Cerpen Teni Ganjar Badruzzaman (Kompas, 26 Mei 2024)
DUA minggu setelah hari ulang tahunnya yang keempat belas, Agustinus yang sedang bermain ponsel di kamar terperanjat dari posisi rebahannya, ketika tiba-tiba terdengar pintu depan rumahnya di gedor-gedor dengan kasar. Tepat saat kakinya melangkah keluar dari pintu kamar, ia melihat ibunya telah sampai lebih dulu di ruang tamu.
Tergesa wanita ringkih itu membuka daun pintu. Satu orang polisi berseragam lengkap bersama Pak Darto, wali kelas Agustinus, dan seorang pria paruh baya yang dikenalnya dengan sebutan Pak RT tengah berdiri di teras. Ibunya memandang orang-orang itu dengan dahi berkerut. Sementara Agustinus yang menyadari tentang apa yang akan terjadi secepat kilat kembali masuk ke kamar, membanting pintu dengan kasar, dan menguncinya rapat-rapat.
Dari dalam kamar, Agustinus mendengar ibunya yang bercakap-cakap dengan para lelaki itu. Meski tak jelas apa yang mereka bicarakan, tapi Agustinus tahu benar apa isi obrolan tersebut dan itu sungguh membuat dadanya berdebar-debar. Ia mondar-mandir tak karuan di dalam kamar. Keringat dingin bercucuran. Setelah sejenak berpikir, pemuda berambut ikal itu segera membuka jendela kamarnya dan melompat keluar. Dalam sekian detik, ia sudah berada di bagian samping rumah dan berlari sekuat tenaga dengan kaki telanjang. Namun, Agustinus sungguh tak pernah menduga bahwa sudah ada polisi lain yang menghadangnya di pagar belakang.
Agustinus dibekuk. Ia digelandang menuju kantor polisi tanpa bisa berkutik. Melihat anak semata wayangnya diperlakukan begitu, sang ibu menjerit-jerit. Wanita yang sebelumnya banyak meringkuk di atas kasur karena penyakit menahun yang dideritanya itu tiba-tiba saja seperti memiliki tenaga ekstra. Ia berteriak-teriak minta anaknya dilepaskan. Beberapa tetangga berusaha menenangkannya. Namun, ia terus meronta-ronta.
Ternyata sudah banyak orang di sepanjang jalan dari rumah Agustinus menuju jalan raya. Mereka berdiri berjajar seperti sedang menonton iring-iringan karnaval. Terdengar satu dua orang berteriak menyoraki Agustinus. Alih-alih tertunduk, pemuda itu malah menantang mereka satu per satu dengan mata yang nyalang. Sontak saja perilakunya itu semakin memancing kegaduhan.
Tiga hari sebelum ditangkap polisi, Agustinus menerima sebuah pesan WA dari seorang temannya. “Bro, coba buka link ini.” Tulis temannya disertai sebuah tautan. Gegas Agustinus membuka tautan itu yang ternyata mengarah pada sebuah video di Instagram. Dan, oh! Mata Agustinus membelalak sempurna demi apa yang dilihatnya dalam video tersebut. Dua orang pemuda, satu berkaus hitam dan satunya lagi berkaus merah terlihat menghajar seorang pemuda lain yang mengenakan seragam putih. Si pemuda kaus hitam tampak berkali-kali memukul bagian perut si pemuda berseragam putih hingga terjengkang ke belakang.
“Angkat!” Si pemuda kaus hitam mengisyaratkan agar si pemuda kaus merah menarik dan membangunkan tubuh pemuda berseragam putih yang tersungkur di tanah. “Pegang!” perintahnya lagi.
Lalu si pemuda kaus merah memegang korbannya yang sudah tak berdaya itu dari belakang. Si pemuda kaus hitam dengan membabi buta kembali menendang perut dan memukul wajah si korban. Darah bercucuran membuat seragam putih pemuda malang itu memerah. Si pemuda kaus hitam tampak tertawa puas, tanpa sedikit pun tergurat rasa bersalah di wajahnya. Si pemuda kaus merah lalu membanting tubuh pemuda berseragam ke tanah. Dalam video itu, lantas terdengar riuh suara tawa dan sorak gembira mirip suporter sepak bola saat tim kesayangan mereka membobol gawang lawan.
