Cerpen Dee Lestari (1999)
PUJANGGA itu melongokkan kepala dari jendela mobil tanpa takut kepalanya tersambar kendaraan nakal yang kadang menyalip dari kiri, tetap menatap langit yang berantakan oleh bintang lalu ribut sendiri. Dia selalu histeris akan hal-hal yang tak kumengerti.
Setelah kami berdua duduk di atas rumput, dengan tabah dia menjelaskan, “Coba lihat! Langit begitu hitam sampai batasnya dengan Bumi hilang. Akibatnya, bintang dan lampu kota bersatu, seolah-olah berada di satu bidang. Indah, kan?”
Dia pun dianugerahi kemampuan untuk menjelaskan segalanya dengan tepat, rasional, dan masih kedengaran cantik. Itulah satu-satunya cara agar aku mampu mengerti keindahan yang ditangkap matanya. Aku bukan pujangga dan tak pernah bisa bermetafora. Monokrom dan kurang dimensi, katanya selalu tentang diriku. Praktis dan realistis, begitu aku menerjemahkannya.
Dengan segenap rasio dan akal, aku mencintai perempuan di sampingku itu. Egi, yang telah lama kukenal, teman baikku, sosok yang kubanggakan dan kukagumi. Dia mampu berpanjang lebar menjelaskan cinta dan adieksistensinya kepada aku yang tak pernah mau repot menganalisis. Yang kutahu, aku peduli kepadanya, tidak pernah bosan seharian bersamanya, dan yakin bahwa kami dapat bekerja sama membina apa pun, termasuk rumah tangga. Itulah aplikasi substansi berjudul “cinta” bagiku. Cukup sekian. Egi juga tahu itu.
“Kamu kedinginan?” tanyaku sambil siap-siap membuka jaket.
Mendengarnya, Egi yang hanya memakai cardigan tipis menjadi sadar akan dinginnya cuaca. Dia pasti telah hanyut jauh dalam dunianya sendiri. Di sana jiwanya barangkali di hangatkan, lalu merembet hingga ke kulit.
Dalam balutan jaketku Egi meringkuk. Sorot matanya masih melayang-layang. Aku tahu apa yang dia lamunkan, apalagi setelah mendengar helaan napasnya, tapi enggan aku bertanya. Buat apa mengungkit sesuatu yang hanya membuat pikiranku terganggu.
***
Tak lama kemudian, kami kembali ke Jakarta.
“Sudah lama kita tidak ke Puncak lagi,” ujar Egi yang melenggang dengan sikat gigi di tangan. “Terakhir kapan, ya?”
“Enam minggu yang lalu? Waktu langit dan Bumi jadi satu itu.”
Egi menatapku lucu. “Kamu punya ingatan hebat, tapi kamu mengucapkannya sama datar dengan bilang 1 + 1 – 2….”
Suara sikat beradu dengan gigi menggema dari kamar mandi. Aku pun kembali membaca dengan kaki berselonjor di sofa panjang. Egi selalu lama bila menyikat gigi.
Tiba-tiba, suara gosokan itu ber henti. Malam yang hening membuatku menjadi awas akan perubahan yang terjadi. Dari pantulan kaca, kulihat pintu kamar mandi terbuka dan Egi tengah mematung dengan mulut penuh busa.
“Egi, kenapa?”
Terdengar suara berkumur. Keran dimatikan.
“Tio, saya pulang, ya?” Lunglai dia menghampiriku.
“Kamu di sini saja. Besok pagi saya antar pulang. Saya malas keluar lagi,” kataku sambil menguap. Tak perlu berbasa-basi dengan Egi. Kami sudah cukup dewasa dan cukup dekat untuk tidak lagi canggung kalau Egi terpaksa menginap, di tempat tidurku, bangun pagi, dan sarapan bersama, lantas aku mengantar dia pulang atau ke tempat kerjanya. Egi bahkan menginventaris sebuah sikat gigi di sini.
Mata itu bersaput air. “Saya merasa tidak keruan,” gumamnya pelan.
