Cerpen, Musafir Kelana, Republika

Patahnya Nostalgia di Tahun Ini

Patahnya Nostalgia di Tahun Ini - Cerpen Musafir Kelana

Patahnya Nostalgia di Tahun Ini ilustrasi Da'an Yahya/Republika

0
(0)

Cerpen Musafir Kelana (Republika, 19 Mei 2024)

KEPERGIAN Ibu menyisakan perasaan bersalah kepadaku. Tempo hari sebelum peristiwa nahas itu, ia menyesali diri ini tak bisa lagi mudik seperti dulu. Begitu beratkah kehidupan setelah menikah. Bagaimana pula jika sudah mempunyai momongan? Padahal ibu sudah merelakan uang belanjanya disisihkan demi mudik. Baju lebaran khusus telah dipersiapkan untuk menyambut si anak rantau. Hidangan cendol dan timun suri kesukaanku pun turut dipersiapkan sebagai bekal buka puasa, namun tak kunjung mudik.  

Keputusan Ibu untuk banting setir dari negeri rantau memaksanya beralih profesi dari berdagang menjadi pengurus rumah tangga. Apalagi ketika ayah benar-benar dinyatakan pensiun. Penawar kejenuhan cukup dengan beternak, menikmati sajian televisi dan sambung rasa lewat ponsel. Tidak tanggung-tanggung demi yang satu itu ia rela mengobral video call demi mengobati kerinduan. Takkan bisa terpuaskan hanya bicara ala kadarnya.

“Makanya jangan pernah pelit dan cuek kalau saya menelpon karena itu semua kulakukan sebagai obat pengangguran,” Ibu merasa terantuk batu besar di dada bila panggilannya diabaikan.

Hidupnya tak bisa sepi sepanjang hari. Itu juga menjadi pertimbangan kala memilih hunian di masa senja. Jangan pernah pilihkan rumah yang sepi seperti kuburan. Ia tak bisa hidup dengan orang yang selalu mengurung diri dalam rumah. Ibu pasti mencari kebiasaan ketika masih di pemukiman trans. Ingin ada tempat berbagi. Mencurahkan keluh kesah pada siapa pun yang penting mudah diajak bercerita. Jika semua itu tidak ada, bersiaplah obrolan akan digelontorkan lewat ponsel. Mumpung ponsel menyediakan obrolan video, mengapa tidak mimik emosi dilampiaskan lewat sana.

Sebenarnya ibu lebih memilih bertetangga dengan keluarga besar, namun ayah tak sepakat. Ayah paham benar dinamika hidup bersama keluarga besar sangat sensitif. Apalagi ibu mudah meledakkan emosi. Pertengkaran bisa menjadi langganan sehari-hari. Ia tak mau seperti itu. Rugilah pengalaman rantau bila tak berpikir dan berhati lapang.

Akhirnya ibu mengalah dan menerima saran ayah. Diputuskanlah memilih perumahan yang netral ini. Tidak lebih pada keluarga ayah atau pun ibu walau kondisinya telah lumutan. Di sisi lain, masih menjaga jarak dengan sanak famili untuk memelihara benih-benih kerinduan. Artinya darah perantau masih mengalir. Seperti kata orang bijak, jagalah jarak bila engkau ingin merasakan nikmatnya merindu.

Itulah warisan yang masih tersisa hingga kini. Masalahnya, warisan itu seperti garis kepasrahan saja. Ibu dan ayah hanya mengumpulkan cerita nostalgia negeri seberang. Adik-adikku, Dewi dan Illa juga terlena dengan keadaan. Cukuplah berkantor dan dapat rumah dinas. Ambisi? Sepertinya dalam keluarga kita tak ada garis tangan pengusaha dan politikus.

Gegara warisan itu, tidak ada yg tak bisa bercerita di sini. Demikian karena aku dan saudara turut serta ke tanah seberang. Melihat langsung orang tua membanting tulang. Itulah mengapa mudik menjadi penyubur nostalgia karena ada penyambung cerita. Hingga ketika ada pesta, aku dan adik-adikku menjadi sasaran empuk cerita. Ayah dan ibu menjadi pakar silsiĺah. Di saat seperti itu aku jadi tahu ternyata kita keluarga besar.

