Cerpen, Kompas, Zaenal Radar T

Bengkong Penghabisan

Bengkong Penghabisan - Cerpen Zaenal Radar T

Bengkong Penghabisan ilustrasi Marishka Soekarna/Kompas

2
(3)

Cerpen Zaenal Radar T (Kompas, 05 Mei 2024)

WAK Jeple satu-satunya bengkong atawa tukang sunat tradisional di kampung kami. Tidak ada anak atau cucu yang bisa melanjutkan kariernya sebagai bengkong. Usia Wak Jeple sekarang sekitar delapan puluh tahun. Menurut cerita ayah, Wak Jeple itu macam orang sakti. Dia pernah menyunat tiga puluh anak dalam sehari! Tapi, itu dulu. Belakangan ini, di kampung kami belum pernah lagi terdengar ada anak yang disunat menggunakan jasa bengkong. Warga lebih memilih anak-anak mereka disunat mantri kampung atau dokter.

Saya sendiri lupa kapan persisnya disunat. Kata ayah ketika saya dua tahun. Padahal, di kampung kami rata-rata usia seorang anak lelaki disunat saat tujuh tahun ke atas. Kenapa saya sunat pada umur segitu, masih menurut ayah, karena “burung” saya mengalami kelainan. Hal itu yang mengharuskan saya disunat lebih awal daripada anak lain seumuran. Dan saya tidak ingat ketika seorang dokter datang ke rumah dan menyunat saya.

Berbeda dengan semua kakak laki-laki saya, mereka mengaku disunat oleh Wak Jeple. Bahkan paman dan saudara lelaki saya dari pihak ibu juga hampir semuanya sunat oleh Wak Jeple. Usia mereka waktu disunat rata-rata tujuh tahun lebih. Tentu umur segitu seorang anak telah memiliki ingatan yang cukup. Mereka tidak akan pernah melupakan momen-momen ketika berhadapan dengan Wak Jeple, bengkong yang mengeksekusi “burung” mereka.

Menurut cerita salah satu kakak lelaki saya, pagi-pagi sekali sebelum disunat, dia sudah harus mandi, tepatnya setelah terdengar azan subuh. Mandi pagi sengaja dilakukan, menurut Wak Jeple, agar nantinya tidak sakit saat disunat. Tubuh yang dingin menggigil dipercaya akan menambah daya tahan tubuh dari rasa sakit disunat. Setelah mandi dikenakan baju koko, lalu memakai kain sarung. Menunggu Wak Jeple datang merupakan hal yang sungguh menegangkan, seperti menunggu seorang eksekutor yang akan mengambil ujung kulit yang teramat vital!

Sebelum eksekusi dilakukan, biasanya Wak Jeple mengobrol dulu sebentar dengan keluarga dan anak yang akan disunat, dan ucapan yang keluar dari mulutnya selalu hal-hal yang lucu. Ini dia lakukan karena ingin mengusir ketegangan bagi si anak dan keluarga. “Dibuang ujungnya saja, kok. Dikiiit banget. Kagak bakalan sakit. Lebih sakit digigit semut!” begitu ucap Wak Jeple setiap akan beraksi.

Sebelum sunat dilakukan, ada semacam ritual dan doa-doa yang dirafalkan Wak Jeple. Tidak ada suntik bius atau obat pereda rasa sakit yang diberikan kepada si anak yang akan disunat. Wak Jeple menggunakan penjepit khusus yang terbuat dari besi. Alat potongnya menggunakan olat, terbuat dari kulit bambu yang dibuat pipih dan tipis pada bagian tepiannya, sehingga ketajamannya menyerupai pisau yang baru diasah.

Baca juga  Sepotong Kaki untuk Ayah

Dua orang dewasa biasanya berada di sisi kiri dan kanan, berdiri di dekat bahu si anak. Disiapkan untuk memegangi si anak kalau-kalau dia berontak. Wak Jeple berjongkok, kemudian dia siap menjepit ujung “burung” si anak, setelah itu memotong ujungnya dengan olat.

Kakak saya bilang, sewaktu selesai disunat, dia menangis keras. Di situlah Wak Jeple langsung menghiburnya sambil memberikan obat merah, mengatakan itu semua tidak apa-apa. Nanti juga waras (maksudnya, sembuh). “Kagak usah nangis. Pan jauh ke perut!”