Agustinus mengumpat kasar. Rahangnya mengeras. Dadanya naik turun dengan cepat. Agustinus bersumpah akan menghabisi siapa pun yang dengan berani menyebarkan video yang seharusnya hanya menjadi dokumentasi pribadi dari aksi geng mereka itu.
Kabar buruknya lagi, ternyata video itu telah viral di berbagai media sosial. Agustinus semakin berang. Sebagai ketua geng, ia lalu memerintahkan agar seluruh anggotanya berkumpul di gudang tua kosong yang berada di ujung kampungnya, yang mereka sebut sebagai markas.
Lima hari sebelum Agustinus menerima video viral itu, di kantin sekolah, ia baru saja menerima kabar dari salah seorang anak buahnya kalau ada adik kelas yang berani menghina geng mereka.
“Geng sekumpulan pecundang. Yang beraninya cuma keroyokan.” Begitu anak buah Agustinus memberi laporan.
Agustinus naik pitam. Wajahnya merah padam. Saat itu juga ia memerintahkan beberapa anak buahnya agar pulang sekolah nanti, mereka membawa adik kelas kurang ajar itu ke markas. “Siap, Ketua!” kata mereka yang diperintahkan itu dengan kompak penuh semangat.
Enam puluh menit berlalu setelah jam pulang sekolah, tapi anak buah Agustinus tak juga datang ke markas. Itu membuat sang ketua habis kesabaran. Padahal tangan dan kakinya sudah gatal ingin menghajar orang. “Di mana?” bentaknya kepada orang di seberang sambungan telepon sana. “Gue enggak mau tahu, anak itu harus dibawa ke sini sekarang juga!” lanjutnya kemudian dengan suara penuh penekanan.
Selang lima puluh menit, tiga anak buahnya pun datang sambil menyeret seorang remaja laki-laki berperawakan jangkung dengan kepala plontos yang masih mengenakan seragam putih biru. Bocah malang itu didudukkan di bangku dengan kedua tangan terikat ke belakang. Agustinus sempat menanyai korbannya ini dan itu sebelum akhirnya mulai melakukan penganiayaan.
Dua minggu sebelum menerima kabar bahwa ada adik kelas yang menghina geng mereka, Agustinus dipanggil guru bagian kesiswaan. Untuk kesekian kalinya ia harus menerima hukuman atas pelanggaran yang dilakukannya. Kali itu, karena dia ketahuan mengoordinasi teman-temannya untuk tawuran dengan anak sekolah lain.
“Pergi kalian semua ke lapangan! Berdiri kalian di sana sambil menghormat bendera sampai jam pulang!” teriak guru kesiswaan yang berperawakan tinggi besar dan berwajah garang itu, setelah menginterogasi dan menceramahi panjang lebar murid-muridnya itu.
Dari ruang kesiswaan, Agustinus dan teman-temannya yang berjumlah belasan itu lalu berjajar jalan bebek menuju lapangan sekolah. Matahari sedang ganas-ganasnya menggigit kala itu. Namun, ah, bagi Agustinus itu adalah hukuman yang ringan. Sebab, sebelumnya, ia sudah sering menerima hal serupa. Tak terhitung jari berapa kali ia minggat dari sekolah sebelum jam pelajaran usai, ketahuan nongkrong di warnet. Dan, yang terparah adalah saat ia dengan sukacita tanpa merasa berdosa menghajar teman sekelasnya yang baginya sangat menyebalkan. Teman sekelasnya itu telah berani mendekati gadis yang sedang dia incar.
Akibatnya, teman sekelasnya itu semaput dengan kepala berdarah-darah. Oleh guru-guru ia dibawa ke puskesmas terdekat. Orangtua si korban meradang, meminta pertanggungjawaban. Ibunya Agustinus mengemis-ngemis memohon pemaafan atas kelakuan anaknya yang keterlaluan. Kali itu semesta mendukung. Keluarga si korban mau menempuh jalan damai, sebab merasa kasihan pada keadaan ibu Agustinus yang seorang janda sakit-sakitan.
