Cerpen D Hardi (Koran Tempo, 02 Juni 2024)
SESUNGGUHNYA tiada perjumpaan yang kebetulan, dan percayalah, bila suatu hari kau berjumpa si Kuda Pirang Montana, yang bakal kau hadapi hanya sejuta penderitaan.
***
APA yang lebih berbahaya dari seorang penembak ulung yang menembak lebih cepat dari bayangannya?
Bila kau tanya semua jagoan sepanjang Durango hingga dataran gurun Arizona, jawabannya telak menuding Leona, alias Daria, alias Anna; sesosok penembak jitu jelita yang mampu membabat habis lima belas merpati dalam lima belas letusan, melubangi koin dalam jarak sepuluh depa, melesakkan sebutir peluru persis di jidatmu sambil melaju di atas pelana.
“Yang paling vital tentu pesonanya.”
“Coba dengar bualan ini, Ed.” Lelaki pertama mengintip pelan-pelan kocokan kartu.
“Pesonanya mesiu beracun. Membekas lebih awet dari ciuman perawan mana pun di seantero Barat,” lanjut lelaki dekil itu, mendelikkan sebelah biji mata.
“Terdengar bak pelacur!” seloroh lelaki kedua. Tawanya mendahului napas tengik kedua konconya.
“Pelacur pencabut nyawa, tak salah lagi.”
“Aku pernah jumpa pelacur begituan. Mereka memang punya pistol. Sepucuk pistol yang mungil,” lelaki ketiga mengacungkan jari kelingking. Ketiganya mengakak hebat.
“Luigi, tambahkan minuman orang ini. Aku mulai suka dongengnya. Kebetulan kami habis menjalankan tugas negara. Butuh hiburan,” pinta lelaki kedua pada peracik minuman di belakang meja bar. “Kita harus menghargai fiksi,” ia melanjutkan.
“Itu perampokan, Ed,” tukas lelaki ketiga.
“Hanya sebuah cerita. Sekadar pengingat,” ucap lelaki dekil itu menggoyangkan isi gelasnya yang telah tandas sejak tadi.
“Apa itu ancaman?”
“Maaf?”
“Apa itu ancaman, heh?”
“Bill, rilekslah sedikit ….”
“Lihat, mukanya jadi pucat.”
“Aku tak ada maksud. Selalu begini. Banyak omong kalau sudah banyak minum.”
“Sudahlah. Ayo, selesaikan apa yang kau mulai, kawan.”
Bibir retak si lelaki dekil merekah lagi. Luigi menghampirinya dan menuangkan tak lebih dari seperempat saja isi gelas, “Sebetulnya siapa gerangan si pirang liar ini, dari mana awalnya?” ia turut penasaran.
“Jadi begini ….”
***
SI gadis sudah yatim sejak usia sepuluh. Orang tuanya punya banyak anak dan miskin. Musim dingin kala itu terasa lebih panjang dan bengis. Ayahnya pergi berburu ke pedalaman hutan sampai akhirnya tak bisa lagi bertahan.
Demi meringankan beban, sang ibu terpaksa mengirimkan si gadis pirangnya ke sebuah kenalan di sebuah kota kecil yang jauh rentang setahun sejak ayahnya dikubur tanpa upacara apa pun. Usia yang jauh dari matang untuk menyadari bahwa tak selamanya mentari akan bersinar setelah amuk badai. Keluarga barunya lebih bengis dari musim dingin.
Dunianya sudah dimulai setiap empat pagi. Ia harus mencuci piring, mengumpulkan kayu bakar, mengikat jerami, membikin sarapan, menimba air, memberi makan sapi dan babi, menyapu halaman dan rumah dan sekian tugas lainnya hingga hari mulai gelap. Tak jarang melewati makan malam. Curi-curi istirahat berarti membangkang: hukuman menanti.
