Cerpen Romy Sastra (Haluan, 28 April 2024)
PAK Amin memanggil angin di bawah pohon beringin, ia meniup seruling di sela-sela bibir bernada lirih sambil bersenandung: “Oh, ambai-ambai berjalan gontai, menggali sarang di tanah berpasir, kalau kehendak janjian sudah sampai, usah menyuruk menjulurkan cakar menjepit yang kau incar.”
Angin dingin serta awan berarak mengundang gerimis. Dua ekor sapi yang digembalakan Pak Amin sore itu, lahap memakan rumput-rumput di pematang ladang. Gerimis akhirnya tiba, Pak Amin beranjak ke dalam gubuk yang tak jauh dari air terjun di sebuah kaki bukit. Dari kejauhan di balik terjalnya air meluncur ke batu berlobang, ada pelangi melingkar menyelimuti area telaga kecil air terjun tersebut. Konon batu berlobang tersebut dipercaya oleh orang-orang kampung sebagai pintu alam gaib yang dihuni kerajaan bidadari semenjak alam terkembang, dan telaga kecil air terjun itu juga menyimpan cerita dari orang-orang kampung turun-temurun sebagai tempat pemandian noni-noni Belanda di masa penjajahan sebelum Indonesia merdeka.
Petang menandakan sunyi yang akan segera datang dari perjalanan hari. Irama bunyi-bunyian rimba saling bersahutan, dan bunyian biodata air terjun saling berpantun dengan nada pingpong, ting tong, ting tong, dari sela bebatuan. Tiba-tiba Pak Amin terperangah, matanya terbelalak melihat tujuh bidadari turun dari lingkaran pelangi menjelang senja hari. Pemandangan yang membuat mental Pak Amin hampir ambruk karena menggigil ketakutan. Ia menyaksikan bidadari-bidadari seperti kilat dengan selendang memanjang berwarna warni dikibas angin. Selama dalam tatapan Pak Amin, bidadari-bidadari itu sudah berdiri di atas batu. Segerombolan bidadari berjalan ke telaga kecil dengan riang gembira. Ia mandi bermain embun dan gelombang-gelombang telaga di bawah air terjun tersebut. Sungguh pemandangan yang takjub membuat mata Pak Amin terbelalak menatap pesona. Ya, nyaris pingsan kejadian yang tak pernah dia saksikan selama ini. Pak Amin berbisik dalam hati:
“Apakah ini yang selalu diceritakan oleh tetua-tetua kampung, kalau air terjun ini didatangi bidadari-bidadari kala senja hari di suatu waktu?”
Pak Amin bergumam, lalu merangkak mengendap-endap ke sela bebatuan untuk melihat bidadari-bidadari itu lebih dekat. Pak Amin terlena dalam khayal sesaat, berbisik dalam hati kembali:
“Betapa cantiknya bidadari-bidadari itu untuk dinikahi, mmm….”
Apa yang terjadi setelah suara azan dari masjid di tengah kampung sayup-sayup terdengar dari kejauhan? Selendang dan pakaian tujuh bidadari-bidadari tersebut lenyap entah ke mana, sekaligus tujuh bidadari itu pun menghilang. Pak Amin terpana dari tatapan yang sudah sirna, dan sadar tak ada niat untuk mencuri selendang bidadari yang lagi mandi tadi.
“Aku tak ingin kisah Joko Tarub dengan Nawang Wulan ada di daerahku, aku tak pencuri.” Pak Amin lelaki polos menampar diri.
Seiring waktu berlalu, berlaku kejadian kepada istri Pak Amin yaitu Mak Lela, Mak Lela tengah mengandung, sudah melewati masa sembilan bulan kandungan. Mak Lela melahirkan bayi perempuan yang sangat cantik, wajahnya putih bak purnama, bayi kecil Mak Lela itu diberi nama Shinta. Alkisah, pada suatu malam setelah Shinta disusui Mak Lela, Shinta menghilang di kegelapan malam, Mak Lela panik dan berteriak;
“Oooooi… rang kampuang, tolong, tolong, tolong…!!” teriak Mak Lela.