Tiga tahun sebelum dipanggil guru kesiswaan karena ketahuan akan tawuran, Agustinus hampir saja dikeluarkan dari SD negeri tempatnya bersekolah. Belasan orangtua murid yang mengaku anaknya menjadi korban kenakalan Agustinus menggeruduk ruang kepala sekolah. Mereka meminta Agustinus dikeluarkan saat itu juga. Jika apa yang dilakukan bocah lelaki itu hanya sebatas keisengan anak-anak biasa, barangkali para orangtua itu masih bisa memaafkan seperti yang selama ini mereka lakukan. Namun, saat itu Agustinus benar-benar sudah keterlaluan. Ia menyiram kepala Anto, salah satu teman sekelasnya, dengan kuah bakso panas yang pekat oleh saus pedas dan kecap.
Tentu saja Anto menjerit-jerit kepanasan. Matanya pedih kena sambal. Rambutnya lengket dan beraroma bakso. Kemeja seragam putihnya berubah warna menjadi merah kecoklatan. Setelah kejadian itu, Anto mogok sekolah. Ia takut jika harus bertemu kembali dengan Agustinus. Terlebih sesudah didesak orangtuanya, Anto lalu mengaku hampir setiap hari menjadi bulan-bulanan kenakalan Agustinus. Katanya, ia sering dipaksa harus berlutut di hadapan Agustinus, kalau tidak mau ia akan ditendang. Uang jajannya pun selalu melayang, berpindah ke saku Agustinus.
Satu hari sebelum menyiramkan kuah bakso panas ke atas kepala Anto, Agustinus yang malam itu sedang asyik menonton televisi terperanjat ketika tiba-tiba bapaknya datang sambil sempoyongan. Tanpa ba-bi-bu, pria yang sekujur tubuhnya dipenuhi tato itu menjambak rambut ibu Agustinus yang tergerai panjang.
“Duit!” teriak bapaknya seraya menyeret sang ibu ke kamar.
“Enggak ada, Mas!” Ibunya merintih menahan rasa pedas dari rambutnya yang tertarik. “Uang kita sudah habis.”
“Bohong!” teriak bapaknya lagi. Bau alkohol seketika menguar dari mulutnya. Ia kemudian beranjak ke arah lemari pakaian. Dikeluarkannya seluruh isi lemari itu seperti orang kesetanan. Pakaian beterbangan ke segala penjuru kamar. Ketika tangan bapak Agustinus berada di bagian bawah lemari, refleks ibunya berlari hendak menghadang suaminya agar tak membawa semua uang yang telah ia sembunyikan.
“Jangan, Mas! Kalau kamu ambil itu, nanti aku dan anakmu makan apa?” jerit ibunya sembari berusaha menghentikan gerakan tangan suaminya.
Alih-alih berhenti, bapak Agustinus malah menampar pipi istrinya. Lalu didorong tubuh istrinya yang ringkih itu hingga membentur tembok.
Melihat ibunya menjerit-jerit, Agustinus yang sedari tadi mengintip di celah pintu kamar yang sedikit terbuka segera berlari. Ia ingin sekali memukul ayahnya yang sedang menyeringai senang karena berhasil menemukan uang yang diinginkan.
Belum sempat tangan Agustinus mengenai tubuh bapaknya, ia lebih dulu kena tamparan. Punggung kecilnya ditendang dengan sangat keras, membuat tubuh mungil itu menggelinjang-gelinjang di atas ubin karena kesakitan.
“Dasar! Ibu dan anak sama saja. Sama-sama menyusahkan!” maki bapak Agustinus lagi. Ia segera memasukkan lipatan uang kertas itu ke dalam saku, lalu beranjak pergi begitu saja tanpa peduli dengan keadaan istri dan anaknya. Tak kuat menahan rasa sakit, Agustinus jatuh pingsan dengan membawa nyeri di dalam jiwanya yang tak akan pernah bisa tersembuhkan, entah sampai kapan. ***
.
.
Teni Ganjar Badruzzaman lahir di Ciamis, 1988. Seorang ibu rumah tangga biasa yang senang membaca dan menulis cerita.
Trie Aryadi Harijoto. Lahir di Bandung, 1984. Pendidikan Seni Grafis FSRD ITB (2002). Aktif sebagai seniman di Bandung dan mulai berpameran setidaknya sejak 2005. Pamerannya, antara lain, pameran duet 2023, Preliminaries, di Orbital Dago Bandung; pameran duet 2023, It’s always 12 o’clock in Wonderland, di Kunasi Coffee Bandung; dan pameran bersama 2012 Good Old Days, di Galeri Kita Bandung.
.
.
sheesh
hikmah cerpennya apa?