Cerpen Edi Warsidi (Pikiran Rakyat, 27 April 2024)
Darius mengeluh dalam hati. Anjani meributkan hal itu lagi. Setelah meributkan keberangkatan besok!
“DULU kau bilang kita hidup berdua saja!”
“Iya, hidup berdua. Bukan berarti kita tidak bergaul, Anjani!”
“Sama saja itu…. Yang jelas, di samping kepentingan kita berdua, kita memikirkan juga orang lain,” Darius menyedot vape.
“Tetapi, kali ini aku tidak melihat untungnya buat kita.”
Darius hanya mendengus. Mengembuskan asap vape berkali-kali.
“Coba, untuk apa kita pulang?” tanya Anjani.
“Untuk pesta kakakku. Kau sendiri tahu itu,” jawab Darius.
“Tidak! Aku tidak pernah tahu. Pesta itu menghamburkan uang. Setelah kita menabung hampir setahun!” timpal Anjani.
“Mengapa dulu kau bilang, ya?”
“Itu dulu,” sahut Anjani. Lalu, melanjutkan dengan nada kesal, “Ya ampun! Apa tidak pernah kau pikirkan bagaimana susahnya kita bekerja setahun ini?”
Darius menoleh dengan dada mulai panas. “Mereka saudaraku, Anjani. Pesta adat kakakku itu untuk kehormatan kita semua. Terutama untuk orangtuaku. Mertuamu!”
Dengan cepat, Anjani mengalihkan tatapan Darius. “Tetapi, bagaimana dengan uang kita? Uang kita?” katanya tajam.
Darius masih jengkel, tetapi kini bungkam. Dia teringat uang yang ditabung berbulan bulan untuk tujuan mereka besok. Anjani ikut menabung. Hampir tidak ada keluhan selama ini. Kecuali, ya dua bulan lewat Anjani sedikit keberatan. Betapa banyaknya nanti uang yang harus dihabiskan.
Tetapi, Anjani setuju, bahkan langsung membuat rencana detail pengeluaran. “Ayo kita berhemat lagi. Kita kurangi acara keluar selama dua bulan ini, kan lumayan. Kan malu kalau kita menyumbang lebih rendah dari saudara-saudara yangc lain. Kan malu kalau kita tidak naik pesawat. Kan tidak enak kalau tidak bawa oleh-oleh. Uangku? Uangmu? Uang kita?”
Darius menyedot vape-nya dalam-dalam. Lalu, mengembuskan asapnya dengan cepat. Begitu berulang-ulang. Lalu, dia mematikan vape-nya.
“Apakah aku salah?” tanya Anjani.
“Tidak!”
Darius ingin meradang oleh sesuatu dan terhadap sesuatu, tetapi memilih untuk menahan diri. Lalu, berkata, “Baik kalau begitu! Kita tidak jadi ke Medan. Kita habiskan sisa cuti itu di sini. Makan, tidur!” Lalu, dia keluar dari teras dan menoleh sekilas, “Aku mau jalan-jalan dulu,” katanya.
“Jalan-jalan ya jalan-jalan!” Anjani membuang muka.
Sesaat Darius ingin berbalik. Duduk dan ribut lagi. Tetapi, tidak! Dia meneruskan langkahnya. Keluar dari halaman rumah. Dia memasuki jalan kecil beraspal di depan rumah, yang tembus ke jalan besar. Melangkah di antara ramainya kerumunan anak muda atau remaja. Mereka tertawa riang sambil bercanda.
Bermalam minggu di jalan kecil itu, di bawah langit cerah Kota Bandung; di antara penerangan dari teras rumah-rumah mereka. Benar-benar seakan terpisah dari kehidupan penuh keringat dan ketegangan yang berpacu di jalan besar, di depan sana.
