Cerpen, I Made Sugianto, Kompas

Ngaben Sederhana

Ngaben Sederhana - Cerpen I Made Sugianto

Ngaben Sederhana ilustrasi I Dewa Made Mustika/Kompas

0
(0)

Cerpen I Made Sugianto (Kompas, 19 Mei 2024)

DI antara kecamuk perasaan kehilangan, sebagai kepala keluarga aku harus cepat mengambil keputusan apakah mayat ayah akan dikubur atau dibakar. Apa pun keputusanku, kami sekeluarga tetap harus minta bantuan tetangga dan warga untuk menuntaskan upacara. Padahal, sore tadi kami baru saja menyelesaikan upacara keagamaan menyusul rampungnya pembangunan palinggih dan balai daja. Mau tak mau, walau berat hati, kami harus minta bantuan warga lagi untuk mempersiapkan segala sesuatunya hingga upacara ayah selesai. Di Bali, menggelar upacara keagamaan maupun keadatan selalu melibatkan massa, merepotkan publik.

Ayah meninggal pada malam hari. Meski malam semakin tua, tetangga tetap berdatangan menyampaikan belasungkawa. Mereka juga membantu mengabarkan kepada sanak familiku. Saat sanak famili berkumpul, rembuk upacara pun dimulai. Meski keputusan mutlak ada di tanganku, sesuai dengan adat kebiasaan kami, rembuk keluarga besar tak bisa dilewatkan. Mereka menantikan jawabanku apakah ayah akan dikubur atau dibakar. Aku belum mampu memberikan jawaban. Angka-angka berseliweran memenuhi kepalaku. Ada juga perasaan tak enak kepada tetangga dan warga karena mereka akan libur dan kehilangan pendapatan. Bagi PNS tentu harus minta izin atau cuti. Sering minta izin tidak ngantor dengan alasan upacara tentu tidak bagus dan berimbas pada penyelesaian pekerjaan di kantor. Karier mereka bisa dibonsai oleh pimpinan, pun bisa kehilangan tambahan penghasilan kinerja. Bagi yang bekerja di swasta, dengan banyak izin bisa-bisa mereka dirumahkan karena dinilai tidak efektif. Apalagi buruh harian yang pasti akan kelimpungan untuk memenuhi kebutuhan dapur. Mereka sudah susah, tambah susah lagi dengan kewajiban setor muka di tempat orang punya upacara atas nama kebersamaan dan adat.

Bisa saja mereka menggerutu karena harus membantu keluargaku menyelesaikan upacara. Bukankah sesuatu yang dikerjakan dengan tidak ikhlas mempengaruhi kualitas upacara? Mendadak tebersit niat untuk mengupacarai ayah di krematorium saja. Satu hari selesai dan tidak wajib melibatkan warga.

“Apa keputusanmu, De?” tanya tetua di keluargaku.

Aku ingin menjawab tegas: mengupacarai ayah di krematorium. Aneh, kalimat itu tak bisa meluncur dari mulutku seakan ada yang mengganjal tenggorokanku. Apakah pertanda ayah tak merestui keputusanku? Sewaktu rawat inap di rumah sakit, ayah berpesan agar tidak diupacarai di krematorium. Baginya, kremasi semacam itu mematikan tradisi gotong royong. Membunuh tradisi berbagi suka dan duka di lingkungan desa adat. Itu hanya solusi bagi warga yang terbuang dari komunitas adat. Orang-orang bermasalah dengan adat memilih upacara di krematorium karena mereka kehilangan hak menggunakan setra atau kuburan adat. Aku harus menepati janjiku kepada ayah. Keinginan mengupacarai ayah di krematorium langsung aku eliminasi.

Baca juga  Pintu Terlarang

Tiba-tiba aku teringat Pak Kades, pejabat di kampungku yang bersahaja. Meski punya jabatan terhormat di desa, beliau mengupacarai almarhum ayahnya dengan ngaben sederhana. Sehari selesai. Irit biaya. Sama seperti upacara dan biaya di krematorium. Elegan karena menggelar upacara di rumah dan menggunakan kuburan adat. Tidak ada kesan dibuang oleh adat. Bukankah menggelar upacara harus dilandasi kemampuan dan tulus ikhlas? Ngaben dengan waktu satu hari selesai adalah solusi agar warga adat tidak berlama-lama meninggalkan pekerjaan.