Gadis lugu usia belasan. Betapa pedihnya. Ia ingin keluar. Bermain di padang sabana. Memancing ikan. Berlari mengejar kereta. Mengganggu bocah-bocah ingusan. Memetik bunga-bunga dan apel. Menunggangi seekor kuda putih, bersayap, lantas mengangkasa menembus langit lazuardi! Ya, ia ingin terbang menembus awan, sebebas burung-burung liar, merengkuh tangga-tangga pelangi. Meninggalkan rumah neraka yang meninggalkan luka—di punggung, kaki, dan hati. Meninggalkan wanita penyihir peyot dan anak semata wayangnya yang manja penuh gelambir, dan tentu saja, terutama, meninggalkan lelaki bedebah yang pernah membikin selangkangannya berdarah di suatu malam di ladang sepi.
“Tak ada siapa pun yang boleh tahu kalau kau ingin terbangun lagi besok pagi.”
Suatu hari ia berhasil kabur. Ia berlari dan terus berlari, mengejar kereta yang sedang berhenti lalu menyelinap di antara gerbong-gerbong. Ia sembunyi dari petugas di balik tumpukan ternak dan jerami ketika tak dinyana, seorang bocah ikut sembunyi di belakangnya.
“Kau dari mana?” tanyanya pada bocah yang terlihat berhari-hari seperti kurang makan itu.
“Wyoming. Kau sendiri?”
“Kandang serigala, menuju pulang.”
Mereka lantas berteman. Tak sulit bagi seusia mereka untuk berteman. Bocah laki-laki itu bercita-cita punya peternakan yang besar, menjadi seorang koboi. Si gadis lantas membayangkan sepucuk senapan. Ia ingin punya senapan.
“Untuk apa anak cewek pegang senapan?”
“Untuk menembak seseorang.”
“Kenapa?”
“Karena jahat. Sangat jahat.”
Di akhir perjalanannya, mereka pun berpisah.
“Takdir bakal mempertemukan kita lagi.”
***
“SELANJUTNYA bagaimana?”
“Sabar, seteguk dulu saudara-saudara,” si lelaki dekil mengangkat gelasnya.
Lelaki paruh baya di sudut ruangan berdiri dari meja dibantu pemuda remaja yang tak tampak seperti anaknya. Di meja lain ada sepasang suami-istri tua, lalu seorang lelaki bermantel hitam tampak tertidur dengan wajah bersungkup topi di sisi dekat jendela.
“Ceritamu sepertinya membosankan,” lelaki ketiga bernada menyindir.
“Apa kau tak penasaran akhir ceritanya?” tegas lelaki pertama.
“Oh maaf, kami harus segera beranjak sebelum gelap.” Lelaki paruh baya itu menatap kosong ke arah entah. Tangannya meraba-raba udara.
Lelaki pertama memerhatikan matanya yang picak, “Bagaimana kau tahu hari gelap atau terang?” tambahnya sedikit mengejek.
Tak ada jawaban. Tak perlu ada jawaban untuk pertanyaan semacam itu.
“Gitar?” lelaki kedua menunjuk bawaan yang dipanggul si pemuda.
“Mainkanlah sedikit untuk semua di sini.”
“Ini banjo,” si pemuda ragu-ragu bicara.
“Ya apalah itu. Ayolah, aku beri persenan nanti.”
Keduanya masih bergeming.
“Anda tak perlu memainkannya jika tak ingin.” Lelaki bermantel hitam menyingkap sedikit topinya.
“Lihat, nyatanya bukan aku yang kurang rileks, Ed,” tukas lelaki pertama.
“Musik jenis apa yang kau sukai, Tuan Klimis?” lelaki ketiga menyadari sosoknya terlalu rupawan untuk tinggal di kota yang berdebu.
“Tak banyak pilihan untuk bersenang-senang di sini.”
“Tak banyak pilihan untuk orang luar kota banyak lagak di sini,” balas lelaki pertama dingin.
Sepasang suami-istri tua kelihatan rikuh untuk beranjak atau tetap duduk manis dalam situasi begini. Lelaki bermantel hitam menurunkan kedua kakinya dari meja, lalu menyeruput sisa minuman tanpa kata-kata.
“Tawaranku masih berlaku.” Lelaki kedua mengalihkan situasi.
“Saya tak bisa memainkannya,” lelaki paruh baya sedikit terbata.
“Kalau begitu anakmu saja. Ayo mainkan, jagoan kecil.”
