Cerpen, Kaltim Post, Sahari Nor Wakhid

Gila Status

Gila Status - Cerpen Sahari Nor Wakhid

Gila Status ilustrasi Jumed/Kaltim Post

3.6
(11)

Cerpen Sahari Nor Wakhid (Kaltim Post, 24 Maret 2024)

KALAU saja aku tak memedulikan status, mungkin hidupku akan lebih tenang. Keluargaku akan hidup berkecukupan. Tak banyak mengikuti tren. Tak haus pujian, sanjungan, atau keinginan selalu bisa dielu-elukan. Sayangnya, status itu menjadi penting. Harga yang tak bisa ditawar. Bahkan, aku rela mengorbankan segalanya demi meraihnya. Gila.

Aku ingin dianggap sebagai penolong di mata keluarga. Sebagai anak tertua, aku kerap memberikan apa yang diminta oleh adik-adikku. Tak terkecuali uang. Manja. Ketergantungan. Sedikit-sedikit minta dibantu. Tapi aku senang. Aku ingin dianggap baik. Aku ingin dicap sebagai juru penolong.

“Kak, istriku mau melahirkan. Aku tidak ada uang,” ucap adikku yang pertama memelas pada suatu waktu.

Tanpa kutanya berapa yang dibutuhkan, aku memberikan uang lebih dari cukup untuk biaya hidup dan pengobatan. Adikku bekerja serabutan. Tak tentu kerjanya. Tak tentu waktunya. Mestinya sebagai lelaki sekaligus kepala keluarga, aku menuntutnya lebih bisa diandalkan. Aku tak memprotesnya. Aku menopangnya.

Pada hari yang lain, adikku akan mengunjungi lagi. Sudah bisa kupastikan. Dengan alasan beragam. Anaknya minta dibelikan sepeda. Anaknya ingin minum susu. Panci rusak. Minyak goreng, sabun, beras, habis. Tiang rumah yang perlu renovasi. Bahkan kalau perlu kancing baju atau ritsleting yang rusak pun dipakainya sebagai alasan untuk meminta uang. Anehnya, aku selalu menyetujuinya. Bagaimana lagi? Statusku sebagai saudara tua.

Mendiang suamiku adalah pensiunan pegawai negeri. Sudah beberapa tahun meninggal karena sakit jantung. Rumah yang ditinggalkan cukup layak dihuni bersama kelima anakku yang kebetulan perempuan semua. Aku hidup menjanda. Lengang menghuni rumah yang cukup luas seorang diri. Anak-anakku juga sudah berkeluarga semua. Hidup sudah berkecukupan.

Baca juga  Pohon Matoa Itu Pemberian Bupati

Pada suatu sore, aku sedang duduk berangin-angin di kursi malas depan rumah. Terbayang aku akan menjual rumah karena adikku yang kedua meminta tolong. Sudah beberapa bulan tak berkerja karena terkena PHK. Perusahaan tempatnya bekerja sedang krisis dan mengakibatkan pengurangan karyawan besar-besaran. Istrinya tak bekerja. Hanya sebagai ibu rumah tangga. Ketiga anaknya sudah masuk usia sekolah. Aku sebagai saudaranya, tak bisa tinggal diam. Aku harus menolongnya. Entah benar-benar ingin menolong atau ingin dianggap penolong. Tampaknya alasan kedua lebih mengukuhkan status yang kuingini.

Keputusanku bulat. Aku akan menjual rumah. Aku tak akan meminta persetujuan anak-anakku. Pasti tak ada yang menyetujuinya. Dengan alasan nilai historis, fundamental, spiritual, kasihan, dan berbagai sangkalan yang sengaja dibuat agar dibatalkan. Karena itu, keputusanku saja cukup menjadi aklamasi. Perkara aku nanti tinggal di mana, aku bisa mengontrak rumah nantinya. Mencari yang lebih kecil agar kesepian tak mengoyak kesendirian.

Tanpa berpikir lagi, aku segera mencari pembeli. Tak perlu waktu lama mencarinya. Kesepakatan harga terjalin. Pembayaran dilakukan. Resmi rumah peninggalan mendiang suamiku terjual. Lunas.

Setelah rumah terjual, aku memberikan uang untuk adikku yang kedua. Aku juga banyak menghabiskan untuk memenuhi kesenangan. Beli ini, beli itu. Jalan-jalan ke beberapa tempat yang belum pernah kukunjungi. Semakin lama, uang semakin sedikit. Aku mulai bingung. Aku menemui anakku yang pertama.

Aku mengabarinya terlebih dahulu. Khawatir di rumah nanti tidak ada orang. Suaminya kerja sampai sore. Begitu juga dia. Jadi, sebaiknya aku ke sana malam hari saja.

