Cerpen Terjemahan, Koran Tempo, Rabindranath Tagore

Kesetiaan

Kesetiaan - Cerpen Rabindranath Tagore

Kesetiaan ilustrasi Istimewa

5
(1)

Cerpen Rabindranath Tagore (Koran Tempo, 20 April 2008)

GOURI ADALAH anak kesayangan orangtuanya. Ia cantik dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Suaminya, Paresh, dengan usahanya yang keras berhasil melepaskan diri dari kehidupannya yang miskin. Selama ia hidup miskin, orangtua Gouri menjaga putri mereka di rumah keluarga mereka, tak mau menyerahkan gadis itu pada keinginan pribadinya. Saat Gouri akhirnya pergi ke rumah suaminya, ia tak lagi muda. Dan Paresh tak pernah merasa puas bahwa perempuan itu telah menjadi miliknya.

Paresh kini seorang pengacara di sebuah kota kecil di daerah barat kota. Ia tak punya sahabat dekat. Yang ada dalam pikirannya hanyalah istrinya. Begitu dalamnya perasaan itu sehingga terkadang ia pulang sebelum sidang pengadilan dimulai. Pada awalnya Gouri tak paham mengapa suaminya pulang begitu tiba-tiba. Terkadang, Paresh memecat salah seorang jongosnya tanpa alasan; tak satu pun yang pernah memuaskannya dalam waktu lama. Terutama jika Gouri bermaksud mempertahankan jongos itu karena amat berguna, ia pasti akan segera dipecat. Gouri merasa jengkel dengan hal ini, tetapi kekesalannya hanya membuat tingkah suaminya semakin aneh.

Paresh, yang tak mampu menahan diri lebih lama, mulai diam-diam menanyai pembantu perempuannya tentang tingkah laku sang istri. Semua itu sampai ke telinga istrinya. Gouri perempuan yang tak banyak bicara, tetapi harga dirinya yang terhina atas hal ini membuatnya bagai singa betina terluka. Tertuduh yang murka ini mengoyak bagai sebilah pedang, menghancurkan dinding kasih di antara mereka. Paresh, begitu tahu istrinya menyadari alasan sang suami mencurigainya, tak lagi merasakan kelembutan di wajah Gouri. Dan semakin istrinya mendiamkannya, semakin berkobar api cemburu membakar dirinya.

Baca juga  Rahasia Walter Mitty

Gagal meraih kebahagiaan dalam perkawinan, Gouri yang tak memiliki anak mencoba menghibur diri. Ia menjadi murid spiritual Paramananda, seorang biksu muda di sebuah kuil. Secara resmi, Gouri berbaiat kepadanya dan meminta sang guru menerangkan Bhagawadgita kepadanya. Segenap perhatian seorang perempuan tercurah di kaki guru muda itu.

Tak seorang pun meragukan kemurnian watak Paramananda. Semua orang memujanya. Dan karena Paresh tak berani mencurigai lelaki itu, kecemburuannya menggerogoti hatinya bagai sebuah penyakit kanker yang tersembunyi.

Suatu hari persoalan sepele membuat racun itu membeludak. Paresh menuduh Paramananda seorang munafik di depan istrinya dan berkata, “Sanggupkah kau bersumpah bahwa kau tak jatuh cinta kepada burung bangau yang berpura-pura menjadi pertapa ini?”

Mendengar tuduhan itu Gouri tersentak bagai seekor ular yang diserang. Ia berkata pahit, “Lalu kenapa kalau memang benar begitu?”

Paresh yang marah meninggalkan istrinya menuju gedung pengadilan, dikuncinya pintu rumah dari luar. Namun, Gouri berhasil membobol pintu dan pergi meninggalkan rumah.

Paramananda sedang menekuni naskah-naskah dalam kamarnya yang sepi pada siang yang sunyi itu. Tiba-tiba saja, bagai gelegar petir siang bolong di langit tak berawan, Gouri muncul.

“Sedang apa kau di sini?” tanya sang guru dengan terkejut.

“Selamatkanlah aku dari petaka rumah tanggaku dan izinkanlah aku mengabdikan diri di telapak kakimu, Guru.”

