Cerpen, Kartika Catur Pelita, Suara Merdeka

Ratu Kalinyamat

Ratu Kalinyamat - Cerpen Kartika Catur Pelita

Ratu Kalinyamat ilustrasi Joko Susilo/Suara Merdeka

5
(1)

Cerpen Kartika Catur Pelita (Suara Merdeka, 19 Mei 2024)

SIANG kerontang ketika tandu yang membawa Sultan Hadlirin hinggap di bibir Sungai Muria.

“Kita seberangi sungai ini, prajurit. Angkat tandu tinggi-tinggi. Jangan sampai air mengenai sang raja!”

Berada di tengah, tiba-tiba air sungai meluap.

Tubuh Sultan Hadlirin terbawa arus, dan aneh, air sungai berubah warna ungu.

Ratu Kalinyamat tergugu.

“Para prajurit, kalian jadilah saksi. Jika suatu masa tempat ini menjadi pedukuhan, kalian namakan Kaliwungu.”

“Sendika dhawuh, Kanjeng Ratu.”

Perjalanan kembali dilanjutkan. Sultan Hadlirin merintih. “Sakit, Nimas. Sakit, sakit. Aduh, aduh….” tubuh yang mohyang-mahyong, meronta-ronta, kesakitan. Ratu Kalinyamat mengusap kepiluan. “Kita sudah sampai di mana, hai prajurit?”

“Daerah ini belum bernama, Kanjeng Ratu. Alas gung liwang-liwung.”

“Kelak kalian namakan tempat ini Mayong.”

Air sungai yang membasahi tubuh, belum kering menebarkan bau tak sedap. “Para prajurit, aku matur nuwun pada bakti kalian pada raja Jepara. Kalian tidak mengeluh, bahkan alam turut berkabar pada apa yang terjadi pada suamiku. Kelak jika tempat ini ramai, dan orang-orang bermukim, berilah nama Purwogondo.”

Ratu Kalinyamat mendekap erat tubuh tampan pucat kesakitan itu. Burung-burung cangak beterbangan di udara. “Bertahanlah, Kangmas. Sebentar lagi kita sampai di Kerajaan Jepara. Kangmas akan sembuh. Kita akan memiliki keturunan. Jika seorang lelaki kuberikan namamu Kangmas. Jika perempuan terserah Kangmas ingin memberikan namaku atau nama Diajeng Binabar.”

***

Tengah malam, tandu yang membawa Sultan Hadliirn memasuki Kerajaan Japara. Prajurit pengusung tandu berjalan kepayahan, bogal-bogel, pekekah-pekekeh, dan montang-manting. Penduduk memajang obor sepanjang jalan menyambut kedatangan raja mereka.

Gegas tabib mengobati.

Takdir tertulis, di hari Jumat Sultan Hadlirin wafat dalam pelukan istri tercinta.

“Kematian datang kapan saja, dengan cara apa saja, Nyai. Ikhlaskan.”

“Suamiku mati dengan cara nista, Bapa Sungging. Aku akan membalas kesakitannya.”

“Nanti setelah masa berkabung kita bisa membahasnya, Nyai. Kita mengurus dulu pemakaman suamimu, anakku.”

Baca juga  Karangan Bunga

“Baru kemarin kami berbincang mesra, mendamba tentang keturunan, momong anak….”

“Ternyata anakku mendahului aku, Nyai. Oh, mengapa bukan aku yang sepuh, yang sudah puas makan garam kehidupan, yang duluan dipanggil.”

“Bapa jangan bicara seperti itu. Aku sudah tiada punya siapa-siapa. Setelah Kanjeng Rama, dan Ibunda mangkat, kemudian kangmasku, sekarang suamiku….”

Terbayang di mata basah Ki Sungging Badarduwung, tahun-tahun lalu saat ia menemani Raden Thoyib,—yang berjuluk Sultan Hadlirin setelah menikah dengan Ratu Kalinyamat,—dari Aceh, Tiongkok, hingga ke Jawadwipa. Mereka belajar agama, belajar ukiran, belajar ilmu pemerintahan. Ah, siapa yang bisa menduga sang anak angkat pergi dalam usia semuda ini?

“Nyai, apakah suamimu berwasiat, hendak dimakamkan di mana?’

“Kangmas Hadlirin pernah rasan-rasan jika meninggal ingin dimakamkan di masjid Mantingan yang dibangunnya bersama Bapa Sungging Badarduwung.”

***

Selama empat puluh hari diadakan selamatan, tahlilan. Doa-doa dilantunkan. Sultan Hadlirin sudah dimakamkan, tapi kenangan selamanya hidup. Teringat saat pertama bersua. Kemudian jatuh cinta. Raden Thoyib mengikuti sayembara. Sultan Trenggana memilihnya sebagai menantu. Malam pengantin yang syahdu. Hari-hari berwarna dalam mengarungi rumah tangga.

“Aku tetap mencintaimu, menyayangimu, Kangmas Hadlirin, selamanya.”

Usia nyekar pesarean suami, Ratu Kalinyamat termenung, bernaung pepohonan jati, dan burung murai berkicau. Ah, pesanggrahan ini mengingatkan saat-saat manis. Di sini mereka sering menuang waktu santai, menjamu tamu. Di sini pula Kanjeng Sunan Kalijaga datang mengajar Islam.

“Ikhlaskan yang telah pergi, Nimas. Doa istri salehah insya Allah membuka pintu nikmat kubur garwa-mu. Garwa, sigaraning nyawa,” piwulang Sunan Kalijaga terngiang.

Ratu Kalinyamat menguatkan hati. Mungkin ia harus melupakan dendam. Membasuh lara hati. Belajar ikhlas.