“Pagi ini kita harus sudah ke geria minta petunjuk hari baik melaksanakan upacara. Sebelum itu, kita harus punya keputusan menggelar upacara penguburan atau ngaben,” tetua membuyarkan lamunanku.

Aku putuskan ngaben. Ternyata jawaban itu bagi tetua masih koma. Menurut tetua, ngaben itu ada tingkatannya, utama, madya, nista. Aku pun didesak memberikan jawaban tetapi aku tak mampu menjawab tegas.

“Seperti ngaben yang dilaksanakan Pak Kades,” kataku.

“Apa?” tetua di keluargaku keheranan.

Tentu aku lebih heran lagi dengan reaksinya. Intonasi bahasanya tidak biasa. Apa salahnya aku meniru Pak Kades yang mengupacarai almarhum ayahnya dengan sederhana? Irit biaya. Pilih upacara sederhana bukan berarti aku tidak ikhlas mengeluarkan uang untuk upacara ayah. Bagiku tidak ada istimewanya menggelar upacara mewah tanpa didasari ketulusan. Toh, upacara sederhana dan mewah tidak menjamin roh yang meninggal mendapatkan surga. Semua tergantung dari karmaphala, buah perbuatan selama hidup. Walau sederhana, upacara ngaben di rumah Pak Kades tetap khidmat, dipimpin pendeta.

“Ya, saya ingin upacara sederhana seperti yang dicontohkan Pak Kades. Memang sederhana, tapi bagi saya tetap istimewa karena dipuput sulinggih, dipimpin pendeta.”

“Tidak mungkin kita bisa meniru itu,” tetua tak kalah tegas berargumen.

Dalam hati aku menentang argumen itu. Sungguh kolot. Daripada mengupacarai almarhum ayah dengan penguburan biasa, aku lebih sreg menggelar ngaben dengan tingkatan terkecil. Sekali lagi bukannya aku pelit. Aku ikhlas. Di kampungku, biaya penguburan biasa hampir sama dengan upacara ngaben sederhana. Selisih harga setipis kulit bawang. Jika sekarang bibit sapi jantan seharga Rp 10 juta, maka menjual tiga bibit sudah cukup untuk menggelar upacara ngaben sederhana. Setara ngaben di krematorium. Jika berpikir jernih, biaya penguburan biasa lebih mahal dibandingkan ngaben sederhana.

“Jangan ngawur, bagaimana bisa penguburan biasa biayanya setara ngaben sederhana?” tanya tetuaku.

Baca juga  Lebaran di Karet, di Karet....

Biaya ngaben yang dilaksanakan Pak Kades kujadikan contoh. Kebetulan aku dan beliau sempat ngobrol ketika sama-sama melayat di rumah warga. Pak Kades menjual tiga ekor bibit sapi jantan untuk biaya upacara. Satu hari upacara sudah selesai dan roh almarhum sudah di-stanakan di palinggih. Pitra Rna atau utang kepada orangtua terbayar lunas. Sementara penguburan biasa hingga upacara pembersihan menghabiskan dana setara dua ekor bibit sapi jantan. Ditambah lagi menjual seekor bibit sapi betina umur 2,5 bulan. Dana yang keluar cukup besar, namun upacara belum selesai. Utang kepada almarhum belum tuntas. Harus menggelar upacara ngaben pula jika sudah siap anggaran. Bisa juga ikut ngaben massal. Artinya keluar biaya lagi. Bisa jadi dana keluar lebih besar dibandingkan menggelar upacara ngaben sederhana yang satu hari selesai.

Keluargaku tampak berpikir keras mendengarkan alasanku. Aku kira mereka sepaham. Sudah banyak contoh warga yang kehilangan sawah ladang, bahkan ada yang pinjam uang di bank untuk menggelar upacara ngaben. Mungkin saja mereka kurang paham sehingga tergiring menggelar upacara dengan tingkatan lebih besar dan terlihat mewah. Melampaui kemampuan keuangan keluarga. Menara mewah, lembu, dan simbol-simbol lainnya sesungguhnya bisa disesuaikan. Diganti dengan yang sederhana tanpa melenyapkan maknanya. Maka, biar kantong tidak terkuras, aku ingin meniru upacara yang digelar Pak Kades, sederhana dan tetap berkelas.

“Tapi ini kesempatan kamu untuk mendatangkan uang, De. Kamu itu pimpinan perusahaan. Semakin lama kita menggelar upacara, maka kolega dan relasi bisnismu akan berdatangan. Tentu mereka akan memberikan amplop!”