Teriakan Mak Lela menjadi-jadi, dan dia berlarian keluar rumah. Lantas, suara Mak Lela menggemparkan warga di tengah malam buta, membuat tetangga dan orang-orang kampung bertanya tanya.
“Anakku, Shinta menghilang, tolong, tolong, tolong…!”
Tiba-tiba tangan Mak Lela dipegang oleh salah seorang tetangganya, dan bertanya.
“Ada apa Mak Lela, ada apa?! Teriak-teriak begini malam hari.”
“Itu, anakku Shinta, ada yang menculik barusan, setelah aku susui.”
“Siapa yang menculik Shinta, Mak Lela?” sahut tetangga tersebut dengan tangan gemetar.
“Shii, Shi, Shinta dibawa segerombolan bayangan tujuh putri cantik berambut panjang,” jawab Mak Lela dengan suara tergagap-gagap.
Mak Lela terisak-isak tergagap gagap bercerita kepada sanak saudara dan tetangga yang datang menghampirinya, kebetulan pas malam purnama. Pak Amin, suami Mak Lela pun datang berlarian yang tengah asyik duduk di lapau kopi bersama teman-temannya, setiap malam bersantai setelah seharian sibuk di sawah dan di rimba menyadap karet kebiasaan hidup orang-orang kampung bekerja siang harinya. Suara gaduh di malam itu beredar ke mana-mana, membicarakan perihal bayi yang bernama Shinta hilang di tengah malam buta. Mak Lela akhirnya dibawa ke dalam rumah kembali untuk ditenangkan.
Malam kian larut, para tetamu pulang ke rumah masing-masing. Mak Lela akhirnya tertidur di tilam lusuh di samping suaminya, karena memang sudah lelah memikirkan nasib anaknya si Shinta yang masih bayi itu. Fajar mulai menyingsing, suara tangisan bayi membangunkan Mak Lela dan suaminya di dalam rumah. Ternyata Shinta telah kembali ke rumahnya diantar bidadari-bidadari cantik tersebut, dan bidadari-bidadari cantik itu sekelabat menghilang dari tatapan Mak Lela. Mak Lela terkejut sejadi-jadinya. Melihat tujuh bidadari datang ke rumahnya di dalam igauan mimpi, dan mimpi Mak Lela jadi kenyataan saat itu juga.
Sesaat Mak Lela terjaga dari tidur, kalau Shinta benar-benar sudah berada di samping Mak Lela. Kedua orang tua itu terpana dan haru mendekap Shinta penuh rindu.
Anehnya lagi, setelah kejadian itu terus berlanjut setiap malam purnama sepanjang tahun. Ketika Shinta kenyang selesai disusui ibunya, Shinta menghilang. Apabila Shinta lapar, Shinta diantarin kembali pulang untuk disusui ibunya. Begitulah keadaan Shinta seterusnya sampai dia disapih Mak Lela. Kedua orang tua Shinta mencoba memahami takdir. Seiring berjalannya waktu, pada akhirnya Shinta tumbuh remaja, dan benar-benar menghilang dibawa Peri. Shinta tak lagi bisa dilihat oleh ayahnya, selain hanya bisa dilihat oleh Mak Lela sendiri sebagai Ibu kandungnya, di saat-saat purnama Selasa Kliwon dan malam Jumat Kliwon tiba.
Ada pertanyaan dari banyak orang di sana-sini di dalam kampung. Apakah ada pertalian keluarga Pak Amin dan Mak Lela memiliki darah yang sama dalam suatu perjanjian leluhur, leluhur dari kakek atau nenek buyut mereka? Sejarah itu tak terurai dari sanak famili Mak Lela dan Pak Amin. Sedangkan Pak Amin tak merasa heran, apa yang terjadi kepada anaknya Shinta. Sebab, Pak Amin pernah menyaksikan kejadian di luar nalar akal sehatnya di masa ia gembala sapi petang hari, dan ketika itu Shinta dalam kandungan sembilan bulan. Ada segerombolan tujuh bidadari-bidadari cantik turun petang hari saat saat gerimis datang di dekat air terjun yang tak jauh dari kampungnya di bawah bukit. Apakah Shinta hilang ada kaitan dengan kejadian yang pernah ia lihat? Lalu Shinta menjadi peri di alam gaib? Shinta telah menjadi buah bibir.