Dengan tegas, Paramananda menyuruh Gouri pulang. Namun, aku tak yakin apakah lelaki itu masih bisa menyelesaikan pembacaan naskahnya dengan tenang.

Paresh yang menemukan pintu terbuka saat pulang ke rumahnya, bertanya, “Siapa yang tadi datang kemari?”

“Tak seorang pun!” jawab istrinya. “Akulah yang tadi pergi ke rumah Guru.”

“Kenapa?” Wajah Paresh memucat lalu memerah seketika.

Baca juga  Banjir

“Karena aku ingin.”

Sejak hari itu Paresh memerintahkan seorang penjaga mengawal rumahnya dan tingkah lakunya semakin aneh sehingga kisah kecemburuannya menyebar ke seluruh kota.

Kabar tentang tuduhan memalukan yang menimpa muridnya mengganggu meditasi Paramananda. Ia bisa saja meninggalkan tempat itu, tetapi ia tak bisa mengubah ikrarnya hanya karena seorang perempuan yang menderita. Siapa yang bisa bercerita bagaimana akhirnya pertapa yang malang itu bisa melewati saat-saat sulit yang menggelisahkan?

Pada suatu hari Gouri yang terpingit mendapati sepucuk surat untuknya. “Anakku, memang benar bahwa banyak perempuan suci telah meninggalkan bumi untuk mengabdikan diri mereka kepada Tuhan. Seandainya cobaan dunia membuat pikiranmu beralih dari Tuhan, aku akan bersamamu sebagai pertolongan Tuhan. Jika kau bersedia, temui aku di kebunmu esok hari pukul dua siang.”

Gouri menyembunyikan surat itu di balik gulungan rambutnya. Siang esok harinya ketika ia menyisir rambutnya sebelum mandi, disadarinya surat itu telah lenyap. Mungkin jatuh di atas ranjang dan ditemukan suaminya, pikirnya. Seketika ia merasakan semacam kilatan rasa senang saat berpikir bahwa itu akan membuat suaminya murka. Dengan langkah ringan ia buru-buru menuju kamar suaminya.

Ternyata, lelaki itu terbujur kaku di atas lantai, sepasang matanya terbeliak dan buih keluar dari mulutnya. Gouri melepaskan surat itu dari genggaman suaminya dan segera memanggil dokter.

Dokter berkata bahwa lelaki itu terserang ayan. Si pasien telah mati sebelum ia datang.

Pada hari itu, Paresh memiliki janji penting di luar rumahnya. Paramananda mengetahuinya dan memanfaatkannya untuk menemui Gouri di belakang suaminya. Ah, betapa dalam biksu itu telah terperosok dalam lembah kehinaan!

Ketika dari jendela Gouri yang telah menjadi janda melihat gurunya mengendap-endap seperti seorang pencuri di tepi kolam, ia langsung menundukkan matanya. Dan pada saat itu pula ia menyadari betapa dalam ia telah terperosok dalam jurang kenistaan.

Baca juga  Ketika Semua Berjalan Mundur

Guru yang lancung itu memanggil, “Gouri.”

“Aku di sini,” jawab Gouri.

Ketika kawan-kawan Paresh mendengar kabar tentang kematiannya dan datang untuk penghormatan terakhir, mereka menemukan tubuh Gouri yang tak bernyawa tergeletak di samping suaminya. Ia telah meracuni dirinya sendiri. Semua orang mengagumi kesetiaan yang ditunjukkan oleh perempuan itu. Sebuah kesetiaan yang benar-benar jarang ditemukan di zaman bobrok seperti saat ini. ***

.

.

Rabindranath Tagore (1861-1941), sastrawan India peraih Hadiah Nobel Sastra 1913. Ia tercatat sebagai orang Asia pertama yang pernah meraih hadiah prestisius itu. Ia menulis cerpen, novel, esai dan sajak dalam bahasa Bengali. Tagore juga merupakan figur yang amat berpengaruh dalam kebudayaan India pada masanya dan dihormati secara luas dalam peta sastra dunia.

.
Kesetiaan. Kesetiaan. Kesetiaan. Kesetiaan.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!