Aku tersentak mendengar saran familiku. Benar, memang ada warga yang memanfaatkan kesempatan memilih hari baik menggelar upacara, memilih yang lebih lama. Kesempatan itu bisa juga mereka gunakan untuk menggali dana dengan menggelar judi. Betul berhasil mengumpulkan uang. Tapi banyak pula yang kehilangan uang di meja judi. Aku ingin upacaraku bersih dengan dana yang kumiliki sendiri. Aku juga memikirkan warga lainnya agar tak berlama-lama absen untuk mendukung kegiatan upacara di tempatku.

“Libatkan saja para pekerjamu untuk menyiapkan segala sesuatunya. Minta bantuan warga cukup satu hari saat hari ngaben saja. Semuanya bisa diatur, De,” tetuaku ikut mendesak.

“Almarhum ayahmu pasti bangga diupacarai dengan tingkatan utama. Itu menandakan keluarganya terpandang. Buatlah almarhum ayah dan keluargamu bangga!” paman turut menyemangati.

Aku tetap teguh dengan keyakinan menggelar ngaben sederhana. Sehari selesai dan roh ayah sudah disemayamkan di bangunan suci tempat memuliakan leluhur. Roh ayah segera terbebaskan dari utang-utangnya. Aku dan keluarga juga terbebas dari kewajiban terakhir mengupacarai ayah. Aku tak malu menggelar upacara sederhana walaupun seorang pimpinan perusahaan.

Baca juga  Bambu-Bambu Menghilir

“Jika itu keinginanmu, kami tak bisa memaksa. Pertanyaannya, apakah Siwa, pendeta di wilayah adat kita, mau mengupacarai ngaben tingkatan terendah sesuai keinginanmu?”

Pertanyaan itu kurasakan seperti pukulan telak yang mendarat di dagu. Membuatku tersentak dan gelagapan. Benar kata tetuaku. Siwa kami di Bali berbeda-beda. Literasi mereka mungkin juga tak sama. Walaupun sama, penafsirannya bisa beda. Maka tak heran muncul istilah desa, kala, patra atau tempat, waktu dan keadaan. Beda tempat, beda waktu, tafsir pun bisa beda. Tak heran jika banyak yang terkaget-kaget melihat penerapan upacara di lain desa.

Tafsir Siwa yang berbeda membuatku ragu apakah keinginanku mengupacarai ayah dengan ngaben sederhana akan terwujud. Jika Siwa menolak, tentu aku harus mengikuti petunjuknya. Kami di Bali pantang melawan bhisama atau amanat leluhur agar patuh kepada Siwa atau pendeta sebagai penuntun. Aku belum bisa memantapkan pikiran, namun ayam sudah berkokok menandakan pagi menjelang.

“Sebaiknya cukupkan saja rembuk ini. Ibu siapkan banten tubungan, sesaji untuk dibawa ke geria. Kita minta petunjuk kepada Siwa,” suara ibu mengurai lamunanku.

Aku terdiam. Tetua dan paman-pamanku tak ada yang memberi komentar.

“Jika tidak dapat restu dari Siwa, kita pamit dan cari Siwa yang lain!” pungkas ibu mengejutkan. ***

.

.

Catatan

Palinggih: tempat pemujaan.

Balai daja: bangunan rumah yang posisinya di sebelah utara pekarangan.

Ngaben: upacara pembakaran mayat.

Geria: tempat tinggal pendeta.

Siwa: rohaniwan.

.

.

I Made Sugianto, lahir di Lodalang, Kukuh, Tabanan, Bali, 19 April 1979. Banyak menulis cerpen dan novel dalam bahasa Bali. Menjadi pembicara pada acara Bali Emerging Festival 2012 dan Ubud Writers & Readers Festival. Meraih anugerah Rancage pada 2013 untuk karya sastra berbahasa Bali lewat novel berjudul Sentana. Saat ini sibuk dengan kegiatan sebagai kepala desa di tempat kelahirannya.

I Dewa Made Mustika, lahir di Gianyar Bali, 25 Agustus 1974. Aktif berpameran tunggal maupun bersama sejak tahun 2017. Pamerannya, antara lain, pameran tunggal “Calonarang” Gedung Seni Murni ISI Yogyakarta, 2000, serta pameran bersama “Men With Art” by Talenta Organizer, Plaza Indonesia Jakarta, 2022.

.

.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!