Cerpen Pandu Wijaya Saputra (Republika, 26 Mei 2024)
TORO terbangun dengan Mata membelalak. Nafasnya terengah-engah. Cahaya lampu kamar yang temaram tepat jatuh menerangi sebagian wajahnya, memperlihatkan butiran-butiran keringat yang mengalir di dahinya. Berbagai pikiran berkecamuk di kepala Toro: cemas, bingung, dan takut.
Ini adalah hari ketiga Toro bermimpi hal yang sama berturut-turut. Mimpi yang juga membuat dia selalu terbangun dengan cara dan perasaan yang sama seperti ini. Kali ini, dia pikir tidak bisa mengabaikan apa yang dia saksikan dalam alam bawah sadarnya itu. “Apakah aku harus pulang?” batin Toro.
Keesokan hari, Toro menghadap dosen yang diasisteninya untuk meminta izin cuti. Setidaknya dua hari. “Mimpi” bukan alasan yang akan diterima oleh sang profesor. Bahkan hingga saat ini dirinya masih ragu apakah dia harus pulang hanya gara-gara mimpi. Lebih beresiko lagi, profesor itu akan mempertanyakan kelayakan dirinya sebagai asistennya karena urusan tak masuk akal itu.
Singkatnya, Toro memperoleh izin yang diharapkannya. Tentu dengan alasan yang dibuat-buat. Dia pun segera menuju terminal. Saat itu pukul 13.00. Bus akan tiba di terminal kota tujuan pukul 16.00 sore. Lalu perjalanan menuju ke kampungnya dari terminal itu akan memakan waktu 40 menit lagi dengan angkutan umum yang lebih kecil. Setelahnya, Toro masih harus berjalan lagi dari muka kampung ke rumah. Dia sudah membayangkan perjalanan yang sangat melelahkan dalam bulan-bulan yang sedang panas-panasnya ini. Apalagi sejak pukul tiga dini hari tadi dia belum tidur. Kepalanya berat dan matanya pun sudah merah berurat. Begitu duduk di bangku bus, dia mencoba tidur. Namun selalu gagal. Mimpi yang dialaminya seolah selalu terputar kembali di kepalanya setiap kali Toro mencoba memejamkan mata.
Mimpi pertama datang dua hari lalu. Dia melihat kakak perempuannya berada di sebuah rumah tua bertingkat. Dirinya sendiri berada di luar rumah itu. Di dalam mimpi, dia melihat sosok di luar rumah tersebut. Sosok itu terbungkus kain hitam. Dia mengabaikan mimpi itu. Baginya, mimpi itu, sebagaimana mimpi-mimpinya selama ini, tak berarti. Dia yakin semua hanyalah rekaman-rekaman memori yang berasal dunia nyata dan tanpa sadar terbawa ke dunia bawah sadarnya. Baik mimpi indah maupun buruk hanyalah kembang tidur. Dia tahu Nabi Muhammad mencontohkan agar meludah ke sisi kiri jika bermimpi buruk karena bisa jadi itu perbuatan setan. Tapi dia merasa tak perlu melakukannya.
Hari berikutnya, Toro mengalami mimpi yang sama. Namun kali ini, sang kakak meminta tolong padanya melalui jendela di rumah itu. Dia mulai curiga dan khawatir. Namun, pikirannya lagi-lagi mencoba mengendalikan perasaannya. Dan mimpi yang sama kembali datang dini hari tadi.
Pukul 18.40, Toro sampai di pintu masuk kampungnya. Dia putuskan melakukan sembahyang maghrib dulu di surau yang ada di muka kampung sembari menenangkan pikiran. Setelah menempuh 2 km jalan setapak. Toro sampai di rumah orang tuanya. Saat ini, hanya ibu, kakak perempuannya yang bernama Sekar, dan kakak laki-lakinya, Wulung, yang tinggal di rumah itu. Ayahnya sudah lama meninggal. Sebelumnya, suami kakaknya pun tinggal bersama di rumah itu. Namun, sejak setahun lalu dia pergi.