Shinta yang sudah menjadi Peri tak lagi bisa dilihat oleh orang lain, selain Ibu kandungnya, apabila malam purnama Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, Peri Shinta berkunjung ke rumah menemui ibunya dengan ditandai bau aroma melati di sekitar rumah di malam hari, ketika tetangga sudah tertidur pulas semuanya. Peri Shinta memakai gaun putih, rambutnya panjang berkepang dua, dan ada bunga melati diselipkan di telinganya. Di mata ibunya Mak Lela, Peri Shinta menjadi remaja sangat cantik dan bersahaja, bola matanya biru. Kehidupan Mak Lela dan Peri Shinta sudah saling akur berada di dua alam yang berbeda dialami antara Ibu dan anak.
Pada suatu masa, Peri Shinta hendak mengajak ibunya ke alam gaib. Peri Shinta memeluk ibunya penuh kerinduan, berdialog selayaknya Ibu dan anak berkasih sayang.
“Mak, mari ikut saya pergi kondangan di malam-malam tertentu pada malam purnama di hari Selasa kliwon dan Jumat kliwon. Sebab alam peri akan mengadakan pesta pada malam-malam purnama tersebut. Mak saya ajak, ya?!” sahut Peri Shinta pada ibunya.
Mak Lela dengan mata terbelalak menatap anaknya penuh keheranan.
“Tidak, tidak Shinta! Mak takut, Nak. Sebab dunia Mak adalah dunia nyata. Sedangkan kamu Nak, berada di alam gaib,” seru Mak Lela.
“Mak, jangan khawatir ya, Mak! Shinta adalah anakmu, Mak. Shinta bertanggung jawab akan keselamatan Mak selama berada di alam gaib,” rayu Shinta.
“Tapi Mak, Shinta berpesan pada Mak, jangan mengambil apa-apa yang Mak lihat, dan jangan sesekali Mak mencicipi hidangan yang kelihatan di alam gaib itu nanti!” sahut Shinta.
“Oh, ya, Nak? Kenapa emangnya di sana? Mak tak boleh memakan hidangan pesta di alam gaibmu itu?” tanya Mak Lela penasaran.
“Itu pantangan, Mak, jika Mak saya ajak pergi kondangan ke alam peri, dan andaikan Mak memakan hidangan di alam peri itu. Mak akan tersesat nanti dan tak bisa kembali ke alam nyata, dan Mak melihat kehidupan peri-peri itu secara wujud, nanti Mak gak kuat menyaksikan wajah-wajah peri itu,” saran Shinta lagi.
“Oo, baiklah Shinta. Mak akan patuhi pesanmu, Nak,” jawab Mak Lela.
Akhirnya tibalah harinya yang telah ditentukan Shinta, Mak Lela bersedia masuk ke alam peri berdua dengan anaknya.
Sekejap Mak Lela terlelap, hilang kesadaran seperti orang kesurupan untuk sekian waktu. Suaminya, Ayah Shinta memaklumi akan keadaan istrinya Mak Lela bergulat di alam gaib terlihat dari gerak-gerik Mak Lela sekaligus berkomat-kamit berdialog sendiri dengan menyebut-nyebut nama Shinta anaknya, dan itu memang dibiarkan oleh ayah Shinta, supaya kedua orang tua itu menyimak perkembangan Shinta berada di dua alam. Pada dasarnya, orang tua mana yang tak bimbang melihat anak yang cantik menghilang dari masih bayi, sekarang sudah menjadi peri. Hanya pasrah pada takdir, kalau suratan hidup anaknya sudah ada dari perjanjian azali. Anak tak lagi hidup di dunia nyata, melainkan bersatu di alam peri.
