Cerpen Agus Noor (Kompas, 28 April 2024)
DI ruang tunggu Rumah Sakit kami sama duduk, sesekali berseling batuk, memandangi orang-orang yang terkantuk: bosan antre menunggu giliran masuk ruang pemeriksaan. Rasanya, kami juga sama melihat Maut yang sembunyi di sudut gelap, mengenakan mantel kusam, seperti pencuri yang pintar menyamar. Tapi, mungkin itu hanya ilusi kami saja.
Jam di dinding seakan telah begitu lelah karena harus terus-terusan memunguti detik demi detik dan merangkainya entah untuk apa, hingga segalanya terasa lamban, membuat kami semakin tak sabar menunggu jam besuk. Ah, menunggu memang tak bisa dipahami waktu. Terdengar bunyi keliningan ketika pintu besi dibuka oleh penjaga, dan kami segera bangkit.
“Maaf,” kata penjaga, “anjing tak boleh masuk.”
Ia memandang sedih, menguik pelan, ekor kecilnya bergoyang-goyang seakan ingin protes. Aku bisa mengerti kekecewaannya. Kami sudah menempuh perjalanan jauh untuk sampai ke Rumah Sakit ini. Anjing yang malang, hanya karena ingin menjenguk seorang yang begitu ia sayang saja dilarang.
Aku mulai berkarib dengan anjing itu ketika pada suatu hari ia terlindas sepeda motor yang ngebut ugal-ugalan. Motor itu terus ngacir. Aku bisa merasakan penderitaannya ketika ia menyeret kaki belakangnya yang sengkleh, seperti suster ngesot, kemudian terkulai di pinggir selokan. Sejak itu aku tahu, aku akan selalu bersamanya. Dan ia akan tahu, yang fana adalah waktu, penderitaannya abadi.
Seorang penyair yang melihat anjing itu tergeletak, segera membopongnya. Mata anjing itu sekarat. Penyair itu mengelus-elusnya. “Kamu tahu, Njing, tak banyak orang yang berani mengakui kalau dirinya lebih asu dibanding asu macam kamu….” Anjing itu menguik. Sejak itu keduanya berteman. Keduanya kerap bermain di kuburan. Si anjing, pernah bertanya dengan heran, kenapa penyair itu senang sekali berada di kuburan. Apakah mencari inspirasi?
“Tidak,” jawab penyair itu. “Aku mencari celana masa kecilku, yang barangkali tersimpan di kuburan.”
Aku pernah begitu terharu mendengar percakapan mereka.
“Apakah kamu sungguh mencintaiku, meski aku hanya asu?”
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu… Kamu mengerti, Njing?”
Mata anjing itu terlihat berkilat.
“Syukurlah, kamu mengerti puisi meski kamu seekor asu. Kamu lebih mulia dari manusia yang tak pernah beribadah puisi.”
Kami ke Rumah Sakit karena si anjing ingin menjenguk penyair itu. Berbulan-bulan penyair itu tak muncul di kuburan, hingga si anjing penasaran. Kemudian ia mendengar kabar penyair itu sakit dan sedang rawat inap. Ia mengajakku membesuk.
“Aku tak ingin ia menderita—ah rasanya sudah terlalu lama ia menderita karena menanggung derita kata-kata. Bisakah kamu angkat sakitnya? Atau berikan saja sakitnya padaku. Sebab yang berdarah padanya berdarah juga padaku. Maukah kau membagi sakitnya untukku?”
“Maaf, Njing. Sakit bukanlah Bansos yang bisa dengan gampang dibagi-bagikan.”
Penjaga Rumah Sakit seperti tak lagi bisa sabar, ingin menendang anjing itu. “Akan kusampaikan salammu pada penyair tercintamu,” kataku, yang semoga saja membuatnya bisa sedikit terhibur.
Anjing itu beringsut menjauh terpincang-pincang. Aku jadi teringat pada anjing yang mengiringi Yudhistira ketika Raja Amarta itu menempuh perjalanan terakhirnya menuju Surga.
***
Telentang di ranjang, ia memandang padaku. Bangsal kecil yang sunyi membuatnya seakan terbaring di peti mati. Botol infus tergantung, tabung oksigen dan selang pada hidung.
“Terima kasih, Sakit, kamu sudah mau menjenguk tubuhku yang selama ini terlalu sibuk.” Ia tersenyum. “Di antara semua yang kukenal, kamu memang sahabat yang rajin silaturahmi, hanya saja aku kerap tak peduli. Terbaring di ranjang ini, aku kini jadi mengerti, tubuhku seperti kenangan yang sedang menyembuhkan lukanya sendiri.”
