Cerpen Benny Arnas (Kompas, 02 Juni 2024)
DI bawah kepak burung-burung nasar yang lalu-lalang di angkasa, Fillia dan Abram beradu pandang pada sebuah senja di halte 21 di tepi Kisufim Road, jalan raya yang memanjang dari perbatasan Gaza hingga lembah-lembah subur di Jerusalem. Gadis 25 tahun berambut pirang sebahu itu meneguk liur, sementara pemuda sebayanya dengan cambang tanpa janggut itu menghela napas berkali-kali.
Kedua pengajar di Nofei ha-Bsor High School itu setahun belakangan menyangsikan darah yang mengaliri diri. Diskusi intens mereka sejak tiga tahun lalu tentang apa yang terjadi di Jalur Gaza, neraka yang hanya berjarak 35 kilometer dari permukiman mereka di Jaralim, distrik di barat Kisufim, selalu menghadiahi malam-malam mereka dengan mimpi buruk.
“Aku bisa saja memilih terjaga sepanjang malam,” kata Fillia suatu hari. “Namun, pasti aku tidak bisa mengajar dengan baik,” lanjutnya seraya mengikat rambutnya dengan karet di pergelangan tangan kanannya.
“Kalau saja kau laki-laki, Fillia,” kata Abram ketika ia melirik ke papan jadwal keberangkatan bus, “pasti kita sudah sering membicarakan kekejaman bangsa kita hingga larut malam atau dini hari.”
Pemudi berambut ikal itu tersenyum lebar. Lalu mengangguk. “Jadi, kapan kita akan akhiri kegelisahan ini?”
“Segera,” kata Abram seraya mengelus cambangnya. “Satu-dua hari ini Astrech akan mengabariku.”
“Kau tak pernah cerita tentang Astrech,” Fillia protes. “Dia warga Jerusalem?”
Bram mengangguk. “Dia bekerja di St. Louis French Hospital, bagian laboratorium.”
“Rumah sakit terkemuka, Bram?” Fillia memegang keningnya, lalu tangannya beralih ke pinggang. Kini ia mondar-mandir sebelum membungkuk ke arah laki-laki Yahudi keturunan Mesir itu. “Kamu yakin … kalau …”
“Aku punya orang dalam, Lia.”
“Yahudi tulen?” Fillia seperti merasa perlu teryakinkan.
“Dan dia tidak meragukan keyahudian kita, Fillia,” Abram kembali memotong. “Tapi, sama seperti kita, dia juga gelisah dengan penyerangan membabi-buta IDF itu.”
“Gelisah? Hanya gelisah?”
Abram terdiam, seperti memikirkan ulang apa yang barusan ia katakan.
“Dan kau sudah menceritakan kepadanya tentang rencana kita?”
“Aku tidak bilang sespesifik itu,” Abram mencoba mengelak. “Aku membawa-bawa status yatim piatu kita, Fillia.”
Fillia terdiam.
“Meskipun, aku pikir, dari seringnya kami bercerita tentang sikapku yang berseberangan dengan neo apartheid di Gaza …”
“Dan Tepi Barat.”
Abram menggeleng pelan. Ia tahu kekasihnya sedang emosi. Ia melanjutkan, “Astrech pasti menghubungkan sikap kritisku terhadap kebijakan perdana menteri kita dengan rencana tes DNA itu.”
Fillia menghela napas. Ia melihat sekeliling. Kisufim Road lengang.
“Fillia,” Abram meninggikan suara, “apa yang kau pikirkan sekarang? Kau ingin membatalkan tes DNA kita?”
Fillia menggeleng, tapi ia masih diam.
“Tidakkah apa yang terjadi kepada David dan Jeona lebih dari cukup? Bagaimana kedua tentara IDF itu menembaki anak-anak–tak pandang muslim ataupun kristen–di Jalur Gaza dengan membabi buta dan berurai air mata sebelum akhirnya mereka digiliring ke rumah sakit jiwa?”