Mak Lela terjaga dari pejam matanya, setelah berkelana bersama Shinta. Ayah Shinta, Pak Amin serta orang-orang kampung berdatangan dipanggil Pak Amin selama Mak Lela hilang kesadaran, lalu tamu-tamu yang menyaksikan Mak Lela, menanyakan perihal keadaan anaknya si Shinta di alam peri alam gaib tersebut. Apa yang dilihat oleh Mak Lela menghadiri kenduri bersama anaknya, Shinta? Orang-orang di samping Mak Lela penasaran.
Mak Lela bercerita panjang lebar dengan sadar:
“Oya, aku mematuhi pantangan dari Shinta. Bahwa kenyataan alam peri itu sangat halus, dan aku tak bisa melihat wajah-wajah peri di dunia gaib. Aku hanya bisa dituntun anakku si Shinta pada lorong-lorong yang entah. Aku dibawa lagi oleh Shinta menembus lorong-lorong yang entah lagi, dan tiba-tiba aku sudah ada di atas batu yang sangat besar dan datar, di atas batu tersebut bau wewangian bunga-bunga membuat aku terasa dalam istana yang megah, tapi tak ada penghuni di sana. Tapi kata Shinta. Peri-peri di atas batu itu sangat ramai sekali, kenduri peri itu adanya di atas batu. Memang aku tak diizinkan mengambil apalagi memakan setiap benda apa saja yang tampak olehku. Kalau aku mengambil dan memakannya, secara spontan, maka aku jadi pengikut alam peri dan menyaksikan dunia peri itu. Anehnya lagi, aku tak bisa melihat wujud peri-peri yang lain selain aku dan Shinta berdua saja berjalan-jalan di alam gaib itu. Lalu, aku dibawa lagi sama Shinta ke pohon-pohon besar, ada lorong lorong semacam akar-akar pohon yang aku saksikan.
Setiap tempat yang aku singgahi semuanya, bermacam aroma wewangian membuat aku terasa nyaman berlama-lama berada di alam peri tersebut. Ternyata alam peri itu alam khayangan, seperti aku terbang bersama anakku Shinta di atas awan yang putih berjalan bersama angin menguar-nguar, tiba-tiba aku dan Shinta sudah sampai di suatu tempat yang asing, dan ke tempat asing yang lainnya. Ternyata, hidangan kenduri yang aku saksikan hanya tumpukan batu-batu tersusun rapi, serta tunggul-tunggul kayu lapuk di sana sini.
Cerita Mak Lela kepada orang-orang yang mengorek keterangannya yang terjadi sama Mak Lelah dalam perjalanan selama menghilang dengan Peri Shinta. Shinta manusia yang sudah menjadi bagian dari peri khayangan, berhasil meyakinkan ibunya untuk ikut ke dalam dunia alam gaib yang di dalamnya adalah makhluk kasat mata. Dengan senang hati Mak Lela menyanggupi ajakan anaknya si Shinta pergi ke alam gaib menghadiri undangan anaknya.
Seiring waktu berlalu. Ayah kandung Shinta kerap mengetahui perihal antara Ibu dan anaknya berdialog, itu ditandai dari sikap Mak Lela berkomat-kamit sendirian, ketika Mak Lela memejamkan mata pada suatu waktu di malam bulan purnama tiba. Sayangnya Pak Amin yang tidak mendapat tuah akan rasa gaib yang berlaku seperti istrinya untuk memasuki alam gaib tersebut, cukup menyimak saja perkembangan istrinya menunggu kembali sadar dari duduk diam dan di saat berbaring yang ia perhatikan di tengah malam purnama. Di sisi lain, orang-orang kampung semakin memperbincangkan kehidupan Mak Lela dengan penuh misteri, dikata gila tak juga. Mak Lela tetap berinteraksi, berbaur sehari-hari dengan masyarakat pada umumnya. Hanya saja pada suatu waktu, Mak Lela selalu mengalami hal yang sama dengan Shinta. Kehidupan terus berlanjut, kisah Mak Lela dan anaknya Shinta menjadi buah bibir. Bagaimana dua alam, antara alam nyata dan alam peri bisa berinteraksi?