Rasa bersalah menggigitku. Sikap terlampau kritis kepada Egi dan air matanya sering kali mendorongku untuk menginjeksikan logika yang kupikir perlu, yang malah membuatnya tambah sedih dan menganggap aku tak bisa atau tak suka menolongnya. Pantas jika dia memilih pulang daripada meledakkan tangisnya di depanku.
“Silakan kamu menangis selama mungkin. Saya janji akan diam.” Aku tersenyum dan menariknya duduk di sampingku, kembali membaca.
“’Tio…,” panggilnya setelah lama mematung. “Saya suka sekali menyikat gigi. Mau tahu kenapa?”
Ingin kulontarkan jawaban spontan seperti “supaya gigi tidak bolong”, atau “afeksi berlebihan pada rasa odol”, tapi kuputuskan untuk diam.
“Waktu saya menyikat gigi, saya tidak mendengar apa-apa selain bunyi sikat. Dunia saya mendadak sempit… cuma gigi, busa, dan sikat. Tidak ada ruang untuk yang lain. Hitungan menit, Tio, tapi berarti banyak.”
Aku tahu apa yang kau maksud, wahai Egi, pujanggaku sayang. Cukup lama aku terlatih membaca makna-makna tersirat dalam kalimatnya, walaupun belum cukup lama untuk mengerti alasan di balik itu semua, misalnya, buat apa dia pelihara luka hati yang cuma bikin matanya berair?
Aku menatapnya iba. Egi dengan pipi basah, tangisannya yang tak pernah bersuara, dan linangan itu menderas ketika aku menutup bukuku, memilih untuk merangkulnya.
“Kamu… pasti sebenarnya… sudah ingin ngomel–ngomel,” dia berbisik susah payah.
Kutepuk-nepuk bahunya, “Saya tetap tidak mengerti. Tapi, semuanya terserah kamu.”
Saat seperti ini selalu membuatku berpikir, jangan-jangan aku yang terlahir cacat. Ada satu bahasa di semesta ini yang tidak terikut ke dalam paket genetikku, makanya aku selalu gagal mengerti. Padahal, seorang ahlinya ada sangat dekat di sini, Egi, guru besar bahasa aneh itu. Bahasa dari planet tempat cinta punya logika serta hukum sendiri.
Aku dikutuk selamanya menjadi makhluk ekstra terestrial.
***
Ulang tahunnya yang ke-27. Setelah bersenang-senang bersama serombongan teman, kini kami kembali berdua. Mata yang menerawang jauh, kaki yang meringkuk, napas yang mulai ditarik-ulur. Demikianlah Egi, bahkan pada hari seistimewa ini.
Keheningan selalu membawanya ke perbatasan yang sama, batas antara dunia tempat kami ada dan dunia yang tak mengikutkanku serta. Tak pula ada yang bisa menahannya menyeberang pergi.
“Ini… hadiah untuk kamu.” Aku menjegal langkah terakhirnya sebelum menginjak antah-berantah itu.
Egi terkejut melihat kotak di depan mukanya. “Sejak kapan kamu kasih kado segala?”
“Usia 27 itu usia penting,” jawabku sekenanya.
Tawanya semringah ketika tahu apa isi kotak itu.
Aku sibuk menjelaskan. “Sikat gigi elektronik. Bergaransi, watt kecil, antiplak, sikatnya banyak dan masing-masing beda fungsi. Seri ini punya kemasan khusus buat traveling, cukup kecil untuk kamu bawa-bawa di dalam tas. Ini buku panduannya….”
“Tio,” potongnya geli seraya menahan tanganku, “saya tahu kamu itu manusia praktis yang pasti memilih hadiah seperti ini, tapi… kenapa sikat gigi?”
Kutatap kedua mata itu, hanya untuk menjemput kegugupan yang membuatku gelagapan, “Soalnya… ehm, soalnya….” Kubersihkan tenggorokan, mengusir jauh-jauh keparat yang menghambat lidah, melirik dan mendapatkan Egi tengah tersenyum menunggu jawabanku. Senyuman yang melonjakkan listrik di jaringan otak. Senyuman yang meyakinkanku bahwa dunia ini cukup indah tanpa perlu lagi Surga. Senyuman yang membuatku berkecukupan.