“Tes DNA mereka menunjukkan kalau mereka Yahudi tulen, Bram,” bahu gadis itu turun naik. “Meskipun bukan Yahudi Khazaria.”
“Kita tidak mengejar darah Yahudi nenek moyang kita itu, Lia,” Abram mengingatkan. “Aku pikir seharusnya kita bisa fokus sekarang.”
Fillia mengangguk dan menunduk. “Kalaupun kita adalah keturunan bangsa, yang sebagaimana riset Elhaik, adalah Yahudi yang mulia itu, empati kita serta-merta takkan berubah haluan. Begitu, ‘kan, Abram?”
Ponsel Abram berbunyi. “Besok kita harus ke Jerusalem, Lia,” katanya setelah membaca pesan di ponselnya.
Fillia membelalak. “O ya?”
“Apa yang kau pikirkan lagi?” Abram mendekatkan wajahnya hingga dua kilan di depan wajah gadis sebayanya itu. “Izin mengajar sudah kuurus. Aku sudah mengirim lembar praktikum Interaksi Magnet ke Margareth yang akan menggantikanmu tiga hari ke depan. Apa lagi?” Mata pemuda itu mengerling. “Kita naik bus. Tiga kali sambung. Lusa sebelum siang kita sudah tiba. Kita menginap di rumah temanku di Bethlehem.”
“Baik,” Fillia menggigit bibir bawahnya dan mengangguk cepat. “Kita bertemu pukul 9 pagi besok di Kisufim Kilometer 21.”
Abram menarik Fillia ke dadanya. Mereka berpelukan. “Aku tidak akan ke sinagog dan kau akan absen dari gereja besok, kan?” bisik pengampu pelajaran Sastra Timur Tengah itu di balik telinga sang kekasih.
Suara menderum menghampiri halte.
Guru Fisika itu mendorong Abram. “Busku sudah datang,” ia melambaikan tangan begitu menjatuhkan pantatnya di bangku di tepi kaca jendela. “Sampai jumpa besok!”
***
Di antara pasien yang sedang menikmati matahari musim semi di taman terbuka St. Louis French Hospital, mereka menghabiskan makan siang: hamburger untuk Fillia dan roti lapis tuna di tangan Abram.
“Ini,” Abram mengangsurkan sebuah amplop di atas meja ketika kekasihnya menghabiskan gigitan terakhir makan siangnya. “Semoga kita bisa sama-sama patuh pada janji kita: baru membuka hasil tesnya setiba di Tel Aviv.”
“Wah, sepasang kekasih yang selalu gelisah itu sedang menikmati matahari musim semi,” seseorang berseragam perawat mendekat dan bergabung.
“Ini Astrech,” Abram memperkenalkan pemuda pirang berperawakan kurus itu.
Fillia menyambut uluran tangan pemuda yang ia taksir berusia 3-4 tahun di atas Abram itu. “Abram sering cerita tentang kamu. Terima kasih sudah membantu kami,” kata Fillia ketika laki-laki bermata coklat itu menatapnya.
“Tenang,” Astrech membuka tutup tumbler-nya. “Aku hanya membantu yang bisa kuupayakan,” suaranya terdengar tenang sebelum ia minum dari tumbler-nya. “Apa pun hasilnya, aku tak tahu dan tak mau tahu,” ia tersenyum. “Kalian benar-benar akan pulang sore ini?”
Abram dan Fillia mengangguk. “Kufla pukul 8 malam,” jawab Abram seraya mengedip ke arah kekasihnya.
“Bangku tengah,” sambar Fillia, meyakinkan.
“Wah, detail sekali!” Astrech tertawa. “Baiklah,” ia kemudian bangkit. “Aku masih ada pasien. Beri tahu aku kalau kalian sudah di bus,” ia merangkul sepasang kekasih itu bergantian.
***
Bus berangkat empat jam lebih awal dari jadwal yang mereka informasikan kepada Astrech. Kami mau jalan-jalan ke Tembok Ratapan. Mungkin kami akan mengambil bus pukul 10 malam. Terima kasih atas semuanya, Astrech, ketik Abram di ruang obrolan WhatsApp. Ia dan Fillia saling pandang.
