Esai Pamusuk Eneste (Kompas, 26 Mei 2024)
SEBAGIAN dari pembaca barangkali sudah pernah membaca cerpen “Robohnya Surau Kami” karya sastrawan AA Navis (1924-2003). Cerpen yang ditulis pada tahun 1950-an itu memperoleh hadiah sastra majalah Kisah pada 1955. Kemudian cerpen ini dimuat dalam kumpulan cerpen Navis dengan judul yang sama, Robohnya Surau Kami; diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Nusantara (Bukittinggi) pada 1956, dan sejak 1986 diterbitkan ulang oleh Gramedia Pustaka Utama.
Cerpen “Robohnya Surau Kami” mengisahkan seorang Kakek penjaga surau (garin), yang akhirnya mati bunuh diri setelah mendengar cerita Ajo Sidi, seorang tukang bual, mengenai Haji Saleh.
Ajo Sidi menceritakan kehidupan Haji Saleh yang berakhir tragis meski Haji Saleh merasa kehidupannya sudah di jalan yang benar. “Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami,” kata Haji Saleh.
Akan tetapi, Tuhan tetap memasukkan Haji Saleh ke neraka. Tuhan berkata, “Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal dan beribadat.”
Inilah kelihatannya yang membuat sang Kakek putus asa. Sang Kakek merasa disindir Ajo Sidi. Mirip Haji Saleh, sang Kakek pun rajin beribadah. “Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji dia. Aku baca Kitab-Nya…. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk”.
Ketika si Kakek sudah tiada, Navis pun menulis, “Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.”
Lantas, “Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsung.”
Ivan Adilla (dosen Universitas Andalas, Padang) membahas keseluruhan karya sastra Navis dalam buku AA Navis: Karya dan Dunianya (2003). Adilla mengulas cerpen “Robohnya Surau Kami” pada halaman 23-27. “Meskipun telah cukup lama ditulis, masalah yang diungkapkan dalam cerpen ini masih tetap aktual hingga sekarang. Navis secara kritis melihat situasi kehidupan beragama masyarakat kita yang memandang ibadah itu terbatas pada mengaji, puasa, naik haji, dan shalat. Melalui cerpen ini, Navis menawarkan pandangannya bahwa kerja itu juga ibadah,” tulis Adilla.
Mungkin itulah sebabnya, sampai sekarang, orang sering mendapat inspirasi dari judul cerpen Navis itu. Bermunculanlah judul-judul tulisan yang “terinspirasi” oleh judul “Robohnya Surau Kami”. Sebutlah, misalnya, (1) “Robohnya Rumah Raja Gula Oei Tiong Ham” (P Raditya Mahendra Yasa, Kompas, 28/7/2020), (2) “Robohnya Restoran Kami” (Tempo, 27/12/2020, (3) “Robohnya Fasilitas Kesehatan Kita” (Ahmad Arif, Kompas, 19/1/2021), (4) “Robohnya Sekolah Kami” (Anita Lie, Kompas, 16/9/2021), (5) “Robohnya Kebersamaan Kita” (Bre Redana, Kompas, 5/6/2022), (6) “Robohnya Independensi Penjaga Konstitusi” (Reza Syawawi, Kompas, 2/12/2022), (7) “Robohnya Nurani Kami” (Gunawan Suryomurcito, Kompas, 23/2/23), dan (8) “Robohnya SVB dan Ekonomi Kita” (Muhamad Chatib Basri, Kompas, 23/3/2023).
Di luar judul (1) sampai dengan (8), pastilah masih ada judul yang luput dari tulisan ini. Namun, kedelapan judul tersebut kiranya dapat mewakili sejumlah penulis yang dipengaruhi oleh judul cerpen “Robohnya Surau Kami”. Ini berbeda dengan baris puisi Chairil Anwar (“Aku”) yang sering dikutip orang: Aku ini binatang jalang dan Aku mau hidup seribu tahun lagi. Pada kasus Navis, orang mengawali judul tulisan dengan kata Robohnya, sedangkan baris puisi Chairil—Aku ini binatang jalang atau Aku mau hidup seribu tahun lagi—hanya dikutip apa adanya.
Karya Navis dan Chairil membuktikan bahwa karya seni itu langgeng, abadi. Meskipun pengarangnya sudah tak ada, karyanya masih tetap hidup di tengah-tengah masyarakat dan masih terus memengaruhi pembacanya. Tidak berlebihan kata-kata Latin yang berbunyi Ars longa, vita brevis. “Seni itu abadi, hidup itu pendek”. ***
.
.
Pamusuk Eneste, Pengajar di Teknik Grafika dan Penerbitan, PNJ Depok.
.
“Robohnya Surau Kami” Masih Tetap Aktual. “Robohnya Surau Kami” Masih Tetap Aktual.
Leave a Reply