Setelah itu Wak Jeple membersihkan alat sunatnya, dan siap mengikuti sedekah sunatan. Sedekah sunatan ini semacam kendurian yang dipimpin oleh seorang ustaz, dengan diikuti para tetangga sekitar rumah. Seekor bekakak ayam diberikan kepada anak yang sunat, selebihnya dibagikan kepada yang lain. Setelah itu uang sawer pun berdatangan, baik diberikan begitu saja ataupun menggunakan amplop.

Saweran uang itulah yang sebenarnya menjadi iming-iming seorang anak bersedia disunat karena dia bakalan dapat saweran dari sanak famili dan warga sekitar. Untuk menghibur si anak, ada yang mengarak pengantin sunat keliling kampung diiringi ondel-ondel. Dan tidak sedikit keluarga si anak yang sunat menggelar hajatan dengan hiburan layar tancap atau lenong keliling.

Masih menurut cerita kakak, ada beberapa pantangan untuk anak-anak yang telah disunat. Ini diucapkan Wak Jeple sebelum pamit. Pantangan pertama adalah jangan terlalu banyak bergerak, jangan makan yang amis-amis dan pedas, jangan mandi dulu. Boleh berjalan, tapi jangan jauh-jauh. Saat berjalan tidak boleh melangkahi daun kering.

Agar kain sarung tidak mengenai “burung” yang habis disunat, biasanya menggunakan tepes atau potongan sabut kelapa kering yang diikat di pinggang bagian depan si anak. Dengan demikian, saat berjalan, tepes tersebut memberikan perlindungan agar terhindar dari gesekan-gesekan. Tapi, saat ini, ada kain dan alat pelindung khusus yang bisa digunakan oleh pengantin sunat, jadi tidak perlu sibuk mencari sabut kelapa.

***

Dan sebentar lagi keluarga kami akan menggelar sunatan untuk adik kami. Usianya sudah tujuh belas tahun lebih dua bulan. Tapi Syahroni, adik laki-laki bontot kami, belum juga disunat. Alasannya, karena Syahroni takut dokter. Jangankan didekati, melihat dari jauh dia sudah lari terbirit-birit.

Ketakutan Syahroni terhadap dokter bukan tanpa alasan. Saat usianya delapan tahun, ketika mau disunat, dia mendadak sakit. Entah sakit karena stres mau disunat atau karena apa. Syahroni dibawa ke dokter dan disuntik. Syahroni merasakan pantatnya keram selama dua hari dua malam. Sejak saat itu dia menolak untuk dibawa ke dokter ketika sakit. Walaupun dijanjikan tidak akan disuntik, Syahroni kapok ke dokter.

Baca juga  Teriakan Aluna

Malam itu selepas isya, kami berembuk di ruang keluarga, membicarakan rencana sunatan adik kami.

“Kalo sama dokter bae dia takut, pegimana cara nyunatinnya?” tanya Bang Sukron, kakak tertua saya.

Dia yang paling khawatir kalau-kalau Syahroni tidak disunat sepanjang umurnya. Mengingat, siapa pun tahu, muslim laki-laki wajib disunat kalau sudah akil balik. Dan Syahroni seperti yang kami tahu, sudah lewat akil balik.

“Kita bius bae!” seloroh Bang Sukma, kakak kedua saya setelah Bang Sukron.

“Jangan ngaco! Ini serius!” kata ibu saya akhirnya. Kemudian semua orang menatap saya. Saya terdiam. Lalu saya menjentikkan jemari, semua senang. Mereka yakin saya sudah punya pendapat. Tapi kemudian saya menunduk lemah, karena ragu untuk bicara.

“Huuuh, gua kirain luudah punya ide!” Bang Sukron melirik saya dengan wajah gedek banget.

***

Adik saya tidak mungkin disunat oleh dokter. Keesokan harinya saya langsung menemui Wak Jeple. Saya sempat tanya sana sini dan tersesat jalan karena memang tidak pernah lagi ke rumahnya sejak belasan tahun terakhir. Selepas kuliah dan bekerja, saya sudah menetap di luar daerah, mendapat jatah rumah dinas. Paling cepat pulang ke rumah orangtua enam bulan sekali karena selalu berkomunikasi melalui ponsel. Saat pulang, saya pun tidak ke mana-mana, hanya berdiam di rumah.