Tidak banyak orang yang masih menghitung sepupu 1 kali, 2 kali, 3 kali dan seterusnya, kecuali keluarga kita. Dewi nampak menggerutu dengan sikap ayah dan ibu. Menurutnya, tak perlu bertanya mana istri-suaminya, mana anaknya, mana cucunya. Kalau mereka menanggapi dengan pertanyaan  sama, kita gagap. Ayah dan ibu sibuk bergulat mencari alasan. Maklum, aku dan saudara masih lajang yang tunggang langgang. Setiap momen lebaran pertanyaan yang sama sering menjadi bumerang.

Ya, momen pesta dan lebaran kerap menjadi ajang mengenalkan anak, mantu jika perlu cucu. Akhirnya mereka akan menyimpulkan, “Jangan lama-lama menjomblo, nanti jadi perawan tua, lho. Bagaimana nanti kalau engkau menggendong anakmu dikira nenek dan cucu.” Tawa keluarga pun meledak. Dewi menunduk dengan wajah memerah. Seolah tawa mereka hanya untuk mengejeknya. Itulah pikiran Dewi. Aku berusaha tersenyum mengimbangi wajah-wajah yang “dikandang paksa.” Bagiku, perjuangan berat adalah tersenyum sambil menahan malu.

Di suatu pagi, semua pengalaman dirangkum bersama sarapan yang masih ngebul di teras rumah. Saat seperti ini, Dewi dan Illa tampil memainkan suasana. Terkadang memantik kembali romantika ayah-ibu kala masih di tanah seberang. Ia tinggal mengenang kisah manis ayah lalu meminta ibu mengaminkan atau tidak, di sanalah kesan romantikanya. Nampak benar wajah ibu akan menyeringai sehingga suasana menjadi khas. Di sanalah Dewi memainkan bakatnya sebagai tukang kompor. Aku lebih menikmati suasana ini daripada memelototi kabar politik TV yang membosankan.

Baca juga  Lima Menit Biola di Kelas Matematika

Makanya, ayah tiba-tiba mengingatkan, “Sssst, TV kok nyala sendiri?”

“Akulah pelakunya, hendak mengoprek kabar unik, hasilnya nihil, lebih baik ke teras mencari hiburan,” pungkasku pada ayah.

Jepretan kamera Ponsel Illa dan Dewi tak hentinya berkedip menangkap kenangan pagi itu. Ya, gelak tawa ibu dan ayah jangan sampai terlewatkan. Tak ketinggalan wajah cemberut Ibu ikut dijepret. Sesekali ia melirik para tetangga dan berkata, “Orang-orang di perumahan ini tak ada yang seperti kita, meramaikan pagi di teras.” Menurutnya, para tetangga mengawali pagi dengan menggeber mobil dan motor langsung pergi. Begitulah kesan perumahan, tempat orang-orang sibuk, jangankan bercerita, saling menyapa pun mahal.

Bagi ibu, nostalgia bersama keluarga penyumbang utama dalam hidupnya. Bisa dibayangkan jika ada seorang dari kami yang tidak pulang, seolah separuh nostalgia patah. Ibu terkadang seorang diri melampiaskan segala kejenuhan. Hendak mengandalkan ayah di sisinya? Tak selamanya ia tinggal di rumah. Biasa sepulang dari Masjid, ia mengobrol dengan para imam dan marbot hingga menembus batas waktu. Atau merawat lahan tidur perumahan menjadi kebun kecil-kecilan. Alasannya persis ibu, mengatasi kejenuhan saat di tinggal anak-anak. Dewi biasanya dibuat mumet atas kabar ibu dari ujung telepon. Sampai ia bisa menebak isi kabar itu. Pasti seputar uang belanja habis atau bertengkar dengan ayah.

Menurut ibu, lebih enak tinggal di perantauan karena di sana jika banyak pesta tak menyedot uang belanja. Di kampung, status keluarga besar beresiko ketika ada pesta. Menurut belitan tradisi, gengsi dipertaruhkan bila ingin membalas undangan. Isi amplop harus berlebih dari sebelumnya. Dì sinilah keluhan ibu tak terperikan. Kian miris kala ia mendapat kabar, sahabatnya terpaksa memutar arah kembali ke perantauan gegara itu. Ya, batal pulang kampung alias minggat.

***

Kehidupan menuju satu taraf usai anak merampungkan semua cita-citanya. Kata ayah begitu. Aku tak tahu apakah ini bisa dikatakan naik atau…??? Benakku tak bisa memastikan. Setidaknya kita tak merayakan nostalgia melulu. Ya, usai aku dan saudara melepas masa lajang, menurut ayah hidup semoga berubah. Kekhawatiran ibu padaku hanya satu, selalu ada resìko kala kehidupan terbagi.