Darius kembali mengeluh dalam hati. Tuhan ini baru tahun pertama perkawinan dengan Anjani. Rasanya belum lama bertemu untuk pertama kalinya. Berkenalan, saling merindu, memuji, dan mencintai. Keduanya saling memberikan harapan. Semua terasa mudah, tetapi sekarang begitu berat!
Hal yang lebih disadari Darius adalah usianya 30 dan seperti tidak beranjak ke mana-mana oleh perkawinan. Dia sering merasa pandir karena begitu putus asanya. Anjani sendiri, dalam usianya yang 34 sekarang ini, sering dilihatnya seperti tertekan oleh sesuatu.
Dia sering menemukan wajah Anjani merengut tiba-tiba. Membuatnya kadang-kadang terpikir akan kemungkinan, bahwa dia telah berbuat salah tanpa sengaja.
Tetapi, jika menyimak kemudian, ternyata dia tidak menemukan satu kesalahan pun yang diperbuatnya. Tidak ada yang salah padanya. Ya, sebagaimana keributan tentang keberangkatan besok ke Medan, yang memantik adalah Anjani.
Memang harus diakui bahwa pertengkaran pertama mereka berawal darinya. Kalau tidak salah, waktu itu Minggu. Anjani mengajaknya mengikuti arisan keluarganya. Maksudnya, sambil memperkenalkannya pada kaum keluarganya yang bukan keluarga dekat. Sekalian mendaftarkan diri jadi anggota arisan.
Darius kala itu benar-benar di luar perhitungannya. Misalnya, dia harus selalu keluar rumah bersama Anjani, kalau tidak mau ditanyai mau ke mana, ke rumah siapa, pulangnya jam berapa, dan perlu apa.
Pada Minggu itu, rasa malas pun memuncak dalam dirinya sebagai “balasan” atas rasa terikat yang membuatnya merasa sebal harus berdua terus, harus berkenalan dengan orang-orang baru terus sebab mereka baru berumah tangga.
Darius menolak ikut. Anjani pun mulai menggerutu untuk pertama kalinya. Lalu, dia marah-marah dan menggerutu. “Tidak bisa diharapkan jadi suami!” Beginilah Anjani akhirnya mengempaskan pintu dari dalam. Baru tiga hari kemudian, mereka pun berdamai.
Selanjutnya, pertengkaran mereka jadi lebih mudah pecah. Lalu, damai pun bisa di mana dan kapan saja. Mereka pernah bertengkar di bioskop, hanya karena Anjani masih mengoceh terus tentang apa kata teman-teman sekantornya yang sudah berkeluarga tentang rumah tangga mereka. Padahal, Darius sedang berusaha serius mengikuti alur film agar jangan sampai terlewat.
Darius tidak bisa menahan diri, akhirnya membentak dengan suara kesal, “Diam kenapa sih?”
Anjani justru membalas, “Dengar dong kalau orang lagi bicara serius!” Darius pun menjadi malu pada penonton lainnya. Akhirnya, dia bangkit dan keluar. Benar-benar sangat marah sehingga sepanjang perjalanan pulang, di dalam taksi online, mereka terus ribut.
“Kau pikir kau saja yang butuh rileks dengan menonton?” kata Anjani.
“Oh, jadi jengkelmu mengoceh seperti itu, ya?”
Anjani pun membela diri, “Aku perlu menceritakan bagaimana pengalaman semua kawanku yang berumah tangga! Kau tidak punya perhatian pada semua temanku!”
“Kau tidak pernah paham. Aku lebih senang melihat kau diam!” balas Darius.
Walaupun begitu, Darius juga sering menyesal jika pertengkaran itu sampai berhari-hari. Bahkan, ada semacam siksaan kecil jika tanpa sadar menyapa, sedangkan Anjani melongos ke arah lain. Jika meminta untuk pergi Bersama-sama ke jalan ke depan, Anjani hanya mendengus, pergi duluan saat Darius masih mandi.