“Saya tidak pernah mengerti dunia dalam lamunan kamu,” kata-kata itu akhirnya meluncur keluar, “pengharapan yang kamu punya, dan kekuatan macam apa yang sanggup menahan kamu begitu lama di sana. Tapi, kalau memang sikat gigi itu tiket yang bisa membawa kamu pulang, saya ingin kamu semakin lama menyikat gigi, semakin asyik, sampai moga-moga lupa berhenti. Karena berarti kamu lebih lama lagi di sini, di dunia yang saya mengerti. Satu-satunya tempat saya eksis buat kamu.
Dia terperangah. Bahunya bergerak. Menjauh.
“Egi… jangan…,” bisikku waswas.
“Kamu tahu perasaan saya, dan saya tidak pernah mau membahas soal ini lagi.”
“Tapi beginilah kenyataannya, saya tidak pernah berubah dari bertahun-tahun yang lalu… kamu tahu itu….”
“Kamu sahabat saya… sahabat terbaik….” Dia makin menjauh. Bersiap menutup diri.
“Sampai kapan kamu terus mengharapkan dia?!” Tak tahan aku berseru. “Orang yang tidak pernah ada saat kamu paling membutuhkan dukungan, orang yang mungkin memikirkan kamu hanya seperseribu dari seluruh waktu yang kamu habiskan buat melamunkan dia, orang yang tidak tahu kalau kamu bahkan harus menyikat gigi demi melepaskan dia barang tiga menit dari pikiran kamu?”
“Dia ingin datang. Biar itu cuma dalam hati. Dan dia akan menjemput saya, pada kesempatan pertama yang dia punya. Saya bisa merasakan kalau dia selalu memikirkan saya.”
“Kapan kamu akan bangun?” keluhku letih.
Tegas kepalanya menggeleng. “Ini namanya cinta sejati. Satu hal yang tidak pernah kamu tahu.”
Aku balik menggeleng. “Itu kebutaan sejati. Kamu memilih menjadi tunanetra padahal mata kamu sehat. Kamu tutup mata kamu sendiri. Dan kesedihan kamu pelihara seperti orang mengobati luka dengan cuka, bukan obat merah.”
Lama Egi terdiam, menatapku kasihan. Wajahku disentuhnya sekilas. “Semoga satu saat kamu mengerti.”
Habis sudah persediaan kata-kata. Keyakinannya berada di luar akalku. Aku ini ET. Jadi, mana mungkin aku bisa “ngerti”.
Aku mencintai Egi. Egi mencintai pria lain, yang menahun sudah membiarkannya terkatung-katung. Demikianlah fakta sederhana yang kami ketahui bersama. Kemalangan itu diperparah lagi karena keinginanku yang logis untuk memilikinya bukanlah cinta bagi Egi, sementara cintanya Egi yang masokhis juga alien bagiku.
Jembatan komunikasi kami runtuh. Dua manusia yang telah bersahabat bertahun-tahun lamanya berubah asing dalam semalam. Mungkin sudah saatnya.
***
Hampir genap setahun tak ada Egi dalam hari-hariku. Tidak ada lagi yang menerjemahkan keindahan alam. Tidak ada lagi yang menunjukkan signifikansi di balik hal-hal remeh. Tidak ada lagi yang duduk di sofa panjangku untuk melalap tulisan para filsuf yang mendedah makna hidup. Dan yang paling aku kehilangan adalah mendengarkannya menyikat gigi.
Setiap kali aku berusaha merasionalisasikan semua ini, kesimpulanku selalu sama: aku harus menemuinya lagi.
Bukan hal sulit untuk menemukannya. Dia masih Egi yang dulu, yang dapat kutemui sore-sore sedang membaca buku di bangku taman yang berbukit-bukit di kompleks rumahnya. Yang sulit justru mengungkapkan apa yang tak pernah kusadari, dan lebih sulit lagi untuk tidak punya harapan apa-apa sesudahnya.
“Egi….”