Dewi kembali mengaduk suasana pagi. “Andai ibu yg didengar, kita akan begini terus, menjadi jomblo lumutan sepanjang waktu.” Ibu sudah menduga siapa otak dibalik kata-kata Dewi. Ayah tampak menahan tawa mendengar kata-kata putri semata wayangnya. Ia memperbaiki posisi duduknya sambil membaca keadaan. Ia tahu obrolan pagi bakal panas dan alot.

Patut kiranya menjaga jarak. Ibu masih ngotot dengan pengalamannya di tanah transmigran.  Semua watak manusia ada di sana karena tempat segenap suku berkumpul.  Apalagi memilih pasangan yang bertalian dengan watak sukunya. Kalau ada percontohan daerah “Bhineka Tunggal Ika”, transmigrasilah tempatnya. Jika ibu sudah mulai mengenang nostalgianya, alamat pentas cerita akan digelar. Maka tiadalah orang yang berani menyelak. Ia ibarat juru kunci nostalgia.

Nyaris setiap alurnya berisi pengalaman mengesankan. Dari sanalah petuahnya mengalir. Petuah itu akan mengajar sekaligus menghajar lawan bicara jika ketahuan membelot. Ayah pun telah dipegang kartu trufnya oleh ibu. Dewi dan Illa juga tak ketinggalan. Mungkin aku juga ada tetapi ibu tidak kerap membukanya. Tergantung seberapa sering menggaet hatinya. Wajarlah bila teman ayah di trans menjulukinya wanita Provost. Ayah pun biasa mengakui, sekiranya ibumu ini sekolah tinggi dia bisa menjadi pakar ilmu dan pasal-pasal.

“Lihat saja jidatnya lebih lebar daripada saya,” kata ayah dengan jenaka. Tawa pun kembali membahana di pagi itu. Dewi menambahkan, “Hanya saja, bahaya kalau jadi guru, setengah mati muridnya kena hukuman.”

Saya lebih banyak tahu karena darma wanita, biasa bikin acara bersama ibu-ibu ke pelosok desa. Bapakmu? Orang kantoran. Pasang gengsi. Tak peduli dengan pengalaman seperti ini. Menurut ibu, bapak dulu wataknya egois. Makanya hidup kita sekarang terseok-seok karena ia tak pandai menabung.

Baca juga  Pengakuan

Begitu banyak proyek di lokasi, hasilnya langsung ludes entah kemana? Makanya, saat itu Ibu selalu curiga padanya. “Jangan-jangan….” Aku langsung mengisyaratkan telunjuk di hidung, “Sssst… tak elok didengar tetangga, Bu.”

Tawa Bapak, Dewi dan Illa kembali pecah. Ibu merasa terpojok dan mulai meraih secangkir kopi panas. Ayah dan saudaraku mulai berjaga-jaga. Mereka sudah tahu, dalam suasana alot seperti ini kopi panas  berubah menjadi peluru ganas yang menyasar siapa saja. Aku berusaha menahan tangan Ibu dan menciumnya. Kubesarkan hatinya. “Tenanglah, Bu… sebentar lagi saya antar ke pasar.”  Betapa girangnya ibu mendengar kata-kataku. Ketegangan langsung reda.

Ia kembali menjempoli diriku sebagai anak kesayangannya. “Tidak sama dia,” telunjuknya kembali terhunus ke arah Dewi. “Pelit!!! Iya, sih, peduli tapi keluhannya segudang.” Hingga ibu melambungkan suara, “Kamu paling menyusahkan waktu kecil, bukan karena dilahirkan semata tapi lebih dari itu.” Kata-kata ibu memecah keheningan pagi.

Ya, menurut ibu, Dewi paling menyusahkan waktu kecil. Sakit-sakitan terus, sampai nekat diboyong menembus hutan belantara yg dihuni banyak anoa (seekor sapi hutan khas Sulawesi).  Sebenarnya, cerita Ibu sudah kutahan dengan membesarkan hatinya. Tetapi Dewi kembali mengompori. Hingga akhirnya kuberi isyarat arloji, akhirnya ia kembali melihat waktu menuju pasar kian menjelang.

