Cerpen Arif Khilwa (Suara Merdeka, 02 Juni 2024)
“AKU ingin mati bersamamu,” ucap Lastri ditengah-tengah melamun.
Hembusan angin malam menerpa wajah dua orang tua yang duduk berdampingan di sebuah kursi panjang yang terbuat dari bambu di teras rumahnya.
“Kau ini ngomong apa?” jawab Joko suaminya dengan tatapan tertuju pada jalan depan rumah. Jalanan yang ramai dengan orang berlalu lalang.
Terdengar suara takbir dari pengeras suara mushola yang tertangkap dikedua telinga mereka.
“Aku serius, Pak,” Lastri menegaskan.
“Apa harus berbicara soal kematian terus?” balas Joko sambil menyesap kopinya.
“Kita sudah mulai tua, Pak, hidup juga sudah mulai sepi. Jika suatu saat nanti ketika salah satu dari kita berpulang, aku ataupun kamu pasti kesepian,” ungkap Lastri pedih.
“Kamu takut mati?” tanya Joko.
“Tidak, aku hanya takut hidup sendiri tanpa bapak,” jawab Lastri.
“Bukankah ada Wulan dan Bagas,” tegas Joko.
“Lalu dimana mereka sekarang?” tanya Lastri.
“Dooor… door… door!” suara petasan menghentikan percakapan mereka. Keduanya memandang arah sumber suara.
Di halaman sebuah rumah yang tak jauh dari mereka, terlihat seorang kakek asik menyalakan petasan bersama cucunya. Seorang anak yang kira-kira berusia 7 tahun.
Tampak pula seorang nenek yang duduk di teras diapit laki-laki matang dan perempuan berdaster, mereka adalah anak laki-laki dan menantunya yang tampak sangat bahagia.
Setiap petasan meledak, anak itu bertepuk tangan dengan senangnya. Melihat tingkah si bocah yang ada di hadapanya membuat Lastri dan Joko yang ikut tersenyum, namun ada rasa sesak di ulu hati mereka.
“Andai saja dulu kita berpikir lebih logis, Bu,” kata Joko getir.
“Apakah bapak masih mau menyalahkanku terus?” sahut Lastri membalikkan badan menghadap suaminya, matanya nanar, suaranya bergetar.
“Aku tidak menyalahkan siapa pun, Bu. Dengan saling menyalahkan tidak akan mengulang waktu atau mengembalikan mereka berdua bersama kita,” ucap Joko.
Sejenak mereka hening larut kedalam sebuah rasa sesal. Lalu Lastri tersenyum getir, dia menikmati duka yang semakin dalam.
Malam terus bergerak, tampak sepasang paruh baya berjalan melewati halaman, menuju rumah seorang janda miskin di pojok desa dengan membawa sekantong plastik berisi beras untuk membayar zakat fitrah.
Mereka menyapa Lasti dan Joko singkat dan segera berlalu.
Dalam rasa kesepiannya, Lastri mencoba menjalin rasa kembali, ia menceritakan lagi alasannya untuk tidak menyetujui pernikahan kedua anaknya.
Keteguhan terhadap tradisi keluarga yang masih dipegang mendasari ia untuk memilih menantu dengan melihat bibit, bebet, bobot, bahkan perhitungan weton pasaran dan hal lain yang mendasar.
Joko selama ini diam dengan kengeyelan-kengeyelan yang dilakukan istrinya, namun malam ini dia mulai lelah.
Joko mencoba untuk mengingatkan bahwa zaman sudah berubah, tradisi telah menjadi mitos bahkan ajaran agama hanya untuk identitas sosial bukan petunjuk hidup oleh orang-orang zaman sekarang, termasuk kedua anak mereka.
Mendengarnya Lastri kurang begitu setuju dengan apa yang diucapkan suaminya.
Sesaat Lastri memandang suaminya dengan penuh keraguan. “Apa bapak sudah lupa dengan hal buruk yang menimpa keluarga Mbah Kardi?” tanya Lastri lirih.
“Aku masih ingat kejadian itu, Bu,” sahut Joko sembari menyesap kreteknya dalam-dalam dan menghembuskannya ke udara.
