasina membeliku. Pria itu lalu membuat keributan di sana, dia meminta pengembalian uang dan melemparkanku begitu saja ke tanah.
“Siapa pemilik toko ini? Keluar sekarang juga! Aku ingin uangku dikembalikan. Aku tidak membutuhkan boneka jelek itu.”
Jahat sekali dia, setelah melemparkanku dengan kasar sekarang dia bahkan mengataiku jelek. Ingin rasanya aku mengatai dia juga, tapi apa dayaku? Aku hanya benda mati, meskipun bisa berbicara siapa juga yang akan mendengar.
“Apa tidak ada orang di dalam? Kenapa tidak ada yang keluar!”
Pemilik toko akhirnya keluar. Namanya Pak Bulan, aku mengetahuinya dari percakapan para pelanggannya. Usianya sudah renta, pendengarannya pun tidak seperti dulu lagi, jadi membutuhkan waktu baginya untuk datang ke hadapan pria itu.
“Ada yang bisa kubantu?” Tidak seperti pria gempal itu, Pak Bulan tentu saja berbicara dengan nada lembut.
“Ambil boneka jelek itu dan kembalikan uangku!” Pria gempal itu menunjukku. Pak Bulan lantas menunduk agar dapat meraihku, setelah itu dia membersihkan pasir-pasir yang menempel di sekujur tubuhku. Dia lalu masuk dan mengambil sejumlah uang di meja kasir, kemudian memberikannya kepada pria gempal itu, sementara aku diberikan kepada Yasina.
“Ambil saja uang itu, tapi biarkan anak ini memiliki bonekanya,” ujar Pak Bulan membuatku kegirangan. Namun, baru beberapa detik Yasina mendekapku, pria gempal itu lagi-lagi berteriak dan kembali melemparkanku.
“Simpan boneka itu untuk dirimu sendiri!” Pria gempal itu mencengkram bahu Pak Bulan lalu mendorongnya hingga terjatuh. Yasina pun turut menjadi korbannya, anak malang itu dihajar habis-habisan, dipukul, ditampar, bahkan ditendang.
“Dasar anak nakal! Bisanya hanya membuatku marah!”
“Ampun, Pak, jangan pukuli Yasina lagi,” Yasina memohon sambil menangis.
Berhenti! Jangan pukuli dia! Siapa pun tolong hentikan pria jahat itu! Aku terus berteriak, namun tak ada seorang pun yang mendengarkanku. Mereka yang melihat kejadian itu hanya bisa menonton, bahkan Pak Bulan juga. Kasihan Yasina, dia menangis kesakitan, wajahnya terlihat bengkak, tubuhnya juga membiru.
“Sekarang ikut denganku!” Setelah memukulinya habis-habisan, pria itu kemudian membawa Yasina pergi.
Orang-orang yang tadinya hanya menonton mulai mendekat, mereka membantu Pak Bulan berdiri. Ada seseorang yang juga memungutku kemudian memberikanku kepada Pak Bulan. Yang terjadi selanjutnya adalah, aku kembali diletakkan di dalam lemari kaca.
Setiap hari, aku menunggu kedatangan Yasina. Aku yakin kalau temanku itu pasti datang menjemput. Namun, hari itu tak kunjung tiba dan aku mulai menyerah menanti kedatangannya.
Sampai suatu hari Pak Bulan mengeluarkanku dari dalam lemari kaca. Wajahnya terlihat murung, penampilannya pun sedikit berbeda dari biasanya. Entah kenapa dia memakai warna hitam hari ini.
“Hari ini kita akan pergi menemui Yasina,” bisiknya. Dia kemudian membawaku ke suatu tempat. Ada banyak orang di sana, tapi aku masih tak melihat Yasina di antaranya.
Pak Bulan membawaku menuju peti, di sana aku akhirnya bertemu Yasina. Dia terbaring di atas peti, mungkinkah dia sedang tertidur? Lantas kapan dia akan bangun? Aku ingin segera bermain dengannya. Pak Bulan lalu meletakkanku di dalam dekapan Yasina, setelah itu dia pergi meninggalkan kami. Aku sendiri masih bertanya-tanya, kira-kira kapan temanku akan bangun.
Saat berada di dalam peti, sayup-sayup aku mendengar suara nyanyian. Orang-orang berkata jika itulah yang disebut dengan elegi. Sebuah syair yang mengandung ratapan duka cita untuk mengungkap perasaan bela sungkawa. Namun, untuk siapakah elegi itu dinyanyikan? ***
.
Tembang Jiwa. Tembang Jiwa. Tembang Jiwa. Tembang Jiwa. Tembang Jiwa.
Leave a Reply