Punggung itu berbalik, matanya terbeliak tak percaya mendapatkanku muncul kembali dalam hidupnya begitu saja. Lebih kaget lagi, saat aku berlutut dan meraih jemarinya dengan tanganku yang dingin. “Sebentar saja. Saya tidak akan lama,” ucapku cepat dengan kepala tertunduk.
Dia tidak berkata apa-apa, jemarinya saja ikut dingin.
“Saya tidak akan pernah jadi pujangga dan tetap ngantuk kalau baca buku filsafat. Saya tetap Tio, Si Monokrom, whatever, yang melihat segalanya dengan tiga dimensi, dan bukannya empat seperti kamu. Tapi sekarang saya mengerti kondisi aneh itu…,” aku menantang matanya, menelanjangi diri sendiri, “karena saya sudah mengalaminya. Kebutaan itu. Saya tahu sekarang, saya mencintai kamu bukan hanya dengan logika dan rasio. Bukan sekadar kamu memenuhi standar ideal saya. Tapi… karena saya juga mencintai kamu di luar akal. Satu tahun saya menemukan cukup banyak alternatif yang masuk akal, tapi saya memang tidak ingin yang lain. Hanya kamu. Apa adanya. Termasuk alam lamunan yang tidak pernah melibatkan saya.”
“Dan saya tetap Tio, yang kalkulatif dan tidak mau rugi, tapi kali ini saya benar-benar tidak mengharap apa-apa. Saya hanya ingin mengatakan ini semua, dan… sudah.” Aku menutup pernyataanku dengan senyum semampunya. Berusaha bangkit berdiri, walau berat rasanya menopang tubuh dengan lutut yang bergetar.
Tangan Egi yang sesejuk es menahanku.
“Kamu mau ke mana?” tanyanya lirih.
“Jalan-jalan…,” jawabku tidak yakin.
“Ikut,” ujarnya pendek seraya berdiri melipat buku.
Kami berdua berjalan meninggalkan taman, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Tak ada jejak spasi kosong dari satu tahun yang sepi itu.
“Saya sendiri sudah banyak berpikir, murni dengan sel-sel otak seperti yang selalu kamu anjurkan, menerjemahkan apa yang kamu anggap absurditas. Dan kesimpulannya…,” dia berkata mengeja, genggaman tangannya terasa hangat, “alam hati saya tidak mungkin dimengerti siapa-siapa. Tapi ke mana pun saya pergi, kamu tetap orang yang paling nyata, paling berarti. Saya tidak mesti menyikat gigi untuk bisa pulang. Kamulah tiket sekali jalan.”
Egi tahu aku butuh jeda untuk memahami ucapannya, karena itu langkah kakinya berhenti dan, lewat sorot matanya, dia kirimkan pernyataan yang tak perlu diterjemahkan. Bahasa mutual kami yang pertama.
“Kamu hidup nyata saya, Tio. Dan saya tidak mau ke mana-mana lagi. Itu juga kalau kamu tidak keberatan kita menjalaninya pelan-pelan…,” setengah berbisik dia menegaskan.
Perjalanan singkat menuju mobilku sore itu, menjadi gerbang sebuah perjalanan baru yang panjang.
***
Egi benar. Banyak hal yang tak bisa dipaksakan, tapi layak diberi kesempatan. Dan, kesempatan itu harus ditawarkan setiap hari oleh kedua belah pihak. Aku pun benar, kami berdua mampu membangun apa saja, baik persahabatan belasan tahun maupun kebersamaan seumur hidup.
Setiap kali aku duduk di sofa dan memandangi Egi yang asyik menyikat gigi, ketakutan itu kadang-kadang datang. Ketakutan kalau suatu hari aku terpaksa harus menariknya pulang dengan paksa, dan sikat gigi tak mampu lagi menjadi tiketnya. Ketakutan kalau aku harus kehilangan dunia absurd tempat perasaanku kepadanya bersemayam, dunia yang ternyata amat kusukai. Ketakutan yang justru timbul setelah aku benar-benar mengerti perasaan Egi dan semua alasannya dulu.
Perlahan aku bangkit, memandangi satu sosok di belakang Egi yang terpantul dalam kaca: Tio. Irasional dan buta. Aku tidak mau kehilangan dia. ***
.
.
Leave a Reply