“Lalu kenapa sampean mulai meragukannya?” tanya Lastri
“Aku tidak ragu, tapi semua yang terjadi pada mereka itu takdir,” tegas Joko.
Mendengar perkataan suaminya, Lastri terlihat semakin tidak senang. ia menggeser posisi duduk dan tak lagi menatap suaminya.
“Mereka telah menjemput takdirnya sendiri dengan mengingkari tradisi yang telah ada turun-temurun, Pak,” ucap Lastri sembari menatap Joko gusar.
Lastri mencoba mengingatkan suaminya tentang kejadian yang menimpa anak Mbah Kardi lima belas tahun yang lalu. Saat itu mereka hendak berbulan madu ke Jawa Timur.
Namun naas mobil yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan dan merenggut nyawa menatu yang baru beberapa hari melangsungkan pernikahan.
Lastri percaya bahwa semua kejadian itu disebabkan oleh ketidakcocokan weton pengantin baru itu.
Menurutnya, jika weton tidak cocok maka tidak boleh menikah. Sebab bagi yang melanggar akan berdampak buruk bahkan akan kehilangan nyawa.
Karena keyakinan itu pula, ia harus ditinggal pergi kedua anaknya dengan keputusan mereka yang ingin menikah dengan pilihan mereka yang tidak disetujui oleh ibu mereka.
Wulan anak sulungnya terpaksa harus pergi dari rumah dan menikah tanpa restu ibunya karena hitungan pasaran weton yang tidak cocok.
Bahkan Bagas anak ragilnya juga mengikuti jejak kakaknya beberapa tahun kemudian karena calon istrinya berasal dari kota yang secara berita tutur tidak boleh dinikahi oleh kota asal keluarga mereka.
Mendengar perkataan istrinya, Joko menggeleng-gelengkan kepala dan menarik napas yang sangat berat. Ia berdiri lalu berkata, “Dan akhirnya kau ditinggal kedua anakmu itu, Bu,” ucap Joko.
Ekspresi wajah Lastri berubah, kesedihan jelas tertangkap di sorot matanya, tanpa sadar butiran air mengalir dari sudut matanya.
Ia duduk mematung tanpa kata, menatap Joko dengan harapan dibela oleh suaminya itu. “Aku ini sudah sakit-sakitan, Bu. Kalau aku mati nanti, maafkanlah anak-anakmu itu,” kata Joko lirih.
“Aku tidak akan sanggup hidup sendiri, Pak. Kalau bapak mati aku pun akan segera menyusul,” sahut Lastri dengan nada tinggi dan diselingi isak tangis.
Joko kembali menghela napas dan duduk kembali. Diraihnya tangan kiri istrinya lalu dipegang jari-jarinya kemudian diusapnya punggung tangan istrinya sangat dalam.
“Bu, bukankah kematian seseorang adalah hak Tuhan, kita tidak bisa meminta ataupun menolaknya,” terang Joko.
Disandarkan kepala Lastri ke bahu suaminya dan berkata, “Aku tidak ingin kehilanganmu, aku tidak mau kehilangan lagi setelah dua darah dagingku pergi, Pak.” Suara Lastri semakin parau.
Malam semakin larut, terdengar gema takbir bersahutan dari beberapa mushola dan masjid.
Terdengar lirih suara jangkrik mempertegas malam yang bertambah larut ditambah hembusan angin yang sesekali membelai kulit, semakin lama semakin dingin dan menusuk tulang. Joko kembali meminta kepada istrinya untuk memaafkan kedua anaknya.
“Ayo kita masuk dan tidur, besok pagi kita pergi ke masjid berdua seperti biasanya,” ajak Joko sembari merangkul dan menuntun istrinya masuk ke dalam rumah.
***
“Setelah Wulan nanti pulang dan kembali tinggal bersama kita. Jangan lagi kamu ungkit masalah hitungan pasaran weton pernikannya, Bu,” pinta Joko sembari menyendok nasi lodeh yang di siapkan istrinya.
“Aku tidak akan membahasnya lagi. Aku sadar bahwa mitos akan menjadi nyata apabila kita yakini akan terjadi. Dan karena itu Wulan anakku jadi menjanda,” jawab Lastri dengan lirih dan sedikit bergetar.