“Dia juga tak bisa.”
“Dengar, di kota ini, bukan gitar yang harus selalu kau bawa. Tapi ini.” Lelaki pertama menunjukkan pistol di pinggulnya.
“Ini hadiah dari kawan chicano. Aku tak bisa menolaknya.”
“Tapi kau menolak kami. Kita semua di sini kawan, bukan?” lelaki ketiga bicara keras-keras. Terlalu keras.
“Kami bisa memberimu hadiah yang tak terlupakan.” Lelaki pertama bicara serius. Sangat serius.
Rahang lelaki bermantel hitam mengeras. Tangan kirinya mengepal sedang lainnya gatal ingin mencabut pistol dari sarung. Tetapi ia jenis pemburu yang mampu bersabar.
“Eee, kita lanjutkan esok ceritanya?” si lelaki dekil sekonyong-konyong bersuara.
Wajah ketiga bandit itu masihlah kaku seperti lap kering ketika lamat-lamat terdengar langkah kaki seseorang yang semakin terang dan jelas berderap di telinga.
Orang itu sudah berdiri di balik pintu dan memasuki bar dengan gaya seorang yang disegani karena pangkatnya.
“Wali Kota Norton. Kami sudah lama menantimu.” Lelaki kedua menyapa yang ditunggu-tunggu.
“Ada yang aku lewatkan?”
Suara serak itu terekam masih sama di kepalanya.
“Tidak banyak. Tidak cukup penting.”
“Sepertinya aku melihat wajah-wajah baru. Pendatang? Semoga merasa nyaman di kota kami. Kalau ada apa-apa, kalian bisa datangi mereka.”
Lelaki paruh baya dan si pemuda baru hendak beranjak saat dipotong si lelaki pertama, “Semua orang menghargai sopan santun. Dia bos di sini. Tak ada basa-basi?”
“Tak apa-apa. Silakan,” Wali Kota Norton mengayunkan tangannya. Ia mengambil tempat di antara ketiga lelaki itu. Mengeluarkan sebatang cerutu.
“Bagaimana, tugas kalian lancar?”
“Tanpa kendala. Bersih.”
“Bagus. Aku tak ingin berurusan apa pun dengan hakim federal.”
Memergokinya memakai jaket hendak pergi, lelaki ketiga berkata pada si lelaki dekil, “Hei, lanjutkan ceritamu,” cerocosnya, “bos, kau mau dengar sebuah legenda?”
“Hanya sebuah cerita.”
“Aku suka membaca cerita. Tentang apa?”
Lelaki pertama memberi sinyal perintah lewat kepala.
“Seorang penembak jagoan yang menuntut balas.”
“Klise.”
“Dia seorang perempuan.”
“Itu baru menarik.”
“Jadi apa yang sudah diperbuat si bandit pada tokoh cantik kita?”
“Sebuah kejahatan. Ia menyimpan dan terus mengingatnya bertahun-tahun, memburu si bedebah itu sampai ke liang lahat sekali pun.”
“Apakah dia merampoknya?”
“Menyiksanya?”
“Atau jangan-jangan dia menggagahinya?” seloroh lelaki ketiga membikin bos mereka ikut terbahak. Kencang sekali.
Lelaki bermantel hitam merasa tak tahan.
“Omong-omong, kuda siapa barusan di luar? Cantik sekali. Kuda pirang yang sangat cantik. Kalau dijual, aku ingin membayarnya kontan.”
“Kuda pirang?” si lelaki dekil terperanjat. Waktu serasa berhenti.
Lelaki bermantel hitam tiba-tiba membuka topinya, “Delapan belas tahun aku mencarimu, bajingan!”
Sesuatu meletus.
Kebenaran terkuak. ***
.
.
Bojongsoang, Mei 2024
D Hardi adalah seorang cerpenis. Tinggal di Bandung, Jawa Barat. Karya-karya cerpennya telah tersiar di berbagai media cetak dan digital.
.
Kuda Pirang Montana. Kuda Pirang Montana. Kuda Pirang Montana. Kuda Pirang Montana. Kuda Pirang Montana.
Leave a Reply