Aku berdiri di sisi ranjang, menjenguk ke dalam matanya yang masih saja penuh kelakar getir dan satir. Mata itu seketika berbinar ketika kusampaikan salam si anjing yang tak bisa masuk menjenguk karena dilarang petugas jaga.
“Sungguh, aku selalu penasaran bertanya-tanya, kenapa manusia suka sekali merendahkan makhluk lainnya? Bahkan gemar merendahkan sesama, hanya karena keyakinan yang berbeda. ‘Apa agamamu?’ Aku suka menjawab, ‘Agamaku air mata yang menghapus pertanyaanmu’. Apakah hanya dalam sakit kita bisa mengasihi sesama? Hanya kamu, Sakit, yang tak pernah membeda-bedakan: tua muda, miskin kaya, mereka yang ternama atau orang biasa, yang hidupnya teratur atau tak peduli jam tidur, apapun agama dan pilihan politiknya; selalu kamu beri jatah nikmat sakitmu. Supaya makin kuat dan dewasa dan makin mengasihimu. Cuma kamu, Sakit, kekasih yang bisa datang kapanpun tanpa bisa ditolak.”
Aku menyentuh jari-jarinya yang lisut. Aku kerap numpang berteduh ke tubuh itu. Ketika tengah malam ia sesak oleh batuk, tapi masih saja memikirkan celana masa kecilnya. Ketika kakinya gemetar oleh nyeri, tapi ia malah sibuk mematut-matut di depan kaca mencoba celana yang baru dibelinya dan menepuk-nepuk bokong teposnya sembari bergumam, “Ini celana yang pas dan pantas buat nampang di kuburan.”
Aku juga sering menjumpainya berlama-lama di kamar mandi, yang selalu ia kunci meski hanya ada ia sendiri. Mungkin karena ia sesungguhnya selalu takut setiap pergi ke kamar mandi. Baginya, menuju kamar mandi adalah jalan gelap dan sunyi menziarahi tubuhnya sendiri. Atau mungkin saja ia takut, saat di kamar mandi dan membuka celana, ia mendapati burung yang lama terkurung di dalamnya sudah kabur entah ke mana.
Apabila ia duduk tercenung di beranda rumahnya mengisap rokok tak putus-putus, bercakap-cakap dengan puisi yang sembunyi dalam sunyi, aku kerap menegurnya dengan sesak pada nafasnya. Tapi ia memang keras kepala seperti kebanyakan penyair. Aku sering terheran-heran, kenapa ada orang yang begitu mencintai puisi bahkan seakan melebihi cinta pada hidupnya sendiri? Apa yang berharga pada puisi? Selain separuh ilusi. Sesuatu yang kelak retak dan ia terus bersikeras membuatnya Abadi.
Aku pernah sembunyi sebagai nyeri dalam hatinya ketika suatu hari di bulan Mei ia terisak menahan tangis berjalan sendirian melintasi lorong bergerimis. Di belakangnya nun tampak bayangan kota mandi api. Telah ia saksikan api berkobar mengecup tubuh bulan Mei yang molek dan segar usai mandi. Tubuh yang meronta dan meleleh dalam api, sampai lekuk-lekuk tersembunyi. Sungguh mengerikan terus-menerus dihantui tubuh yang terbakar.
Ia ingin mengingat bulan Mei itu sebagai bulan api penyucian. Penyucian dusta. Penyucian kekerasan dan kekejaman. Meski ia tahu semua itu hanya harapan. Dan harapan sering kali tak lain hanya cara kita belajar berdamai dengan kekecewaan.
Aku ingat, menjelang kota dilanda kerusuhan, ia telah bersiap menghadapi segala kemungkinan ketika segerombolan pembunuh mengepung rumahnya hendak menyita kata-kata. Para pembunuh itu sudah bersiap menggeledah rumahnya sejak sore, sementara hujan seakan bersiap menyaksikan kematiannya. Ia sendiri berusaha tetap tenang, mengenakan pakaian serba putih dengan rambut tersisir rapi dan wajah yang bersih, berusaha santai dan damai. Bahkan, ia masih sempat menghabiskan sisa kopi di cangkir ungu sambil sesekali menyiulkan lagu yang tak terlalu merdu. Ketika para pembunuh itu mendobrak pintu, ia berkata, “Saya sudah menyiapkan semua yang akan Saudara rampas dan musnahkan: kata-kata, suara-suara, atau apa saja yang Saudara takuti tetapi sebenarnya tidak saya miliki.”
“Baiklah, perkenankan kami sita dan kami bawa kata-kata yang bahkan telah Anda siapkan dengan rela. Sedapat mungkin kami akan membinasakannya.”