Mereka tahu, di Israel, tidak ada yang bisa mereka percayai. Apalagi seseorang yang tahu bahwa ada pasangan Yahudi yang berempati kepada Gaza sedang menguji DNA mereka.
“Katakan,” desak Fillia. “Kau sudah membuka amplopmu?”
Abram menggeleng. “Bukan tidak mungkin pihak keamanan atau mata-mata Jerusalem sedang mengikuti kita saat ini,” katanya lirih.
“Apakah itu artinya DNA kita …?” balas Fillia, juga lirih.
Abram menggeleng. “Aku tidak tahu, tapi menurutku, kita langgar saja janji itu. Buka saja amplopnya sekarang.”
Fillia mengangguk cepat. Mereka berdua, dalam debar dan denyar yang susah dijelaskan, membuka amplop masing-masing.
Dua, tiga, lima detik kemudian, mereka membeku di hadapan tabel yang tercetak di atas kertas hasil tes bertanggal 13 April 2044 di tangan mereka.
Bagai lepas dari tersirap, Abram gegas menukar kertasnya dengan milik Fillia. “Jangan tampakkan keterkejutan, Sayang,” bisik Abram.
Fillia, yang sedang menutup mulutnya dengan tangannya, tak kuasa menahan hawa hangat yang menyerang kedua matanya.
Beberapa saat kemudian, mereka dikuasai pertanyaan yang mengetuk-ngetuk kewarasan. Mereka tak habis pikir, bagaimana bisa mereka abai memperkirakan datangnya momen dramatik ini.
Dua puluh jam berikutnya, mereka adalah dua orang asing dalam bus yang sama. Bisu, kaku, dan beku, sampai kemudian ….
Bus mengerem mendadak di distrik Beeri. Mereka telah memasuki Tel Aviv.
Serombongan tentara naik ke dalam bus. Abram berdiri dan melongok ke luar lewat kaca jendela yang menjadi tempat Fillia menyandarkan sisi kanan kepalanya sedari tadi. Abram perlu memastikan, apakah ada Astrech di antara mereka.
Ternyata hanya pemeriksaan biasa. Bus kembali melaju.
Di samping Abram, sepasang mata indah itu menatapnya, sendu.
Ketika bus memasuki kilometer 15 jelang sore, gadis itu menjatuhkan kepalanya di bahu Abram. “Aku iri dengan darah Palestina yang mengalir deras dalam dirimu, wahai laki-lakiku,” bisiknya, antara pedih dan bangga. “Apakah kau sudi punya pasangan hidup seorang humanoid kristen dengan cloud Bangsa Palestina-Jawa sepertiku?” Abram bergeming. Tatapannya kosong, tapi bibirnya tersenyum.
Bus terus melaju. Lima belas menit lagi mereka akan tiba di kilometer 21. ***
.
.
Natuna—Gorontalo, 2024
.
Catatan:
IDF: Israel Defense Forces.
Cloud (Computing): Bank ingatan manusia yang pernah hidup di masa lalu. Elon Musk memperkirakan, manusia robot (humanoid) di masa depan, selain memiliki penampilan fisik yang wajar, juga memiliki cloud computing sebagai “jiwa” mereka.
(Eran) Elhaik: Ahli genetika Israel. Riset mutakhirnya menyatakan bahwa bangsa Israel tak memiliki DNA Khazaria yang merupakan nenek moyang Bangsa Yahudi.
.
.
Benny Arnas, menulis 31 buku.
Haris Purnomo lahir di Delanggu, Klaten. Lulusan SSRI atau STSRI yang kemudian lebih dikenal dengan Asri. Aktif berpameran di dalam maupun luar negeri termasuk di Beijing, Hong Kong, Seattle, Milan, lugano, dan Melbourne.
.
Musim Semi di Kisufim Road. Musim Semi di Kisufim Road. Musim Semi di Kisufim Road. Musim Semi di Kisufim Road.
Maryono Sucipto
Remeh temeh mubazir