Ratu Kalinyamat meninggalkan makam, menuruni tangga tanah, ketika sepucuk pisau kecil disambitkan ke arahnya. Ratu Kalinyamat berkelit dan menangkap si penyerang gelap. Seorang pemuda berpakaian serba hitam. Kepalanya berikat bunga kecubung.

“Siapa kowe?! Apa maksud kowe?!”

Baca juga  TAMSIL USIA

“Aku diutus Arya Penangsang.”

“Bawa aku ke pecundang itu. Aku takkan membunuhmu. Aku ingin kowe memberi kesaksian pada semua orang bahwa Arya Penangsang dalang kematian kangmas dan suamiku!”

“Ampun. Aku… aku….”

Pemuda berkelojotan. Sumpit beracun menancap di punggungnya. Sekelebat tersamar bayang orang berlari.

***

Di gunung Donorojo, Ratu Kalinyamat semadi mengadu pada Gusti Allah. Tentang beban luka. Tentang keadilan. Tentang jalan hidup yang harus dipilihnya.

Pada hari kedasa, datanglah Hadiwijaya, Adipati Pajang, sang ipar. “Apakah benar Mbakyu memilih bertapa, menjauh dari tampuk kepemimpinan? Padahal Jepara masih sangat membutuhkan pemimpin, setelah Kangmas Hadlirin wafat. Hanya Mbakyu yang layak memimpin.”

“Justru aku di sini untuk rakyat Jepara, Dimas. Berada di antara rakyat jelata, aku mencoba merenungi diri. Apa yang harus kulakukan sepeninggal suamiku. Apakah aku pantas menggantikan? Apakah aku sanggup mengemban tugas berat sebagai pemimpin….”

“Percayalah, Mbakyu sangat pantas. Mbakyu mempunyai kemampuan sebagai pemimpin, pengayom.”

“Jika pun benar. Setidaknya bukan saat sekarang, Dimas. Keadaanku labil, jiwaku guncang. Apakah dalam keadaan begini aku bisa memimpin dengan baik. Aku butuh waktu demi menyembuhkan diriku. Aku akan menjalankan tapa wuda sinjang rikma.”

“Aku mendukung apa pun keputusan Mbakyu.”

“Aku Ratu Kalinyamat bersumpah: ingsun ora-ora pisan jengkar saka tapa wuda ingsun, yen durung bisa adus keramas getih lan kesed jembule Arya Penangsang!”

***

Gusti Allah ora sare. Lewat tangan Danang Sutawijaya, anak angkat Hadiwjaya, kelak Ratu Kalinyamat bisa memenuhi sumpahnya.

Tersebutlah seorang perawat kuda Arya Penangsang, yang sedang mencari rumput dipotong sebelah telinganya oleh Ki Ageng Pemanahan. Surat tantangan digantungkan di bekas telinga yang terpotong. Si perawat kuda mengadu pada tuannya, Adipati Jipang.

Arya Penangsang tersulut kemarahan. “Katakan, siapa yang berani melukai kowe?!”

“Ia menyebut dirinya Ki Ageng Pemanahan, utusan Hadiwijaya, Adipati Pajang!”

“Kurang ajar, Hadiwijaya. Berani mereka melecehkanku. Aku akan membalas perbuatan mereka. Akan kutumpas keturunan Trenggana. Aku, Arya Penangsang yang berhak menjadi raja Demak. Aku penuhi tantangan mereka untuk berperang, duel satu lawan satu. Ayo prajurit siapkan baju perang, dan kuda kesayanganku, Gagak Rimang. Keris Setan Koberku sudah tak sabar ingin membunuh Hadiwijaya!”

Baca juga  Hikayat Kunang-kunang di Kepala Seno

Di seberang sungai seekor kuda betina putih mulus terlihat sangat menawan. Berlenggak-lenggok. Gagak Rimang, kuda jantan yang dinaiki Arya Penangsang, tak kuasa menahan hasrat. Terangsang. Ia mengejar kuda betina. Menyeberangi sungai. Menerjang wewaler: siapa menyeberangi sungai Bengawan Sore, akan menemui kemalangan.

Kelak langit sore menjadi saksi, ketika Danang Sutawijaya berhasil menghunjamkan tombak Kyai Plered ke tubuh Arya Penangsang. Dalam keadaan terluka, usus terburai, ia masih melawan. Sang kuda tak bisa diajak kompromi, ketika Arya Penangsang terluap kemarahan, menarik keris, ia terlupa, usus tersangkut di hulu keris. Sang kuda malah berlari karena birahi, hingga usus Arya Penangsang yang tersangkut, tertarik, ditarik, terputus, dan Adipati Jipang menemui ajal dengan cara mengerikan.

***

Ratu Kalinyamat tersenyum puas karena bisa memenuhi sumpahnya. Para dayang menyiapkan darah dan kepala Arya Penangsang untuk mandi keramas dan kesed sang ratu mereka. ***

.

.

Kota Ukir, 07 Oktober 2023-20 Februari 2024

Kartika Catur Pelita. Menulis prosa dan puisi bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Founder dan penggiat komunitas Akademi Menulis Jepara (AMJ). Karya sastra dimuat di puluhan media cetak-online, di antaranya: Suara Merdeka, Suara Pembaruan, Nova, Kartini, Republika, Media Indonesia, Kompas, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Solopos, Panjebar Semangat, Jayabaya, Djaka Lodang, Majalah Basis. Bukunya telah terbit: Perjaka, Balada Orang-Orang Tercinta, Perempuan yang Ngidam Buah Nangka, Karimunjawa Love Story. Buku terbarunya jelang terbit, Hujan Beras dan Tongseng.

.
.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!