Cerpen Aris Kurniawan (Solopos, 18 Mei 2024)
ORANG bilang kita harus punya cita-cita, semustahil apa pun itu. Tanpa cita-cita kita akan kehilangan arah dan tujuan hidup. Kasmin sepakat.
Sejak kecil Kasmin punya cita-cita. Namun, berbeda dengan teman-teman sebayanya yang memiliki cita-cita menjadi dokter, pilot, tentara, bahkan menteri dan presiden, cita-cita Kasmin sederhana dan beda sendiri. Ia ingin menjadi kusir delman. Ketika Kasmin menyebutkan cita-citanya itu, teman-temannya menertawakan.
“Kenapa bercita-cita jadi kusir delman, Kasmin?” gurunya bertanya.
Kasmin punya jawaban untuk pertanyaan itu, namun tak mampu mengungkapkannya. Cita-cita itu ia pegang teguh sampai duduk di bangku SMP.
Kasmin membayangkan pekerjaan itu sangat mudah dan menyenangkan. Hanya duduk memegang tali kekang dan cambuk kecil di belakang kuda penarik delman. Tiap hari mengantar-jemput ibu-ibu ke pasar, anak-anak ke sekolah, menyusuri jalan kecamatan melihat persawahan di kanan-kiri, sungai, melintasi rel kereta.
“Ibu, cita-citaku ingin jadi kusir delman. Apakah itu lucu?”
Ibunya yang kerap mengajak Kasmin ke pasar hanya tersenyum. Itu jawaban yang cukup bagi Kasmin.
Mereka ke pasar berbelanja ikan dan bahan-bahan lainnya untuk dijadikan lauk dan dijual di warung kecil di depan rumah. Ada beberapa jenis kendaraan umum untuk mengantar orang ke pasar. Becak, angkot, dan ojek. Tapi, ibunya hampir selalu memilih delman untuk pergi ke pasar.
Setiap Kasmin diajak naik delman, dia selalu memilih duduk di depan, di samping pak kusir, melihatnya bekerja mengendali kuda supaya baik jalannya seperti dalam sebuah lagu anak-anak yang ceria.
“Kuat sekali kudanya, Paman. Apakah dia tak pernah capai?” tanyanya kepada Pak Kusir.
“Capai juga, tapi tidak seperti kita. Tugasnya memang lari dan lari, membantu pekerjaan manusia,” kata Pak Kusir.
Di desanya beberapa warga memiliki hewan piaraan, seperti kambing, sapi, dan kerbau. Tapi, tak ada yang memelihara kuda.
“Kudanya bagus. Beli di mana kuda ini, Paman?”
“Beli dari teman paman, dia tinggal jauh di balik gunung,” ucapnya.
“Di sana banyak orang menjual kuda?”
“Ya, banyak. Apakah kamu ingin membeli kuda?”
“Ya, nanti kalau aku sudah besar dan menjadi seperti paman.”
Pak Kusir tersenyum mendengarnya. “Cita-citamu tinggi sekali, Nak.”
Kasmin begitu terpesona dengan kuda. Dia ingin mengembara naik kuda seperti para pendekar di film-film yang dia tonton di layar tancap atau yang dia bayangkan saat mendengar sandiwara radio.
Rasanya menyenangkan berkuda menapaki lembah, membelah hutan dan semak belukar, menyusuri desa-desa di lereng perbukitan. Khayalannya dipenuhi kuda yang melesat bagai terbang dan dia duduk di pelana dengan pedang terselempang di punggung. Menerjang para begal, menolong penduduk desa yang lemah, minum tuak dan tidur di penginapan yang seluruh bangunannya terbuat dari kayu.
Suatu hari Pak Kusir berkunjung ke rumahnya. Kepada ibu dan bapaknya, orang tua itu bicara soal kuda. Ia menawarkan kuda dan delmannya. Ia ingin pensiun dari pekerjaan sebagai tukang delman. Anaknya yang tinggal di kota memintanya tinggal bersama mereka.
Mendengar percakapan itu, dari balik kamar Kasmin langsung keluar, memandang Pak Kusir, bapak, dan ibunya bergantian. Kasmin ingin mengatakan sesuatu, namun tertahan.