Ibu dan adik Toro terkejut ketika dirinya masuk ke dalam rumah. Tak ada yang mengira bahwa dia akan pulang
Di sisi lain, Toro pun tak kalah terkejut ketika melihat seorang pria dengan setelan hitam berdiri tepat di samping kakaknya yang sedang tertidur di ranjang. Sementara ibu dan adiknya berdiri di sisi lain.
“Ada apa dengan Kak Sekar?”
Ibu dan kakaknya tak menjawab. Kakak keduanya bahkan segera memberi tanda bahwa tidak boleh ada suara dengan menempelkan jari telunjuknya ke bibir.
Toro tidak nyaman dengan situasi yang terjadi. Dia menunggu di teras. Pikirannya tidak bisa tenang. “Apa yang terjadi pada kakak, siapa orang itu,” batinnya. Dari luar, dia mengintip melalui jendela. Toro melihat wajah kakaknya tampak pucat. Tubuhnya kurus dan lemah. Matanya terpejam dan nafasnya terengah-engah.
Meski tidak kenal orang berbaju hitam itu, dia yakin bahwa orang itu sedang melakukan semacam ritual pengobatan. Pria itu memegang semacam kendi di tangan kiri sementara tangan kanannya diangkat tinggi ke arah kakaknya. Dari arahnya, Toro tidak bisa melihat wajah pria berbaju hitam itu. Dadanya bergetar. Dia ingin sekali marah dan mengusir orang itu. Namun, dia hanya menahan perasaannya sambil berharap orang itu cepat selesai.
Bukan tanpa alasan Toro tidak menyukai apa yang dilihatnya. Saat usianya 12 tahun, ayahnya menitipkan Toro ke pesantren di kota. Dia tumbuh di lingkungan agamis. Apa yang dilakukan orang berbaju hitam itu bukan ritual ajaran agama. Toro juga sanksi dia seorang tabib medis. Maka Toro yakin yang dia lihat adalah sebuah praktik perdukunan. Dan dalam keyakinan Toro, segala hal yang berbau perdukunan adalah syirik. Bersekutu dengan setan. Belum lagi basis logika rasionalnya yang lebih memilih solusi medis ilmiah daripada alternatif seperti itu.
“Kenapa harus meminta orang itu ke sini?” tanya Toro pada kakaknya. Saat itu malam semakin larut. Orang berbaju hitam sudah meninggalkan rumah mereka. Toro beserta kakaknya sedang duduk di serambi rumah.
“Kita harus mencoba segala cara. Lagi pula, penyakit kakak kita bukan penyakit medis.”
Menurut penuturan Kakaknya, awal mula musibah ini terjadi bulan lalu. Suatu malam, pukul dua dini hari, sebuah dentuman besar terjadi di atap mereka. Ledakan itu seperti suara trafo yang meledak. Begitu kakak laki-lakinya memeriksa, tidak ada apa-apa di atap. Esok harinya, Sekar tak bisa beranjak dari kasurnya. Hingga sekarang. Toro langsung paham. Sebagian masyarakat mereka percaya bahwa ledakan aneh di atap rumah adalah pertanda bahwa penghuni rumah mendapat “kiriman”.
“Maksudmu kak Sekar disantet?” tanya Toro terkejut hingga nyaris bangkit dari tempat duduknya.
“Ini pasti ulah si Pram brengsek dan wanita barunya,” kata Wulung geram.
Pram adalah mantan suami Sekar. Usia pernikahan mereka hanya dua tahun, suaminya itu pun jarang bersama karena dia merantau di Jakarta. Sejak setahun lalu dia tidak pernah pulang lagi. Tanpa kabar. Menurut berbagai cerita, dia terpikat dengan wanita lain di sana dan menikah lagi.
Seketika, Toro teringat mimpi-mimpi tentang kakak perempuannya. Peristiwa dalam mimpinya memang super ganjil. Dia menduga, meski dengan ragu, bahwa mimpi yang dilihatnya adalah pertanda musibah ini. Bahwa apa yang dikatakan Wulung benar. Namun, Toro segera mengabaikan pikiran-pikiran tersebut.