Suatu ketika pernah juga Darius sampai merengek, memohon agar pertengkaran disudahi. Dia minta maaf secara berlebihan. Dengan perasaan begitu sentimental, sampai menangis. Kata-kata minta maaf diucapkan seperti dalam film yang pernah ditontonnya. Setelah berdamai, mengobarkan janji-janji akan mendengarkan semua cerita Anjani itu, lalu menumpahkan perhatian sampai mengucapkan kata-kata, “Yang … sayang ….”
Darius termangu-mangu dalam keramaian jalan di hadapannya. Dia kaku melangkah. Sejak sore tadi, begitu enak dia dan Anjani mempersiapkan perlengkapan yang akan dibawa besok. Diiringi pembicaraan betapa senangnya nanti bertemu keluarga di Medan.
Darius mulai letih berdiri kelamaan di ujung jalan kecil itu. Tanpa menaruh perhatian lagi pada kerumunan anak muda yang sedang menikmati malam minggu. Dia pulang ke rumah.
Pintu sudah terbuka. Anjani langsung memeluk Darius. “Maafkan aku, Bang!” Anjani terisak-isak. Tampak kaku sekali, lantas melepaskan diri dan mengempaskan tubuhnya di sofa.
Sesaat Darius gugup oleh tangis itu. Dia hanya menduga, tetapi kemudian dihinggapi rasa puas dalam hati. Dia pikir Anjani sudah “kalah”. Dia ingin jadi banyak bicara. “Pertama kali kau marah, ya, ya, aku masih ingat. Ketika aku tidak mau mengantarmu ke arisan keluarga …, ya ….”
Anjani masih terisak dalam posisi menelungkup di sofa. Dia menelan ludah sesaat sebab tenggoroknya terasa kering. Perasaan “bijaksana” menyeruak dalam dadanya. “Ya, aku tahu, aku banyak salah padamu. Aku terlalu egois.”
Anjani masih terisak.
“Tetapi, ya sudahlah, Anjani…. Aku benar-benar minta maaf. Kita anggap saja ini pertengkaran terakhir.” Darius bangkit mendekati Anjani.
“Yang lewat jangan kita ungkit-ungkit lagi, ya? Seperti….”
Darius baru saja akan menyentuh tubuh Anjani dan mengajaknya bangkit agar bisa bicara dengan rileks. Anjani sudah langsung bangkit. Menepis tangannya, lalu bergegas ke kamar tidur.
“Eh, mau ke mana?”
“Ini, ini lihat!” kata Anjani, menyergah, menunjuk tumpukan hangus di samping tempat tidur, kemudian segera naik ke pembaringan, merebahkan dan memeluk guling, menghadap dinding. Tidak lagi terisak.
“Hei! Apa ini?” Darius komat-kamit, berjongkok, dan menyentuh tumpukan kecil kertas hangus itu dengan ujung jarinya. “Apa ini? Apa yang kau bakar? Hei! Bangun sini! Jelaskan apa ini…?!”
Selintas bekelabat bayangan aksi pembakaran itu saat Anjani masih dibakar amarah; ketika dia tinggalkan tadi; bayangan itu mendesak rasa tidak sabarnya.
“Apa ini?” suaranya makin keras, serak, tubuhnya limbung, dan napasnya memburu ketika berdiri.
“Aku bakar tiket dan surat kawin kita!”
Suara Anjani terdengar bagai dari alam lain di telinga Darius. Kini, Anjani sudah duduk di ranjang. Memandangnya dengan sepasang mata menantang.
“Oh, Tuhan! Ya, ampun! Apa yang kau perbuat ini?” Darius mendesis bingung. Terbayang besok mereka akan berdamai kembali dan tentu akan memesan tiket lagi! ***
.
.
Edi Warsidi, menulis fiksi dan nonfiksi untuk media massa lokal dan nasional.
.
Pertengkaran Terakhir. Pertengkaran Terakhir. Pertengkaran Terakhir. Pertengkaran Terakhir. Pertengkaran Terakhir.
Leave a Reply