“Kau masih ingin jadi tukang delman, Nak?” kata Pak Kusir.
Kasmin mengangguk dalam-dalam. Lalu merengek agar membeli kuda dan delman Pak Kusir.
“Tapi kau masih sekolah, Nak” kata ibunya.
“Aku bisa merawat kuda dan delman sepulang sekolah,” katanya.
“Tidak mudah, Nak,” kata ayahnya.
“Aku bisa mempelajarinya, Bapak,” ujarnya cepat.
“Baiklah. Kau harus janji membantu bapak merawat kuda dan delman,” kata bapaknya.
Akhirnya transaksi terjadi. Mereka membeli dengan mengangsur pembayaran beberapa kali.
Setiap bulan Pak Kusir datang menagih angsuran sekaligus mengajari mereka membuat ramuan untuk kuda agar bernafsu makan dan tetap sehat. Kasmin gembira sekali ketika esoknya Pak Kusir membawa kuda dan delman ke rumahnya. Bapak membuat istal dan bagasi delman di samping rumah.
Saban hari sepulang sekolah Kasmin mencari rumput di sawah dan sepanjang sungai sisi depan rumahnya untuk pakan kuda. Membersihkan delman dan kandang kuda. Jika sekolah libur atau sore hari, Kasmin menyertai bapak mengantar penumpang dengan bahagia.
“Bapak, bolehkah aku naik dengan pelana di punggung kuda?”
“Tidak boleh, Nak. Itu berbahaya. Nanti kamu jatuh.”
Tetapi, diam-diam tanpa sepengetahuan bapak dan ibunya, Kasmin naik ke punggung kuda saat hewan kuda ditambatkan di kandang, membayangkan kuda berlari kencang di setapak lereng perbukitan dengan surai berkibaran.
Saban ada kesempatan di sore hari Kasmin akan melakukan itu. Di suatu kesempatan Kasmin terjatuh dari punggung kuda dan hampir disepak kaki kuda yang membuatnya harus dibawa ke puskesmas. Namun, itu semua tak membuatnya kapok. Kasmin merasakan kebahagiaan saat berada di punggung kuda.
Namun, kebahagiaan itu tidak lama karena enam bulan berselang kudanya sakit dan tak tertolong. Kuda itu tak mau memakan ramuan yang diberikan bapak. Sementara Pak Kusir tak pernah datang lagi.
Berbulan-bulan kemudian Kasmin mendapat kabar Pak Kusir meninggal. Ternyata waktu meninggalnya Pak Kusir berbarengan tanggal dan jamnya dengan matinya kuda kesayangan. Kasmin sedih sekali mendapati kenyataan ini. Kesedihan yang membuat Kasmin tak mau makan dan ke sekolah selama sepekan. Saban malam bapak-ibunya mendapat Kasmin mengigau menyebut-nyebut kuda.
***
Menjelang masuk SMA cita-cita Kasmin bergeser. Kasmin ingin menjadi penyair. Seorang kakak kelas di sekolah yang membuat dia memiliki cita-cita tak lazim itu.
Rasanya hebat sekali menjadi penyair, bisa merangkai kata-kata indah yang membuat orang terkagum-kagum. Kasmin sangat mengidolakan kakak kelasnya yang pintar merangkai kata-kata menakjubkan meski tidak mudah Kasmin pahami.
Di desanya, bahkan di kecamatan itu mungkin hanya Kasmin dan kakak kelasnya yang punya cita-cita ganjil tersebut. Keganjilan yang membuat mereka berteman dekat. Mereka bersepeda menyusuri sungai, duduk di batu besar melantangkan syair-syair. Bahkan melakukan perjalanan jauh naik gerbong kereta barang, bercampur dengan para gembel, ke Surabaya.
Mereka menulis puisi dan mengirimkan puisi-puisi itu ke radio yang menyiarkan acara pembacaan puisi. Saat puisinya lolos untuk dibacakan di radio, Kasmin senang bukan kepalang. Dengan kepercayaan diri yang mulai tumbuh mereka mengunjungi penyair senior di kota kabupaten, bergabung dengan komunitas seniman.