“Aku tidak mau percaya hal-hal seperti itu. Dan aku tidak suka orang itu ke sini lagi. Apa kak Sekar sudah dibawa ke rumah sakit?”
“Sudah.”
Wulung terdiam sejenak, menghela nafas panjang. Toro pun diam, menunggu penjelasan Wulung.
“Aku dan Ibu sudah membawa kakak ke rumah sakit. Mereka bilang tidak mendeteksi penyakit apa pun,” jawab Wulung. “Pak Barda hanya membantu dari sisi tak kasat mata. Kita tidak punya pilihan lain. Lagipula, Pak Badra tak akan ke sini lagi. Dia bilang sudah menangani semuanya.”
“Omong kosong. Kalau memang urusan Pak Badra sudah selesai, untuk apa dia meletakkan kendi itu di bawah kasur Kak Sekar. Aku tak suka benda itu di sana,” kata Toro dengan nada suara meninggi. “Dan urusan seperti ini tak akan pernah selesai.”
Wulung terdiam. Dia mengerti pikiran adiknya itu. “Yang penting sekarang kita harus usaha apa pun yang bisa dilakukan untuk Kak Sekar,” ujar Wulung.
“Termasuk meminta tolong dukun? Itu tidak masuk akal. Kalaupun benar Kakak disantet. Pak Badra itu pun menggunakan cara yang sama dengan penyantetnya. Dan agama kita melarang itu.”
“Besok aku akan bawa Kakak ke kota. Di sana banyak dokter spesialis. Banyak rumah sakit yang bagus juga. Kita akan tahu penyakit yang diderita Kak Sekar,” imbuh Toro. “Kakak bisa diobati dengan cara medis yang benar. Jika hanya dengan cara-cara tidak jelas seperti ini, aku khawatir penyakit kakak kian memburuk.”
Wulung tidak menjawab apa-apa. Pikirannya masih sama dengan sebelumnya. Segala cara layak dilakukan untuk menyembuhkan kakak mereka.
Malam itu, Toro akhirnya bisa tidur pulas setelah tiga hari tidurnya terganggu. Dia tidak bermimpi apa-apa. Lelahnya pun terobati.
Keesokan hari, matahari sudah menyengat kulit meski jam masih menunjukkan pukul sembilan pagi. Toro dan kakaknya sedang pergi ke rumah Pak Manto, warga desa yang akan kami sewa kendaraannya untuk membawa sang Kakak ke kota.
Toro tiba-tiba merasakan sesuatu di tangannya. Ada air menetes. Dia memandang ke langit. Gerimis. Air langit yang jatuh di tengah matahari yang terik itu menyebabkan rasa yang aneh. Basah tapi tetap panas.
“Semoga tidak ada musibah,” ucap Manto sembari melihat langit.
Ucapan Pak Manto menarik perhatian Toro. Namun dia segera sadar bahwa sang tetangga sedang bergumam pada dirinya sendiri. Toro mengalihkan pandangan pada Wulung. Dia menyaksikan kakaknya itu mematung sesaat, memperhatikan air hujan yang ditadah oleh tangannya. Sesaat kemudian, gerimis sudah berhenti.
Keduanya pulang ke rumah mereka. Sepanjang jalan, Toro antusias memberitahu berbagai rencana pengobatan kakaknya di kota nanti pada Wulung. Ia ceritakan juga beberapa kenalan dokter spesialis. Sebaliknya, Wulung banyak diam sekembalinya dari rumah Pak Manto.
Di luar rencana dia harus menunda kepulangan ke kota. Hari itu terasa sangat panjang bagi Toro. Dia baru bisa kembali ke kota keesokan harinya setelah menguburkan jenazah sang kakak. ***
.
Anonymous
Ceritanya bagus banget, cuman endingnya kurang seruuu🥲
Anonymous
not bad