Saat malam tiba, aku menuju rumahnya. Alih-alih merasa bersalah karena menghabiskan uang, aku malah menawarkan diri untuk tinggal dengannya.

“Ibu tinggal di sini saja, ya?”

“Bukannya dari dulu Ibu sudah kutawari?”

Baca juga  Jack dan Bidadari

“Tapi dulu, kan, masih ada rumah. Sekarang sudah lain ceritanya.”

“Ya, terserah Ibu saja. Daripada harus kontrak, memang sebaiknya di sini saja. Makan di sini. Tinggal di sini. Segala kebutuhan juga tak perlu dipikirkan. Ibu bisa beristirahat dengan tenang sembari menyaksikan tumbuh kembang cucu. Apalagi yang ibu cari? Ibu tinggal minta saja kalau ada yang diinginkan. Kalau ada yang tidak sesuai, ibu juga tinggal bilang saja. Yang penting, Ibu betah tinggal di sini.”

“Baiklah. Ibu akan berusaha senyaman mungkin tinggal di sini. Gimana dengan suamimu? Apa tidak keberatan jika ibu tinggal di sini?”

“Malah dari dulu sudah menyarankan. Katanya kasihan ibu tinggal sendirian. Kalau ada apa-apa, tidak ada yang tahu. Kalau di sini, kan, kami bisa mengawasi.”

“Macam orang sakit saja aku perlu diawasi.”

“Bukan begitu, Bu. Jangan tersinggung dulu. Maksudnya segala kebutuhan ibu bisa kami penuhi kalau tinggal di sini.”

“Ya, sudah kalau begitu. Ibu mau istirahat dulu. Pegal semua badan ini habis jalan jauh.”

Baru beberapa hari tinggal, pantatku serasa gatal. Hasrat untuk pergi jalan semakin menggelora. Menusuk sendi-sendi. Ngilu rasanya berdiam diri. Apakah karena tidak betah atau ingin dianggap banyak uang dengan pelesiran? Pokoknya aku ingin begitu. Tak ada yang bisa mencegahnya. Bahkan jika harus menghadapi Kaisar Nero, aku siap. Tak peduli apa pun menghalangi. Sekali ingin, harus tercapai. Aku berdalih meminta izin mengunjungi anakku lainnya yang berbeda kota. Tentu saja bukan sekadar izin. Tapi lengkap dengan ongkosnya. Anakku tak bisa menolak. Mungkin masih terngiang cerita Malin Kundang yang dulu sering dibacakan mendiang suamiku. Makanya ia tumbuh tanpa banyak protes pada orangtua.

“Nanti antar ibu di toko pusat oleh-oleh, ya!” pintaku sebelum kepergian.

Baca juga  Talak Tiga

“Ya, Bu. Nanti kuantar ke tempat yang lengkap.”

Kami pun pergi berbelanja ke pusat oleh-oleh. Aku memintanya mengantar tidak sekadar mengantar, tapi sekaligus dibelikan. Memanfaatkan kesempatan. Aku bisa borong beberapa makanan. Tentu oleh-oleh ini bukan untuk anakku, tapi untuk tetangga-tetangganya. Aku ingin dianggap sebagai orang yang baik. Gemar berbagi. Status itu yang kuinginkan.

“Kok, banyak sekali oleh-olehnya?” tanya anakku serupa celetukan.

“Ya, selebihnya kan untuk dibagi-bagi ke tetangga. Anggap saja sedang beramal.”

Anakku tak membalas lagi dan mengalihkan pada ajakan.

“Ya, sudah kita pulang saja dulu kalau begitu.”

“Lebih baik ibu langsung saja berangkat dari sini.”

“Memangnya tidak ada yang ketinggalan di rumah?”

“Tidak ada. Hanya beberapa pakaian saja. Barang-barang lainnya sudah ibu bawa sekalian di tas. Nanti, kan, ibu balik juga ke rumahmu. Paling hanya beberapa hari saja di sana.”

“Ya, terserah ibu kalau maunya begitu. Aku pesankan taksi dulu.”

Tak lama kemudian, taksi pun datang. Aku segera bergegas memasukkan barang.

“Nanti kabari, ya, kalau sudah sampai, Bu.”

“Pasti.”

Aku berlalu menuju taksi yang meninggalkan anakku. Aku akan terus begitu dan masih begitu. Karena memang begitulah adabku. Status sosial begitu penting. Dianggap orang itu perlu pengorbanan. Orang menganggap juga perlu pamrih. Tak ada yang gratis. Aku menukar harga diriku demi status. Jangan menganggapku gila. Karena orang gila sudah tak peduli dengan statusnya. Aku masih peduli. ***

.
Gila Status. Gila Status. Gila Status. Gila Status. Gila Status.

Loading

Average rating 3.6 / 5. Vote count: 11

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!