Atas saran para senior mereka mulai mengirim puisi ke koran dan majalah. Kasmin membeli buku-buku puisi dengan uang yang ia dapatkan dari upah membantu ibunya di warung.
Sesekali puisinya dimuat di koran daerah dan mendapatkan honor. Mimpi dan pergaulannya dengan para penyair menumbuhkan kepercayaan dirinya yang selama ini tiarap lantaran tubuhnya yang kerempeng dan sering jadi bahan olok-olok. Itu adalah peristiwa-peristiwa paling mengesankan dan meninggalkan bekas sulit hilang di sepanjang hidupnya.
Hari terus berganti, demikian pula bulan dan tahun. Hingga tibalah kelulusan kakak kelasnya. Kasmin sedih sekali saat kakak kelasnya lulus sekolah dan pergi ke Jakarta untuk mencari kerja.
Sejak itu, mereka bertukar kabar lewat surat. Kasmin setelah lulus SMA setahun berikutnya dikirim orangtuanya ke pondok pesantren di Jawa Timur. Sesuatu yang sangat dibencinya. Tapi, Kasmin tak bisa menolak. Dengan terpaksa dia menjalani hidup di pesantren. Sebuah dunia yang asing.
Kasmin berangkat ke pondok pesantren itu berdua saja dengan sepupunya yang telah lebih dulu menjadi santri di pondok itu. Tetapi tiba di pondok sepupunya segera memisahkan diri setelah menitipkan Kasmin kepada ustaz pimpinan pondok.
“Kenapa kamu ingin mondok, Nak?” tanya ustaz pimpinan pondok.
“Saya tidak ingin mondok,” sahut Kasmin.
“Kalau begitu untuk apa kamu berada di sini?”
“Orang tua yang mengirim saya ke sini.”
Pak Ustaz memandangnya lalu masuk ke ruangannya. Tak lama kemudian keluar dengan membawa surat yang sudah dimasukkan amplop. “Pulanglah besok, Nak. Berikan surat ini pada orang tuamu,” ujar Pak Ustaz dengan suara lembut.
Kasmin membuka surat itu dan kebingungan langsung menyergapnya. Kalau Kasmin kembali, orang tuanya pasti marah dan kecewa. Semalaman di biliknya Kasmin tak bisa tidur memikirkan pulang atau bertahan. Menjelang Subuh barulah Kasmin terlelap sebentar. Namun, seseorang mengguyur wajahnya dengan air dingin. Setelah Sembahyang Subuh Kasmin punya keputusan.
***
Kasmin memasuki dunia asing pesantren dengan perasaan tertekan. Karena Pak Ustaz tidak memperkenankan Kasmin membaca buku dan majalah. “Di sini kamu belajar mengaji, bukan pelajaran yang lain,” kata Pak Ustaz saat Kasmin menerima paket buku dan majalah dari kawannya.
“Nanti kamu akan terbiasa,” kata kakak sepupunya. Aku tidak akan jadi terbiasa di sini, pikirnya. Semoga aku bisa terbiasa dan bisa melewati semua ini, begitu kata hatinya.
Sebelum Subuh Kasmin dibangunkan bel yang sangat mengganggu. Kasmin masih mengantuk, ingin tidur lebih lama. Tetapi, itu tidak mungkin kecuali ingin disiram seember air dari bak yang dingin.
Kasmin memaksakan diri bangun, berjalan terhuyung-huyung menjangkau handuk dan peralatan mandi lalu berjalan menuju bak mandi panjang yang digunakan para santri secara beramai-ramai. Kasmin mengantre menunggu giliran agak sepi. Dia merasa tidak nyaman mandi telanjang beramai-ramai. Malu sekali mendapati tubuh sendiri telanjang di antara para santri yang juga telanjang.
Seusai Sembahyang Subuh berjemaah Kasmin mengaji kitab jurmiah hingga pukul tujuh pagi dilanjut kitab berikutnya hingga pukul sembilan. Pada pukul sepuluh dia harus bersiap ke kebun tembakau.
Ustaz pimpinan pondok ini adalah kawan ayahnya. Mereka dulu belajar di pondok yang sama. Setelah lulus ayahnya pulang ke desa, sementara temannya tak pernah pulang. Ia kepincut seorang santriwati lokal. Mereka menikah dan meneruskan mengelola pesantren yang dirintis mertuanya.