“Jangan bersedih dan menyalahkan diri sendiri terus. Semua itu adalah takdir termasuk kematian Bowo yang dibacok begal,” jelas Joko.
“Bisa jadi Bowo tidak akan dibegal dan mati dibacok jika hitungan pasaran weton mereka saat menikah dulu tidak aku permasalahkan dan Wulan masih tinggal bersama kita, tak perlu mereka jauh-jauh merantau,” ucap Lastri.
“Alasan untuk tidak merestui pernikahan mereka itu, tanpa kusadari telah mendoakan hal buruk yang sekarang benar-benar terjadi,” jelas Lastri dengan penuh kesedihan hingga tanpa disadarinya air mata mengalir deras melewati pipinya yang keriput dan layu.
Joko terus menenangkan istrinya. Ia mejelaskan bahwa apa yang dipikirkan istrinya itu tidak benar.
“Sudahlah, Bu, kematian Bowo tidak ada hubungan dengan weton mereka. Sebagai orang tua, baik sadar atau tidak sadar, pasti mendoakan anak-anaknya yang terbaik,” ucapnya dengan masih menikmati sarapannya.
Hal yang paling Lastri sesali adalah hitungan weton pernikahan Wulan adalah sebagai kambing hitam kesalahan mereka berdua di masa lalu.
Wulan adalah anak mereka di luar nikah, semasa dia berpacaran dengan Joko. Untuk melindungi nama keluarga dan menyelamatkan Wulan dari hukum agama.
Akhirnya Lastri mengusir Wulan agar menikah tanpa wali bapaknya. Wulan dipaksa tinggal di luar kota dan menetap di sana agar para tetangga dan orang yang mengenal mereka tidak mengetahui aib tersebut.
Karena jika masih tinggal bersama mereka, maka Joko sebagai bapaknya harus menjadi wali nikah. Akan tetapi, menurut ajaran agama mereka, Joko tidak boleh menjadi wali nikah bahkan haram.
“Maafkan aku, Pak. Biar bapak tidak malu aku gunakan mitos-mitos itu sebagai solusinya,” jelas Lastri mengenang apa yang sudah ia lakukan dulu.
“Aku tahu itu, kamu tahu aku diam saja sebab tujuanmu untuk melindungi aku dan keluarga kita,” sambung Joko.
Sepasang suami istri yang sudah senja mulai hanyut pada masa lalunya. Lastri melanjutkan mengenang betapa besar keegoisannya.
Karena kejadian pengusiran wulan itu, masyarakat sekitar justru mengecap bahwa Lastri adalah orang tua kolot namun teguh berpendirian karena masih memegang hitungan warisan leluhur.
Akibatnya dia harus melakukan kesalahan untuk kesekian kalinya dengan mengusir Bagas bahkan juga karena mitos. Cap yang sudah melekat seakan harus dipertahankan walau resikonya harus ditinggalkan kedua anaknya.
“Betapa egoisnya diriku ini, Pak,” ucap Lastri dengan isak tangis yang tak lagi tertahan.
“Sudahlah, Bu. Sebentar lagi Wulan dan anak-anaknya akan kembali pulang dan tinggal bersama kita lagi. Bahkan Bagas juga sudah meminta maaf kepadamu dan sudah sering pulang kesini untuk menjenguk kita,” jelas Joko.
“Maafkan aku ya, Pak,” pinta Lastri terdengar lirih.
“Aku juga, Bu, maafkan aku yang membiarkanmu menanggung rasa sepi sendirian bahkan menanggung penyesalan ini,” balas Joko sambil berpindah duduk disebelah istrinya, tangannya merangkul hingga kepundak Lastri.
Lastri menyandarkan kepalanya dipundak suaminya sambil mengusap air mata.
“Mitos menjadi nyata apabila kita yakini akan terjadi. Dan karena itu anakku jadi menjanda,” ucap Lastri lagi dengan sesenggukan. ***
.
.
Arif Khilwa, penulis yang tinggal di Kabupaten Pati.
.
Mitos. Mitos.
Leave a Reply