***

Dewi memberi kabar, ibu sangat kesal, menurutnya, aku telah berubah. “Mentang-mentang ada pendamping sekarang, ibu dilupakan. Sudah kuduga ini akan terjadi.”

Aku segera menyambung pembicaraan pada ibu. Perasaan bersalah kian memuncak ketika kupanggil lewat ponsel tapi tak ada tanggapan. Setelah beberapa jam barulah diterima panggilanku. Ibu kelihatan pucat. “Ibu sakit?” Tanyaku was-was. Ia sampaikan keluhannya dengan kata-kata seadanya. Aku sering berkata padanya, sebanyak dan sesering apapun penawar jika beban pikiran menghantui, tak akan berpengaruh.

Menurutnya, di masa-masa senja begini apalagi yang akan diperbuat. Apalagi TV rusak, ternak unggasnya banyak yang mati. Dan parahnya lagi ayah selalu pergi berlama-lama jika ke Masjid dan kebun. Ia melarang ibu berjualan sehingga rutinitas diisi dengan beternak unggas, usai ayah membongkar paksa jualannya sebagai hobi selama ini. Ibu rela mengalah demi kebahagiaan di hari tua. Maka, beternak menjadi jalan satu-satunya.

Semua keinginan ayah sudah dituruti. Berjualan sudah dihentikan. Memilih tempat tinggal di garis tak berpihak juga sudah. Semua ambisi kehidupan telah diparkir. Giliran beternak unggas kini diributkan oleh ayah. Menurutnya kehidupan di tanah transmigran dengan perumahan seperti ini jangan disamakan. Hidup bertetangga di area perumahan lebih padat dan rapat sehingga beternak khawatir mengusik kenyamanan. Satu pertanyaan ibu, “Jadi, maumu apa?”

Aku semakin khawatir dengan kondisi ibu yang kabarnya sakit parah. Namun kekhawatiran itu berlalu ketika kulihat wajah ibu berseri-seri lewat panggilan video. Suara Dewi dan ayah pun menggoda penuh canda, “Sakit ibu itu obatnya hanya satu; tanggal muda.” Tawa mereka pun membahana.  Dadaku lapang lagi mendengar tawa ibu, ayah dan Dewi.

Adik perempuanku itu selalu yakin, ibu itu perempuan tegar dan tahan banting karena sesulit apapun penderitaan tanah rantau bisa dilewati. Bahkan saat pandemik, banyak tetangga terkena imbasnya, ia malah segar bugar wara-wiri. Bila perlu petugas pandemik pun dikelabui. “Sudah terbukti,” kelakar Dewi. Aku pun mengingatkan jangan takabur.

Memasuki tahun baru aroma Ramadhan kian terasa. Bulannya yang selalu maju menyebabkan perjalanan waktu tak terasa. “Sepertinya, Ramadhan ini kamu tidak mudik lagi?” Harapan ibu kembali menciut saat mengetahui istri masuk rumah sakit. Selepas itu, aku sering mendapati tatapan matanya tampak sayu. Seriuh apapun suasana ceria yang digelontorkan ayah dan Dewi, tatapan mata ibu benar-benar kosong. Kali ini ia benar-benar berbeda.

Tatapannya serupa ketika dia menegur judul cerpenku yang dimuat di salah satu koran terkemuka. “Pamitan pada Masjid 99 Kubah.” Menurutnya, kata “pamitan”, terasa kurang nyaman. Seolah itu satu firasat untukku yang selalu ingin pergi, takkan kembali. Begitulah pemahaman ibu yang peka dengan maksud kata sehingga ia berprinsip, kata adalah do’a. Mana mungkin ada orang waras berdoa tidak baik bagi dirinya sendiri.

Baca juga  Jagat Damar

Selepas itu, aku berhasil membuktikan masih bisa mudik. Walau harus diakui sesudah melepas masa lajang kondisiku terseok-seok. Pada akhirnya benar-benar tak bisa mudik. Ibu sampai berpesan menohok, “Jika tahun ini tak bisa lagi mudik, berarti rumah tanggamu tidak baik-baik saja. Tak usah ditutup-tutupi… Maksudmu apa? Kamu berkata aman-aman saja sementara istrimu bilang sedang di rumah sakit.” Setelah mengatakan demikian, ibu kembali dengan tatapan sayu.