“Belajar sungguh-sungguh, Nak,” pesan ayahnya. “Kami tak akan banyak memberi bekal. Ayah titipkan kamu ke Pak Ustaz, belajar sambil membantu pekerjaannya.”
Pagi itu Pak Ustaz memanggilnya dan memperkenalkan Kasmin kepada tiga santri seniornya dan menjelaskan tugasnya selain mengaji. “Ikut para seniormu ini. Mereka yang akan mengajarimu bekerja di kebun,” katanya, kemudian berlalu.
Begitulah, setiap hari seusai Sembahyang Subuh berjemaah dan mengaji, Kasmin bersama tiga santri seniornya pergi ke kebun tembakau Pak Ustaz yang sangat luas. Menyemai, menanam, menyiram, memberi pupuk urea, panen, dan merajang sebelum nanti Pak Ustaz menjualnya ke tengkulak.
Pekerjaan rutin di kebun tembakau mempertemukan Kasmin dengan seorang gadis anak petani yang berumah di sisi kebun tembakau. Gadis itu acap memberinya es teh yang menyegarkan di tengah kehausan saat hari terik.
Lama-lama mereka akrab, ngobrol, dan akhirnya saling jatuh cinta. Mereka berdua pergi ke pasar naik delman yang membuat Kasmin teringat pada kuda dan delmannya dulu. Mereka makan di kedai.
Kasmin menulis puisi untuk gadisnya yang bernama Halimah itu. Kepada santri-santri seniornya Kasmin bilang dia bercita-cita menikahi Halimah.
Namun, ada yang marah atas hubungan mereka. Ia adalah Rusman.
Suatu petang ia mengadang Kasmin di pematang sawah dan mengancam akan mencelakakannya bila tidak menjauhi Halimah. Ancaman itu mengusik kelelakiannya. Kasmin merasa tersinggung. Diabaikannya peringatan itu.
“Kamu tak berhak mengatur hidup orang,” ucapnya.
“Kamu akan menyesal,” tukas laki-laki bertampang kalem dan bersorot mata tajam itu.
“Aku tidak pernah menyesal.”
Setelah ancaman itu Kasmin kesulitan bertemu dengan si gadis. Ketika menyambangi rumahnya, orang tua gadis itu memintanya tidak datang lagi. “Kami tahu kalian saling mencintai. Tapi, demi kebaikan kita semua, Nak, kalian jangan pernah bertemu lagi. Bahaya,” kata orang tuanya.
Tetapi, Kasmin tak ingin cita-citanya kembali kandas. Pagi-pagi dia mendatangi rumah gadisnya saat orang tuanya sedang sibuk di kebun tembakau lalu mengajak jalan ke pasar, makan bakso dan minum es cendol.
Minggu berikutnya Kasmin benar-benar menyesal seperti yang dikatakan laki-laki bertampang kalem dan bersorot mata tajam itu. Semula dia tidak percaya bahwa sakit menyengat di perutnya, yang membuatnya hampir mati adalah santet kiriman laki-laki itu.
Kasmin meraung merasakan ribuan jarum api menusuk-nusuk perutnya. Sekujur tubuhnya seperti terbakar. Siksaan itu reda setelah dia bersujud di bawah laki-laki itu memohon ampun.
Esoknya setelah sembuh, ketika Kasmin akan mengambil wudu untuk Sembahyang Maghrib berjemaah, ia melihat laki-laki bertampang kalem dan bersorot mata tajam itu keluar dari ruangan Pak Ustaz. ***
.
.
Aris Kurniawan, gemar membaca, menulis, dan membuat pupuk kompos. Buku cerpen terbarunya: Monyet Bercerita (Basabasi, 2019). Twitter @KepalsuanAris, Facebook Aris Kurniawan.
.
Tiga Cita-cita Kasmin. Tiga Cita-cita Kasmin. Tiga Cita-cita Kasmin. Tiga Cita-cita Kasmin. Tiga Cita-cita Kasmin. Tiga Cita-cita Kasmin.
Leave a Reply