Cerpen Dody Wardy Manalu (Solopos, 11 Mei 2024)
DI bawah pohon jambu air, kamu duduk sembari menyesap secangkir kopi. Di meja tergeletak beberapa bungkus roti selai kacang. Kamu ambil satu bungkus, membukanya lalu mencelupkan ke dalam cangkir kopi. Kamu sangat suka menikmati roti selai kacang bercampur aroma kafein.
Kebiasaan minum kopi sudah kamu lakukan sejak delapan tahun silam. Sejak kamu menikahi Alandra, wanita cantik pilihan ibumu. Menikahi Alandra itu pun karena kamu tidak tega melihat ibumu menangis setiap kali menolak permintaannya.
“Kalau tidak menyukai Alandra, bisakah kamu membawa wanita pilihanmu ke hadapan ibu?” tanya ibumu suatu pagi ketika kalian menikmati sarapan di awal bulan Juli.
Gerimis merembes pada kaca jendela bagai gumpalan es menikam uluh hatimu. Kamu tersendak. Daging ayam di mulutmu hampir keluar.
“Aku akan memperkenalkan kekasihku pada ibu. Tapi tidak sekarang.”
“Kapan? Tunggu ibu mati dulu?”
Kamu pandangi wajah tua ibumu. Kantung matanya dipenuhi kerutan. Kulit di bawah dagunya menggelambir. Mata tuanya dipenuhi air mata. Kamu mengalihkan pembicaraan dan buru-buru berangkat ke kantor.
“Aku setuju menikah dengan Alandra,” ucapmu ketika ibumu kembali memintamu menikah. Saat itu, ibumu terbaring di rumah sakit. Dia terjatuh di kamar mandi ketika kamu sedang di luar rumah.
Delapan tahun menikah ternyata belum bisa mengubah hatimu. Cinta di rumah tanggamu terjadi satu arah. Hanya Alandra yang mencintaimu. Kamu selalu berpura-pura mencintainya, mengecup keningnya setiap pagi, meluangkan waktu berlibur di akhir pekan, membelikan beberapa potong pakaian, dan perhiasan mahal. Semua kamuflase menyembunyikan isi hatimu yang sebenarnya.
Kamu merasa bersalah pada Alandra, terlebih pada anak laki-lakimu yang kini masuk sekolah dasar. Kamu bagai orang lain di antara mereka.
Julia. Kamu selalu memanggil dirinya dengan nama itu. Dia kekasihmu yang tak pernah kamu kenalkan pada ibumu. Bersama Julia, kamu seperti burung pipit. Melompat ke cabang pohon dan tak pernah berhenti bercericit. Masihkah Julia menyukai aroma kopi?
Dulu, kamu selalu menemani Julia minum kopi di kafe depan apartemennya. Hanya menemani. Kamu tidak suka minuman hitam itu. Kamu lebih suka melihat ekspresi Julia ketika menyesap kopi hingga tandas.
Julia pernah membujukmu untuk mencoba satu teguk. Kamu malah muntah-muntah. Dia tertawa melihat wajahmu memerah sembari menepuk-nepuk punggungmu.
Julia tidak egois. Dia selalu menyiapkan roti selai kacang kesukaanmu di dalam tas. Ketika dia asyik dengan aroma kopi, kamu menikmati roti selai kacang pemberiannya. Kadar kegilaan kalian untuk kopi dan roti selai kacang sama.
Sebelum minum, Julia mendekatkan hidung pada asap kopi yang meliuk. Menghirup aroma dengan mata terpejam.
Sebaliknya, kamu akan berubah bagai orang kelaparan bila berhadapan dengan roti selai kacang. Selalu ada ruang dalam perutmu untuk menampung makanan satu itu. Julia selalu membatasi jumlah roti yang akan kamu makan.
“Aku tidak mau perutmu buncit,” bisik Julia setiap kali kamu minta tambah.
“Itu alasan tepat menyembunyikan sifat kikirmu.”
