Arif Mustofa, Cerpen, Suara Merdeka

Mbah Usrok

Mbah Usrok - Cerpen Arif Mustofa

Mbah Usrok ilustrasi Hery Purnomo/Suara Merdeka

3
(1)

Cerpen Arif Mustofa (Suara Merdeka, 26 Mei 2024)

GENAP sepuluh tahun sudah Yusron atau biasa dipanggi Mbah Usrok hidup sebagai penjaga kandang kambing milik Haji Apriono atau biasa dipanggil Kaji Budi.

Biasalah orang Jawa, sering mengubah konsonan H menjadi K pada panggilan haji.

Terkait panggilan Budi konon karena beliau seorang yang baik budi pekertinya.

Sedang hal panggilan Mbah Usrok tentu juga ada hal ihwal penyebabnya.

Panggilan Mbah sebelum nama Usrok karena meski masih muda, perilakunya sangat bijak, seperti seorang mbah-mbah.

Begitu kata kawan-kawannya di kandang kambing Kaji Budi.

Kandang kambing milik Kaji Budi posisinya berhadapan dengan sebuah pasar krempyeng.

Orang-orang biasa menyebutnya dengan nama pasar Krempyeng Wagenan.

Karena pasar ini hanya buka tiap pasaran Wage dan berlangsung sebentar.

Pasar ini tidak hanya menjadi pusat transaksi jual beli masyarakat desa itu.

Tapi juga sebagai tempat bertukar informasi.

Kabar yang di bawa ke pasar Krempyeng Wagenan dengan demikian cepat menyebar.

Dengan mendapat bumbu-bumbu tambahan tentunya.

Kabar yang di bawa ke pasar krempeng Wagenan menjadi seperti kapas yang terkena angin.

Melayang dan menyebar ke mana-mana.

Menjadi liar tak terbendung.

Pukul enam pagi pasar Krempyeng Wagenan sudah mulai menggeliat.

Hiruk pikuk penjual dan pembeli mulai terdengar.

Juga motor mulai berseliweran hilir mudik.

Beberapa berhenti untuk berbelanja sedang yang lain sekadar lewat.

Penduduk sekitar pasar, biasanya datang setengah tergesa.

Khawatir tidak kebagian kebutuhan yang akan dibeli. Jadilah pasar ini menjadi cepat padat tapi juga cepat berakhir.

Suasana pasar Krempeng pagi itu tidak berlaku di kandang kambing kaji Budi.

Kandang kambing kaji Budi masih sepi.

Mbah Usrok yang biasanya mulai bekerja sebelum matahari terbit, pagi itu belum nampak batang hidungnya.

Baca juga  Kabar dari Semar

Sepertinya masih mendengkur di kamar kecil di samping kandang tempat biasa ia tidur.

Mbah Usrok dikenal sebagai penjaga kandang yang rajin.

Berbeda dengan anak kandang Kaji Budi yang lain.

Mbah Usrok selalu konsisten bagun ketika matahari belum menyembul.

Setelah melaksanakan shalat Subuh, lalu ia segera bergegas membersihkan kandang.

Ia selalu memulai menyapu dari kandang Si Bromo yang berada paling pojok timur, lalu berurutan hingga kandang Si Cakil.

Kandang nomor 76 paling barat.

Selain rajin, Mbah Usrok juga termasuk karyawan yang pendiam dibanding yang lain.

Bila para karyawan lain masih meluangkan waktu untuk bercanda sambil ngopi di depan kandang, Mbah Usrok lebih suka menyendiri.

Biasanya dia suka duduk di teras kamarnya sambil membaca buku Kahlil Gibran atau buku Chicken Soup.

Bila pada akhir pekan para anak kandang Kaji Budi keluar bersama, sekadar cuci mata di pasar malam, maka Mbah Usrok lebih memilih menyendiri di kamarnya.

Teman-teman mbah Usrok yang mengetahui hal itu, adakalanya membawa oleh-oleh beberapa biji tahu petis makanan khas pasar malam di lapangan desa.

Dan Mbah Usrok akan mengucap terimakasih berkali-kali setelah menerima oleh-oleh tersebut.

Hingga terjadilah hari ini.

Para anak kandang dikagetkan oleh kabar bahwa Mbah Usrok belum bangun dari tidurnya.

Kasak kusus cepet terkabar. Beberapa dugaan buruk pun sontak terdengar.

“Jangan-jangan dia sakit.”

“Apakah dia mogok kerja karena cintanya ditolak.”

“Apakah dia akan pindah kerjaan sehingga memilih tidur ketika waktunya kerja”.

