Cerpen Satmoko Budi Santoso (Kedaulatan Rakyat, 17 Mei 2024)
SALAH satu moda transportasi darat yang disukai pakar pembuat puisi alias penyair Joko Pinurbo adalah becak. Saya pernah menjumpai Joko Pinurbo naik becak sendirian di jalanan kota Yogyakarta puluhan tahun silam.
“Wah mau ke mana Pak Penyair kok naik kendaraan roda tiga berbadan tambun,” kata saya.
“Biasalah penyair harus bisa melengkapi kegembiraan dengan menyusuri kota yang bisa saja memandang dengan penuh curiga,” jawab Joko Pinurbo.
Tukang becak yang membawa Joko Pinurbo pun nimbrung bicara. Saya naik motor di dekatnya. Sebelah kanan.
“Kalau yang naik becak Mas Joko Pinurbo saya juga mau sekalian jadi serupa roda. Tak kenal ngos-ngosan saya akan mengantar ke mana saja sesuka hati,” ujar si tukang becak.
Becak itu pun melaju kencang. Saya pindah posisi mengendarai motor di belakang becak.
Si tukang becak mengayuh becaknya sangat kencang membuat saya justru ikut ngos-ngosan, senam jantung keras, meskipun naik motor.
Saya menjadi saksi becak yang ditumpangi Joko Pinurbo menyalip motor, truk, bus, dokar, orang sedang lari, dan lainnya.
Si tukang becak melajukan moda kesayangannya super kencang bagaikan buraq.
Berbagai tikungan, tanjakan, belokan, dilalui secepat kedipan mata. Si tukang becak memang seperti kesetanan, namun anehnya tak satu kali pun mencelakakan orang lain.
Saya teriak berkali-kali menanyakan tujuan pergi becak itu.
Joko Pinurbo malah tertawa terpingkal-pingkal. Begitu pula si tukang becak ketawa begitu keras sepanjang perjalanan ngebut benjut itu. Becak itu melaju tanpa tanda-tanda mau berhenti hingga memasuki jalan tol.
Terus saja melaju tanpa hambatan hingga tiba-tiba terbang begitu saja menjadikan tol sebagai landasan pacu.
Joko Pinurbo dan si tukang becak terus tertawa di udara, semakin menggemaskan. Meskipun dalam situasi terbang si tukang becak itu terus mengayuh becaknya. Banyak orang tentu saja mengabadikan momen dahsyat itu dengan memo tret berkali-kali hingga muncul di koran-koran.
***
Selain kisah tentang becak, kenangan saya tentang penyair Joko Pinurbo adalah ketika ia menganggap kereta api menjadi bernilai spesial karena sejumlah alasan. Salah satunya karena bisa berbunyi tut tut tut dan menginspirasi adanya lagu “naik kereta api tut tut tut, siapa hendak turun, ke Bandung, Surabaya….”
Alasan lainnya karena kenangan bepergian jauh saat masih menjadi penyair pas-pasan dan belum tersohor serta hujan prestasi adalah mengandalkan kereta api biasa kelas ekonomi. Maka Joko Pinurbo menjadi susah menuliskan puisi saat dirinya sadar ternyata naik kereta cepat, kereta super istimewa.
“Waduh kereta apinya kurang miskin karena terlalu mewah. Puisiku tak ada yang mau menjelmakan dirinya,” seloroh Joko Pinurbo.
Berkali-kali Joko Pinurbo mencoba menulis puisi di kertas dan ponsel tak jua keluar kata yang diharap. Padahal sudah muncul dalam imaji, tinggal dituliskan tapi hurufnya tetap ngambek
“Wah payah kok tumben ya puisiku saat ini kembali mengajak miskin. Padahal kadang mau juga menuliskan yang agak mewah,” Joko Pinurbo meracau sendiri.
Gagallah Joko Pinurbo melahirkan puisi di atas kereta cepat. Puisinya berontak ingin naik kereta api biasa kelas ekonomi. Kereta api jadul. Supaya leluasa mengumbar kata sebab dikelilingi bau keringat dan parfum murahan yang justru lebih merangsang serta memandu hasrat menghunjam kata-kata. ***
.
.
Yogyakarta, 2024
*) Satmoko Budi Santoso, sastrawan. Tinggal di Tembi Tempel RT 5, Timbulharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta.
.
Dua Kisah tentang Joko Pinurbo. Dua Kisah tentang Joko Pinurbo.
Leave a Reply