Hingga pada suatu hari, hujan turun begitu derasnya dari senja langit terasa runtuh, barulah kedua orang tua Peri Shinta tertidur pulas. Pada malam itu, malam Jumat Kliwon. Mak Lela kembali didatangi Peri Shinta antara sadar dan tidak yang dialami oleh perasaan Mak Lela. Peri Shinta kembali mengajak emaknya ke alam khayangan untuk menghadiri undangan kenduri alam peri.
“Mak, bangun, Mak! Ada undangan pada malam ini kita menghadiri kenduri salah satu peri dari tujuh bidadari khayangan akan melangsungkan pernikahan mewah,” seru Peri.
“Oya, anakku Shinta. Apa harus saat ini juga kita ke sana?” tanya Mak Lela.
“Iya Mak, saat ini juga kita ke sana.” ajak Peri Shinta.
“Baiklah anakku, tunggu! Mak pejamkan mata dulu.”
Ruh semesta alit Mak Lela serta Peri Shinta sudah memasuki pintu alam gaib, dan mereka berdua sudah tiba di gapura kenduri mewah alam peri. Mak Lela tiba-tiba tak sengaja memetik salah satu bunga melati dan diselipkan ke daun telinganya. Lalu, Mak Lela pun tanpa sadar tergoda dengan kilau batu permata di sepanjang jalan, Mak Lela kali ini lupa akan pantangan. Padahal batu permata itu hiasan kenduri alam peri.
Tibalah Peri Shinta dan Mak Lela di hadapan pengantin kenduri mewah dunia gaib. Keanehan itu terjadi, semua para peri menyambut Mak Lela secara nyata bersalaman menandakan pendatang baru di dunia khayangan, dan disaksikan oleh Shinta. Salah satu peri mendatangi Mak Lela, lalu mengalungkan seikat bunga ke leher Mak Lela.
Fajar menyingsing waktu malam akan berganti pagi. Tak berapa lama, kenduri itu usai. Tibalah saatnya Mak Lela diantar Shinta kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, ruh Mak Lela menyatu pada raganya di pembaringan. Keanehan kembali terjadi sama Mak Lela, Mak Lela justru menghilang di kala waktu Subuh diiringi bunyi kok ayam jantan di sana sini terdengar dari kejauhan.
Pagi yang murung, mendung masih menggantung dari sisa hujan semalam. Pak Amin terjaga dari lelapnya. Bau aroma melati segar bercampur aroma kemboja tercium di pagi itu sama Pak Amin. Pak Amin tak menemukan istrinya di tempat tidur, dia cari ke dapur dan ke sana sini di sekeliling rumah beratap rumbia tak jua bersua. Hingga pagi gempar ke seantero kampung, kalau Mak Lela tak ada di rumah. Persepi muncul di sana sini, buah bibir makin liar berasumsi.
Hari berlalu minggu berganti bulan dan tahun, Pak Amin dirundung rindu kepada anak semata wayang dan istri tak kunjung datang. Putih mata menatap daun pintu dan jendela, berharap bayangan dua orang tersayang hadir menyapa, dan ternyata sia-sia. Pak Amin pasrah di beranda rumah sambil berbisik di dalam hati:
“Oh anakku Shinta dan istriku Lela, di mana kalian berada?”
Pak Amin menatap lirih ke pekarangan kebun tetangga, di sana ada bunga melati dan pohon kemboja sedang berguguran di pagi hari. Pak Amin kini hidup seorang diri. ***
.
.
Romy Sastra lelaki berdarah Minang lahir di nagari Kubang, Bayang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Berdomisili di Kedoya Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
.
.
Leave a Reply