Keluhannya kini tentang angka diagnosanya yang tak berubah. Aku hanya menyarankan, dikontrol bagaimana pun kalau beban pikiran membayang sulit berubah. Ibu hanya menghela napas sambil berbicara datar. “Yah, sudahlah…, yang penting sudah berusaha.”

Itulah kata-kata terakhirnya sebelum peristiwa kepergiannya yang mengejutkan banyak orang. Seolah baru kemarin ia memimpin keluarga melamar calon istri keponakannya dengan tutur kata yang sukar ditiru. Kini ia benar-benar meninggalkan kita semua. Menurut pengakuan keluarga, tak biasanya ibu sangat lahap makan di pesta. Bahkan sempat membungkus jajanan serba-serbi. Mirip orang yang menyiapkan bekal perjalanan.

Hanya ini saja pesannya mirip wasiat, “Kamu dan Dewi kuandalkan datang ke pesta, ibu tak perlu dirisaukan.” Tiada sepatah kata pun terucap dari lisan ibu saat terbaring di Rumah sakit. Sekiranya bukan gambar ICU melatari kiriman videonya takkan mungkin perasaan setegang ini. Pasalnya sakit parah selama ini kerap berakhir dengan kesembuhan dan kembali segar bugar. Hanya karena tergelincir depan kandang ternak, Sang ilahi memanggilnya.

Dewi dan Illa menyangka hanya sakit biasa. Makanya mereka masih tenang-tenang saja di tanah seberang. Kiriman video terakhir inilah yang menguras emosi. Wajah ibu pucat pasi dan tak bisa menimpali walau hanya sekadar isyarat. “Bu, ini anakmu dalam perjalanan mau pulang….” Malah ibu menjawabnya dengan mata terpejam dan air mata yang mengalir di pelupuknya.

Akhirnya Canda Dewi yang selama ini mengaduk suasana terpaksa rontok seketika usai melihat video itu. Terganti ledakan tangis tak terkira sepanjang pembicaraan.

Pandanganku seperti berputar melihat langit. Pikiran bingung itu serupa gasing raksasa yang mengguncang dada dan mengaduk pikiran. Dalam keadaan sempoyongan aku menembus liku-liku kebutuhan dengan sangat mendesak. Bola mata mulai meleleh bersama ketukan pintu meminta belas kasih sang pimpinan. Akhirnya, aku dibolehkan pulang.

Langit Jakarta nampak temaram mewarnai batas senja sepanjang perjalanan. Pertanda hujan akan turun. Benar saja, hujan mengguyur bandara Soetta. Semoga ada keajaiban dari Tuhan sehingga aku bisa berjumpa ibu dan bercanda merias pagi.

Di jembatan udara ini tak henti-hentinya air mata mengetuk pintu-Nya sampai pesawat mendarat di kota Anging Mammiri. Aku membuka layar ponsel dan membaca berita. Ternyata, Tuhan berkehendak lain, Ibu telah pergi untuk selama-lamanya.

Tiada lagi juru kunci nostalgia itu. Tidak ada lagi yang akan merias pagi. Tiada lagi yang akan menemani ayah menjalani Ramadhan. Memburu ranumnya bulan di sepuluh malam terakhir sembari merawat nostalgia berdua. Padahal dia yg selama ini khawatir atas cerpen “Pamitan….” menimpa diriku, justru ia yang pamitan lebih dulu.

Hujan pun seolah menjadi tanda sejak dari bandara keberangkatan. Begitu berkesan kepergian ibu hingga Tuhan membuat langit Jakarta dan langit Makassar menyatu dalam hujan. ***

.

.

Musafir Kelana, lahir di Atari Jaya, Sulawesi Tenggara, 1982. Tinggal di Pebayuran, Bekasi. Cerpennya pernah dimuat di Harian Republika: Pamitan pada Masjid 99 Kubah. Kumpulan cerpennya Rindu di Seberang Lautan. Tergabung dalam Yayasan Ulil Albab Center bersama Bachtiar Adnan Kusuma, penerima penghargaan Nugra Jasadharma Pustaloka dari Perpustakaan Nasional sebagai Masyarakat Penggerak Literasi Nasional.

.
Patahnya Nostalgia di Tahun Ini. Patahnya Nostalgia di Tahun Ini. Patahnya Nostalgia di Tahun Ini. Patahnya Nostalgia di Tahun Ini. Patahnya Nostalgia di Tahun Ini. Patahnya Nostalgia di Tahun Ini. Patahnya Nostalgia di Tahun Ini.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!