Begitulah sebagian pertanyaan terlontar dari para anak kandang.

Sementara Mbah Usrok masih mendengkur di kamar sempitnya.

Kaji Budi yang dihubungi Sastro, salah satu anak kandang langsung bergegas masuk ke kamar Mbah Usrok.

Baca juga  Sanksi Adat

“Srok…. ayo bangun. Kamu sakit?” kaji Budi menggoyang pundak Mbah Usrok yang masih meringkuk terbungus sarung coklat kumal.

“Hmmmmm….” Mbah Usrok menggeram

“Kamu sakit?”

“Tidak,” matanya masih terpejam. Sedang nafasnya masih teratur satu-satu.

“Kenapa masih tidur kalau tidak sakit?” tanya kaji Budi semakin penasaran.

“Anu… lagi malas bangun,” jawab Usrok sekenanya. Seakan tanpa beban.

“Aku juraganmu lho. Haji Apriono”

“Iya, Ji. Saya tahu,” jawab Mbah Usrok sambil membuka mata sebentar lalu kembali memejamkannya. Kakinya semakin rapat melingkar.

Begitulah pagi itu. Kasak kusuk hal Mbah Usrok yang belum bangun makin santer terdengar.

Bahkan kabar itu sampai di sekitaran pasar. Beberapa tidak peduli. Sedang beberapa yang lain terkejut.

“Biasanya seperti itu karena jatuh cinta,” kata Lik Man sambil nyeruput kopi di kedai Yu Nur seberang jalan.

“Mungkin saja. Lha dia juga sudah waktunya menikah,” kang Mul yang sedang memperbaiki ruji sangkar burungnya tiba-tiba ikut menimpali.

“Tapi sama siapa? Lha dia tidak pernah keluar dari komplek kandang Kaji Budi. Paling jauh dia ke warung Kang Sopyan Gondes beli rokok.” Lik Man ragu dengan prediksinya sendiri.

“Lha iya… tidak biasanya dia itu aneh. Lha anaknya alus lho. Tidak suka aneh-aneh,” kata kang Mul sambil pergi ke belakang warung.

Matahari telah sepenggalah lewat.

Namun, Mbah Usrók masih belum ada kabar telah bangun dari tidurnya.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh Kaji Budi dan anak buahnya.

Tapi hasilnya nihil.

Mbah Usrok tetap memejamkan mata dan berbaring miring menekuk lutut.

Sedang sarung masih menutupi punggungnya hingga ke leher.

Kabar Mbah Usrok tidak mau bangun sudah semakin luas.

Seperti kucuran air dalam gundukan debu, pelan tapi pasti merambat.

Baca juga  Penagih Hutang Bersepeda Kumbang

Membasahi ke berbagai arah.

Dan kabar Mbah Usrok menjadi semacam komoditi empuk untuk menjadi bahan pembicaran.

Namun kabar menghebohkan itu tidak berlaku bagi haji Sugio.

Peternak sapi Ongole yang kaya raya itu tidak sedikitpun terkejut.

Sejak pagi senyumnya mengembang.

Sudah tiga cangkir kopi dan lima batang rokok kretek dia habiskan.

Tidak ada rasa bahagia yang dia rasa melebihi pagi ini.

Setelah hampir tiga bulan pikirannya kalut.

Memikirkan harga dirinya yang dipertaruhkan. Juga masa depan anak perempuan satu-satunya.

“Semua berjalan dengan baik. Anakku akan segera punya suami. Perkara siapa ayah biologis dari anak yang dikandungnya, itu ah… sudahlah,” kata haji Sugio dalam hati.

Dan kembali, ia seruput kopi yang tinggal ampas.

Sementara itu, dari balik sarung kumal, dengan mata terpejam, Mbah Usrók pikirannya terus melayang-layang.

Penuh keraguan.

Sebentar ke kambing-kambing Kaji Budi, lalu ke kandang sapi haji Sugio.

Dan dalam kebimbangan itu, kata-kata Kahlil Gibran terus meresap masuk ke setiap sendi tubuhnya.

Mengalir di setiap jaringan syarafnya, masuk ke jantung lalu naik dan berhenti di kepalanya.

Cinta turun ke dalam roh kita melalui kehendak Tuhan, dan bukan melalui kemauan manusia sendiri” – Kahlil Gibran.

Mbah Usrók semakin kalut. Pikirannya kacau balau. Tapi tiba-tiba senyumnya mengembang. ***

.

.

Arif Mustofa, tinggal dan kelahiran Pacitan, 22 Februari 2024.

.

.

Loading

Average rating 3 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!