Julia tertawa setiap kali kamu menyebutnya si kikir. Dia selalu hitung-hitungan ketika membeli sesuatu kecuali untuk kopi. Berapapun harga secangkir kopi akan dibeli untuk memuaskan lidah dan hatinya.
Salah satu bukti kikirnya, dia tak pernah membeli pakaian bermerek. Pakaian akan terlihat mahal bila kita pintar memadu-padankan dan merasa nyaman memakainya. Itu alasan Julia.
“Aku tidak kikir. Namun hemat. Aku menabung untuk biaya pernikahan kita kelak.” ucap Julia di lain waktu ketika kalian hunting coffee shop di Minggu sore.
Julia punya impian yang menurutmu terlalu tinggi dan nekat. Dia ingin kalian menikah di Belanda dan hanya dihadiri anggota keluarga. Julia mengajakmu melarikan diri andai pihak keluarga tidak setuju.
Kawin lari ke Belanda. Selain gila kopi, Julia memang tergila-gila pada Negeri Tulip itu. Kalian akan membuka coffee shop di sana. Kamu tidak setuju dengan ide gilanya. Kamu anak semata wayang. Bagaimana mungkin meninggalkan ibumu seorang diri dalam keadaan sakit-sakitan.
“Aku takut bila ibuku tidak menyukaimu.”
“Aku sudah menduga itu. Aku tidak pintar masak dan tidak suka pakai rok,” ucap Julia dengan mimik yang dibuat lucu.
“Bagaimana kalau kita tidak berjodoh?”
Tawa Julia langsung hilang. Mungkin berpikir kalau kamu lelaki pengecut yang tidak bisa mengambil keputusan.
“Takut kawin lari?”
Kamu menggeleng sembari memalingkan wajah. Tidak ingin Julia tahu isi hatimu. Dia tak pernah salah membaca pikiran lewat tatapan mata.
“Kita tidak bisa memastikan apa yang terjadi pada masa depan. Bisa tidak sesuai dengan apa yang kita rencanakan,” tambahmu sembari menggeser cangkir kopi lebih dekat ke hadapan Julia. Wajahnya sedikit lebih tenang setelah minum.
“Aku akan mengenangmu meski kita tidak berjodoh.”
“Dengan cara apa.”
“Dengan memaksa diri makan roti selai kacang kesukaanmu.”
“Aku juga akan minum kopi meski muntah-muntah.”
Berselang beberapa menit, ponselmu berdering. Panggilan dari tetangga yang bilang ibumu jatuh di kamar mandi. Itu hari terakhir bertemu Julia.
Setelah menikah, ibumu menyewakan rumah dan tinggal bersamamu di kota kelahiran Alandra. Sibolga. Sejak menikah, kamu mulai memaksa diri menikmati secangkir kopi. Awalnya sangat berat meneguk minuman yang aromanya asing di hidungmu.
Aroma kafein membuatmu ingin pingsan. Namun, seiring waktu kamu mulai terbiasa dengan aromanya. Bahkan kini kamu sudah menjadi seorang candu. Menyesap kopi bagai mencumbui bibir Julia. Cangkir kopi menjadi media mengundang kembali ribuan kenangan bersamanya.
“Kita akan punya tetangga baru. Rumah di seberang jalan itu ada yang membeli.”
Seketika lamunanmu buyar. Alandra menarikmu kembali ke dunia nyata. Dia berdiri di sampingmu. Di tangannya sepiring kudapan baru selesai dimasak.
“Istrinya teman sekantorku.”
Alandra belum berhenti berbicara. Mulutmu terbuka ketika dia menyodorkan sepotong kue.
***
Ruang dapur dipenuhi berbagai aroma. Asap mengepul dari wajan tengah didudukkan di kompor. Alandra memasak opor ayam. Oven mengeluarkan bunyi bagai suara kereta api bertanda kue sudah matang. Alandra melototimu yang tengah duduk di kursi makan. Dia menyuruhmu mengeluarkan kue dari dalam oven.
