Cerpen, Media Indonesia, Trudonahu Abdurrahman Raffles

Seribu Musim Semi untuk Chiharu

Seribu Musim Semi untuk Chiharu - Cerpen Trudonahu Abdurrahman Raffles

Seribu Musim Semi untuk Chiharu ilustrasi Seno/Media Indoenesia

4.2
(5)

Cerpen Trudonahu Abdurrahman Raffles (Media Indonesia, 31 Maret 2024)

APRIL adalah momen dua keindahan saling berpagut di tempat asalku. Mungkin serupa kekasih yang amat dinantikan kedatangannya. Konon, para samurai di masa lalu rela mati dalam pertempuran asal pernah menyaksikan bunga sakura bersemi, sementara Gunung Fuji yang berselimut putih jadi latarnya.

Satu pertukaran yang sepadan, mungkin begitu pikir mereka.

Kehidupan ada kalanya seperti perwujudan sekian paradoks dalam ruangan minim cahaya. Di mana semua kesimpulan tentang satu objek tergantung dari cara pandang masing-masing. Para samurai itu contohnya. Hampir sepanjang usia ditempa dalam disiplin, komitmen, loyalitas, kerja keras serta ketabahan guna memenangkan tiap pertempuran, namun bisa kalah oleh sesuatu yang harmonis, lembut, ringan dan bersifat relatif: keindahan.

Namaku Chiharu, yang artinya seribu musim semi. Seorang perempuan dua puluh lima tahun yang tinggal di sekitar Danau Kawaguchi, Prefektur Yamanashi, Jepang. Prefektur adalah sebutan untuk wilayah setingkat provinsi atau negara bagian.

Perkampunganku dikenal sebagai salah satu tempat terindah di negeri kami. Penduduknya ramah sebab terbiasa berkomunikasi dengan pendatang. Orang-orang dari penjuru dunia berlomba menuju tempat kami untuk menyaksikan Gunung Fuji dari tepian danau. Memandang bunga sakura mekar dengan pemandangan danau dan gunung bersalju adalah alasan kuat, kenapa mereka rela datang dari jauh.

Aku tinggal bersama ibuku. Perempuan paruh baya yang mengasuhku sendirian sebab ayah meninggal saat aku masih kanak-kanak. Kami berdua menopang hidup dari menjual cendera mata kepada wisatawan. Toko kecil tersebut berhasil membuat kami selalu puas dalam mengarungi takdir meski ditinggal oleh kepala keluarga.

Selain uang, ada banyak hal kudapat dari orang-orang yang datang. Mereka juga membawa pengetahuan serta pengalaman baru. Sedangkan ibuku, lebih banyak lagi mengajarkan tentang kehidupan. Darinya aku belajar bagaimana menjadi perempuan Jepang yang berposisi di tengah-tengah. Maksudnya tak latah mengadopsi moderenisme, namun tidak juga bercokol kukuh pada tradisi dari masa lalu.

Beberapa hal mengenai konsep hidup sedikit demi sedikit ia ajarkan kepadaku dengan telaten. Misalkan mengenai Ikigai, yaitu bagaimana kita harus memiliki alasan yang patut saat menjalani hidup. Untuk mengawalinya ibu selalu membangunkanku seraya mengucapkan selamat pagi. Wajah indahnya itu yang pertama kali kulihat setiap pagi hari.

Baca juga  Lelaki Ragi dan Perempuan Santan

Sejatinya tanpa kusadari, ia telah memberiku modal bahagia sejak matahari terbit sehingga aku dapat mengisi hari dengan hal bermanfaat. Hal lain yang diajarkan ibu ialah Mottainai, yaitu begitu banyak hal dalam hidup yang terlalu indah untuk disia-siakan. Dari situ aku paham bahwa rasa syukur serta sikap optimal ketika mengerjakan sesuatu akan sangat membantu dalam upaya memperoleh kebahagiaan. Sebetulnya ada selautan lagi yang diajarkan ibuku. Tapi sebaiknya kali lain saja kuceritakan.

Untuk kali ini izinkan kuceritakan tentang dua hal yang selama berapa bulan berselang menyita pikiranku. Pertama-tama kabar baiknya terlebih dulu: sebentar lagi aku akan menikah. Sebenarnya aku cukup beruntung akan menikah di usia belum terlalu tua sebab kebiasaan di negeriku kini, orang-orang menikah di usia yang jauh lebih tua. Bahkan banyak yang memutuskan untuk tidak menikah dan hidup sendirian.

Sebagian alasannya ialah supaya tidak repot dengan urusan membesarkan anak, juga urusan berbagi tugas antara suami dan istri. Tak sedikit dari mereka memilih memelihara hewan peliharaan sebagai teman hidup. Pasti tidak semua berpikiran seperti itu, meski nyatanya banyak orang memilih jalan tersebut.

Hal kedua ialah, ini sebetulnya yang paling menyita pikiranku. Sekian bulan lalu secara tidak sengaja kutemukan kotak berisi beberapa catatan dan foto lusuh milik mendiang kakek saat membersihkan rumah. Ibuku tak tahu-menahu mengenai kotak itu. Mungkin saja karena kakek enggan berbagi informasi mengenai isi kotak tersebut kepada ibu atau siapa pun.

Entah kenapa foto lusuh milik kakek itu akhirnya sering kutatap lama seraya pikiran dipenuhi setumpuk pertanyaan. Foto tersebut adalah gambar seorang perempuan cantik dalam balutan pakaian asing. Belakangan setelah kucari informasi di internet, baju itu merupakan pakaian khas dari Indonesia, kebaya.