Kali ini saya pulang khusus untuk acara sunatan adik. Ternyata jalan menuju rumah Wak Jeple sudah banyak perubahan di sana sini, baik bangunan rumah maupun jalan-jalan gang di sekitarnya. Sudah tidak tampak lagi tanah becek karena sudah diaspal. Tanah-tanah kosong sudah berubah jadi kluster-kluster, kompleks perumahan sederhana yang terdiri dari puluhan unit saja. Rumah Wak Jeple terjepit di ujung tembok salah satu kluster.

Wak Jeple tinggal bersama cucu dan cicit-cicitnya. Dia tersenyum saat saya datang dan meminta untuk menyunati adik saya esok lusa. Saya perhatikan wajahnya yang menua, tapi tetap kelihatan segar. Rambut kepala dan kumis serta jenggotnya memutih. Kulit tangannya mengisut, dan jemarinya menjepit rokok. Sudah setua ini, kata cucunya, dia masih sulit dilarang mengisap nikotin.

Setelah bercakap-cakap sebentar dan mengutarakan maksud kedatangan, saya pulang dan mengabarkan kepada keluarga. Lusa pagi Wak Jeple akan datang menyunati adik saya. Berbagai hal dipersiapkan. Ayah saya senang karena akhirnya anak bontotnya akan disunat setelah menunggu lebih dari tujuh belas tahun, dan tentu akan mengakhiri gunjingan beberapa warga karena sudah setua itu adik saya belum disunat.

Baca juga  Bangunan Itu Menelan Ibu dan Bulanku

Hari yang dinanti tiba. Syahroni sudah dipaksa mandi pagi-pagi sekali. Setelah itu dia mengenakan baju koko dan kain sarung. Karena sudah beranjak remaja, sunat akan dilakukan di dalam kamar, tertutup untuk umum dan keluarga perempuan. Hanya saya dan paman yang dibolehkan menemaninya.

Kakak-kakak saya menyerah dan memilih kabur saat ditugasi ayah membantu Wak Jeple. Mereka memilih menyiapkan segala sesuatu untuk acara sedekah dan jamuan buat sanak famili serta para tetangga.

Sampai hari menjelang siang, Wak Jeple yang ditunggu-tunggu belum juga tiba. Saya lupa menanyakan nomor yang bisa dihubungi sehingga terpaksa saya harus ke rumahnya. Dengan menggunakan sepeda motor, saya berangkat menjemput Wak Jeple.

Setiba di gang depan rumahnya, setelah melewati jalan dan gang-gang beraspal dan kluster perumahan, saya dikejutkan oleh warga yang sedang memasang bendera kuning, pertanda ada seseorang meninggal dunia. Saat saya tanyakan, ternyata Wak Jeple baru saja berpulang.

Saya langsung menemui cucu Wak Jeple yang tengah berduka. Sebelum saya berkata-kata, si cucu sudah langsung mengutarakan permintaan maaf karena belum sempat mengabari saya dan keluarga. Wak Jeple meninggal dunia selepas shalat Subuh di kamarnya. Cucu Wak Jeple mengira Wak Jeple sudah bersiap mendatangi pasien terakhirnya yang akan disunat, tapi ternyata tubuhnya sudah kaku.

Saya langsung pulang untuk mengabarkan kepada keluarga. Setelah memarkir motor di samping rumah, keributan sudah terdengar dari luar. Kakak tertua saya sedang marah-marah, mengatakan bahwa adik saya, Syahroni, berteriak-teriak sambil berontak karena mengaku belum siap disunat.

Kakak saya dan keluarga yang lain menatap kedatangan saya dengan raut wajah kecewa. Mereka tidak menanyakan kenapa saya tidak bersama Wak Jeple yang akan menyunati adik saya. Setelah kembali terjadi keributan di dalam rumah, semua malah berlari mengejar adik saya yang kabur melalui pintu belakang sebelum saya berkata-kata. ***

.

.

Tangerang Selatan, 2023

Zaenal Radar T lahir di Tangerang, 7 Desember 1973. Buku kumpulan cerpennya, Harga Kematian (2003), Airmata Laki-laki (2004), dan Si Markum (2017). Selain menulis cerita pendek, dia menulis skenario film dan serial televisi. Menetap di Tangerang Selatan.

Marishka Soekarna adalah ibu dan seniman visual yang mempunyai hobi menggambar dan mengumpulkan piringan hitam. Karya Marishka dapat dikunjungi di situs www.marishkasoekarna.com.

.
Bengkong Penghabisan. Bengkong Penghabisan. Bengkong Penghabisan. Bengkong Penghabisan. Bengkong Penghabisan. Bengkong Penghabisan.

Loading

Average rating 2 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!