Seperti malam itu, ketika gerombolan itu telah pergi, kini kulihat lagi tubuh itu seakan tertidur di bulu matanya yang seluas padang ilalang. Kantuk meringkuk di pelupuk matanya seperti kucing yang manja. Sementara di meja samping ranjang, tergolek telepon genggam, yang seakan tak bosan menemaninya.
Pelan aku beringsut, tak ingin membangunkan. Seorang perawat masuk. Aku memberi isyarat padanya.
“Ssstt. Tunggu sebentar, jangan diganggu. Ia telah tak lelah-lelah beribadah dengan puisi, biarlah kini ia khusyuk beribadah dengan sakitnya.”
Perawat itu mengangguk. Aku baru hendak keluar bangsal, ketika kulihat penyair itu tersenyum sembari membuka mata.
“Aku pamit dulu. Rasanya sudah terlalu lama anjing itu menunggu di luar.”
“Sampaikan salamku padanya.” Tangannya tak mampu melambai. “Bersama kata-kata, aku sudah menempuh banyak perjalanan. Yang menyenangkan, melelahkan atau membosankan. Satu-satunya jalan yang sampai kini belum mampu aku temukan adalah Jalan Asu. Aku tahu, tak mungkin kita menemukan Jalan Asu, selama masih belum mengerti sangkan paraning dumadi. Jalan sunyi yang sejati.”
***
Aku mengantar anjing itu kembali ke kuburan. Terdengar gema takbir. Tempat paling sunyi di malam Lebaran ialah kuburan. Orang-orang yang ramai takbir keliling tak pernah mau singgah di kuburan. Sepi menekan mendesak. Lurus kaku pepohonan. Segala menanti. Seakan pada nisan-nisan itu tertuliskan betapa nasib ialah kesunyian masing-masing. Juga tak seperti dalam puisi, tak ada bulan di atas kuburan.
Anjing yang sejak tadi hanya meringkuk diam, mendadak mendongakkan kepalanya. Ia merasa ada yang datang. Dan seseorang muncul dari kegelapan. Mendekati anjing itu.
“Kau pasti sedang menunggu penyair tercintamu. Bisakah aku titip sesuatu?” Orang itu menyodorkan bungkusan. “Aku ingin berterima kasih padanya. Dulu, ia telah memberikan celananya padaku, yang ia titipkan pada Maria, ibuku. Berkat celananya, ketika aku bangkit dari kematianku, aku bisa merasa nyaman pergi ke Surga. Tolong, berikan celanaku ini pada penyairmu, bila nanti ia datang ke sini.”
Anjing itu hanya terkesima. Pastilah ia bingung. Hingga ia terus saja bengong, ketika lelaki itu menghilang. Anjing itu melolong panjang. Rupanya ia baru menyadari siapa yang tadi datang, ketika lamat-lamat teringat rambut panjangnya yang berombak, dan ia bisa mengenali bekas luka tusuk pada kedua tangan dan kaki lelaki itu.
Di jalanan barisan kendaraan bersliweran. Mereka pastilah dalam perjalanan mudik. Memandangi bungkusan lelaki itu, anjing itu seolah mengerti. Kuburan ialah sebaik-baik tempat mudik. ***
.
.
Yogyakarta, 2024
Agus Noor, cerpenis ini menetap di Yogyakarta, tetapi lebih banyak bekerja di Jakarta. Tahun 1987, cerpennya “Kecoa” dimuat Kompas pertama kali dan sejak itu cerpen-cerpennya mengalir di Kompas Minggu. Cerpen Agus “Kunang-kunang di Langit Jakarta” bersanding dengan “Salawat Dedaunan” (Yanusa Nugroho) menjadi Cerpen Terbaik Kompas 2012.
Rahardi Handining lahir di Semarang, 27 Februari. Tinggal di Jakarta. 2004-2018 bekerja sebagai desain grafis dan ilustrator di harian Kompas. Aktif berkesenian sampai sekarang. Mendapat beberapa penghargaan, antara lain Selected, The Osten Biennial of Drawing, Macedonia, 2016; Biennale, The 4th Shanghai International Contemporary Art, China, 2019; Special prize Mellow Art Award, Japan, 2020; serta Finalis UOB Painting Of The Year 2021, Kategori profesional.
.
Mudik ke Kuburan. Mudik ke Kuburan. Mudik ke Kuburan. Mudik ke Kuburan. Mudik ke Kuburan. Mudik ke Kuburan.
Ricardo
Cerpen untuk Jokpin yaa. Air mata luruh membacanya.