Tidak banyak sebetulnya pengetahuanku mengenai sosok kakek. Ibu sepertinya sangat hemat kata bila membicarakan beliau. Ibu hanya bilang jika kakek adalah sosok pendiam dan ia adalah tentara di masa Perang Dunia Kedua, itu saja. Sedangkan soal Indonesia, sejujurnya tak banyak pula kuketahui mengenai negara itu kecuali dari obrolan pendek dengan beberapa wisatawan asal sana.

Baca juga  Kehilangan Sarti

Di masa sekolah, aku juga tak banyak mendapat pelajaran sejarah mengenai Perang Dunia Kedua. Boleh jadi karena beberapa hal, terutama terkait kepedihan. Mungkin hal memilukan dianggap tak perlu dikenang oleh kami, generasi selanjutnya. Atau bisa jadi karena rasa malu telah membuat kesengsaraan di banyak negeri Asia, entahlah.

Ketika mulai membaca catatan kakek, jiwa perempuanku mendadak bergetar. Antara percaya dan tidak, namun hal itu fakta tertulis yang dikisahkan pelakunya. Hari demi hari mendekati pernikahanku tak lagi terasa sebagai penantian menggembirakan, melainkan sebaliknya, menyiksaku.

Ada kecemasan menghantui. Ada juga perasaan bersalah membuntuti meski sebenarnya aku tak terlibat sama sekali. Enam bulan sudah dibayangi kegelisahan itu hingga aku memutuskan untuk menuntaskan apa-apa yang belum diselesaikan pada masa lalu. Lebih tepatnya yang tak diselesaikan oleh mendiang kakekku.

Aku pun tiba di satu kota kecil di tanah Jawa. Beberapa catatan pendek milik kakek kujadikan panduan untuk menyusuri jejak langkahnya. Untunglah, bulan Maret adalah masa transisi antara ujung musim hujan dan awal musim panas di Indonesia. Di bulan Maret suhunya belum terlalu panas dan masih turun hujan sesekali. Lebih beruntung lagi sebab seorang wisatawan perempuan asal Indonesia yang pernah berkunjung ke toko ikut menemani pencarianku.

Sebenarnya ada banyak tempat indah yang layak dikunjungi selama perjalanan ke lokasi di mana kakek dulu bertugas sebagai komandan pasukan Jepang. Mungkin kelak jika ada kesempatan, aku akan mengunjungi tempat-tempat tersebut bersama suamiku.

Setelah dua hari menyusuri tiap sudut kota seraya bertanya kepada sekian banyak orang tentang alamat yang dicari, akhirnya kami berdua menemukan tempat yang di tuju. Sebuah rumah berbahan kayu dengan halaman luas dan pohon-pohon rindang berbaris di kedua sisi jalan setapak menuju teras. Bangunan itu tak jauh berbeda dengan yang ada di foto kakek. Hanya bagian atapnya saja berubah.

Yang menemui kami di rumah itu seorang perempuan seusiaku. Ia terlihat sangat luwes pembawaannya. Ternyata cucu dari perempuan di foto kakekku. Dari sorot mata dan cara bicaranya kepada kawanku yang sebagai pemandu, penerjemah sekaligus penengah, aku menyimpulkan bahwa ia orang yang sangat terdidik.

Baca juga  Wasiat

Kalimatnya tak panjang juga tak pendek-pendek. Ada memang ia terlibat secara emosi ketika kawanku mengemukakan beberapa hal, namun tak pernah ia tunjukan. Hanya matanya yang berkata-kata. Kadang tampak berair, kadang tampak juga sedikit mendelik.

Kubacakan kepadanya—yang kemudian diterjemahkan oleh kawanku—tentang isi catatan pendek milik kakek. Satu catatan mengenai penyesalan kakek saat merusak martabat dan kehormatan neneknya di masa pendudukan Jepang. Meski akhirnya mereka berdua saling jatuh cinta, tapi tetap saja kakekku telah melakukan kesalahan besar.

Ditambah kesalahan selanjutnya yaitu kakek tak memberi kabar apa pun setelah tentara Jepang ditarik mundur dari Indonesia. Itu tentu menyakitkan terutama bagi si perempuan. Untunglah tak ada anak dari hubungan mereka berdua. Jika ada, tentu akan lebih runyam lagi.

Pada pertemuan tersebut kami menyimpulkan bahwa perang, bagaimanapun, akan menyebabkan bekas luka mendalam. Sebagian orang dapat meyembuhkan diri dari trauma, dendam, serta kepedihan. Sebagian lagi terpuruk dalam trauma seumur hidup. Sebelum berpamitan pulang, aku dan dia berpelukan dan saling melapangkan hati. Merelakan takdir yang telah terjadi.

Kini awal April dan aku sudah kembali di kampung halaman, Kawaguchi. Artinya aku pulang ketika bunga sakura sedang indah-indahnya mekar. Telah banyak kusaksikan musim semi di kampung halaman selama hidup, namun sepertinya tak ada yang seindah musim semi tahun ini.

Selain karena bulan depan aku akan melangsungkan pernikahan, juga karena lega telah menuntaskan hal yang belum diselesaikan leluhurku. Sekarang aku tak lagi dikejar kecemasan dan perasaan bersalah. Kubuka jendela lebar-lebar. Bunga sakura, Danau Kawaguchi, dan Gunung Fuji seolah berbisik kepadaku: “Selamat datang kembali, Chiharu. Selamat menikmati seribu musim semi untukmu.” ***

.
Seribu Musim Semi untuk Chiharu. Seribu Musim Semi untuk Chiharu. Seribu Musim Semi untuk Chiharu. Seribu Musim Semi untuk Chiharu.

Loading

Average rating 4.2 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!