Kalian (sebenarnya hanya Alandra) mengundang keluarga yang menempati rumah seberang jalan untuk makan malam. Bel rumah berbunyi. Itu pasti mereka. Alandra berlari ke arah pintu, menyambut sahabatnya yang menjadi tetangga kalian.
Begitu pintu terbuka, sepasang suami-isteri tersenyum menyambut uluran tangan Alandra. Alangkah terkejutnya kamu ketika memperhatikan wajah mereka. Kamu mengenal salah seorang dari mereka.
***
Gerimis baru saja reda. Kamu dan Julia duduk berdampingan di kursi kayu di bawah pohon jambu air. Kamu pura-pura sibuk dengan secangkir kopi di tanganmu. Julia memutar-mutar jam melingkar di lengan kirinya.
Pasangan kalian berada sepuluh meter dari tempat kalian duduk. Mereka sedang membahas cara menanam berbagai bunga. Ada bunga anthurium, euphorbia, puring dan philodendron. Mereka sama-sama suka merawat tanaman.
“Jadi ini alasannya mengapa meninggalkan aku delapan tahun silam?”
Akhirnya Julia memecah kebisuan. Kamu menoleh. Mata kalian saling tatap. Bola mata Julia masih seindah dulu, melebihi indahnya bintang senja.
“Maaf, aku tidak punya keberanian memberi tahu semua ini.”
“Kamu sendiri yang bilang, kejadian di masa depan bisa tidak sesuai dengan yang kita rencanakan. Apa sulitnya berterus terang.”
Tatapan Julia memancarkan kemarahan. Air mata mengalir di pipinya. Ingin sekali kamu menghapus air mata itu.
“Maafkan aku.”
Lagi-lagi hanya mampu mengucapkan kata maaf.
“Sejak kapan kamu suka minum kopi.”
Julia menggeser tubuhnya lebih rapat. Kamu takut apabila pasangan kalian melihat apa yang sedang kalian lakukan. Pancaran kemarahan di mata Julia berangsur hilang.
“Aku menggilai kopi sejak kita berpisah. Minum secangkir kopi menjadi media menghadirkan kamu di sisiku.”
“Masih mencintaiku?”
Kembali kamu menatap wajahnya, mencoba membangun keberanian untuk jujur.
“Aku masih mencintaimu, Julia!” ucapmu sembari menggapai tangannya secara sembunyi. Bibir Julia tersenyum. Kamu juga tidak kalah bahagia.
“Aku bagai orang kelaparan setiap kali makan roti selai kacang,” bisik Julia. Dia mengeluarkan sebungkus roti selai kacang dari kantong celana. “Jangan lagi memanggilku Julia. Panggil aku sesuai nama baptisku, Julianto Sasono,” lanjutnya.
Daun jambu air berguguran menimpa kepala kalian. Kamu dan Julianto masih saling mencintai. Mencintai dengan cara kalian sendiri.
Hari itu, kalian memutuskan melupakan semua, kecuali aroma kopi dan roti selai kacang. Biarlah cinta itu kalian luapkan kepada keluarga masing-masing. Rahasia masa lalu tersimpan rapat di balik pernikahan kalian. ***
.
.
Dody Wardy Manalu. Lahir di kota Barus, Tapanuli Tengah, Sumatra Utara. Menghabiskan masa remaja di Kota Sibolga, menjadi salah satu siswa di SMA Katolik di kota itu. Awal tahun 2015 mulai serius menulis. Beberapa karya fiksinya pernah dimuat di beberapa media.
.
Aroma Kopi. Aroma Kopi. Aroma Kopi.
spacekantor
Sudah dua kali saya berkesempatan membaca cerpen dengan nuansa LGBT, tetapi tidak pernah saya berhasil menerka keduanya bercerita tentang LGBT kecuali sampai di penghujung. Penceritaan yang keren.
Anonymous
yaelah ternyata boti
sheesh
wowkwkw