Cerpen, Kaltim Post, Suparmanto Yahmin

Mengenang Kematian

Mengenang Kematian - Cerpen Suparmanto Yahmin

Mengenang Kematian ilustrasi Jumed/Kaltim Post

0
(0)

Cerpen Suparmanto Yahmin (Kaltim Post, 12 Mei 2024)

APA yang kita pahami dan imani tentang kematian? Jika merujuk pada pemahaman agama, kematian merupakan sebuah keniscayaan bagi seluruh makhluk. Namun kematian pada pemahaman tertentu merupakan proses arwah untuk melanjutkan “perjalanan” dari dimensi dunia menuju ke dimensi selanjutnya.

Tentu akan banyak kesedihan tatkala raga orang-orang terdekat sudah divonis tidak bernyawa. Namun seiring berjalannya waktu, momentum kematian seseorang tidak lagi menjadi prioritas perhatian bagi yang masih hidup. Banyak argumentasi pembenar tentang ketidakpedulian pada para pendahulu yang sudah berpulang, tentu alasan sibuk dengan tugas dan tanggung jawab merupakan alasan klise yang sering muncul.

Tak terkecuali diriku yang mendekati tahun ke-12 semenjak ibu berpulang, masih terjebak pada pemahaman bahwa mengenang kematian para leluhur cukup dengan hanya berkirim doa dari rumah, tanpa harus bersusah payah berkunjung, membersihkan atau menabur bunga di pusara almarhum. Pemahaman yang selama ini aku imani, bahwa cukuplah mendoakan ibu dari manapun kita berada berimbas pada tidak terawatnya makam ibu.

Ibu meninggal di usia muda, tepatnya pada usia 49 tahun 4 bulan 17 hari. Beliau berpulang karena menderita iskemia akibat embolisme arteri. Beliau terhuyung jatuh saat sedang di kamar mandi menjelang subuh. Keterbatasan infrastruktur dan tenaga medis di rumah sakit daerah memaksa ibu dirujuk ke Balikpapan. Namun takdir lebih memilih mengantarkan ibu melanjutkan kehidupan tanpa harus menanggung sakit berkepanjangan. Ibu berpulang saat masih di perjalanan menuju Balikpapan.

Hanya setahun sekali, saat menjelang Lebaran saja aku sempatkan mengunjungi makam ibu. Itu pun jikalau aku bersama keluarga menjalani Lebaran di kampung kelahiranku, Bumi Daya Taka. Hingga menjelang Lebaran kemarin aku terbangun dari buaian doktrin yang telah sekian lama membentuk sikap dan pikiranku hingga abai akan pusara ibu.

Baca juga  Menunggu Bapak

Makam ibu berada di pemakaman umum tepat di pusat kota kabupaten. Di pinggir jalan protokol. Berjarak kurang dari dua kilometer dari rumah masa kecilku.

Sehari menjelang Lebaran aku sempatkan mengunjungi makam ibu. Hanya mendoakan saja. Tak lebih.

Sekira lima menit aku bersama kakak perempuanku mengunjungi ibu. Ritual kirim doa yang kami lakukan sangat singkat, berbeda dengan mayoritas muslim di Tanah Air. Yang dalam berkirim doa pada leluhur selain bacaan kalimat tahlil yang panjang juga disertai dengan uborampe yang dipersiapkan secara khusus semata untuk menghormati para leluhur.

Sempat timbul rasa trenyuh saat kusaksikan peristirahatan terakhir ibu hanya berupa sepasang batu nisan, tanah pusara yang ditutup dengan kerikil halus warna putih. Terkesan tak terawat.

Selesai berkirim doa, aku mengiringi langkah kakak perempuanku menapaki jalan semen keluar area makam, meninggalkan ibu yang raganya terbaring sendiri. Aku tenggelam dalam lamunan saat mulai kulangkahkan kaki.

Berpapasan dengan seorang kakek bersarung loreng, mirip sarung milik tentara. Memakai kopiah adat Kutai, berbaju hitam. Tampaknya dia juga sedang akan berziarah, tapi sendirian.

“Mbak Ayoe ya?”

“Iya, Kek. Kakek kenal saya?”

“Pasti habis sowan ibu ya?”

“Benar, Kek.”

“Kakek berziarah ke makam siapa?” tanyaku kemudian.

“Istri.”

“Sendirian?”

“Iya sendiri. Anak-anak semua sibuk dengan urusan masing-masing.”

“Memangnya anak kakek di mana?”

“Anak kami yang jadi tentara katanya susah mendapat izin atasan apalagi menjelang Lebaran begini. Padahal dekat saja. Dia dinas di Balikpapan. Sedangkan yang satunya kerja di pertambangan, katanya sih di daerah Sangatta sana.”

“Padahal berkali-kali saya sampaikan, luangkan waktu untuk selain mendoakan juga tidak segan mengunjungi makam ibu. Tidak sekadar mengunjungi namun juga merawat, membersihkan, merapikan, dan akan lebih baik pula bila ditaburi bunga agar wangi, tidak menyeramkan. Tapi karena urusan negara dan urusan kerja lebih penting, jangankan merawat mengunjungi makam ibunya bisa dihitung dengan jari tangan.”

Baca juga  La Vie en Rose

“Memang mendoakan bisa dari mana saja. Namun ritual semacam itu merupakan jalan yang paling mudah. Tidak perlu berkeringat, tidak juga bersusah menempuh perjalanan jauh. Perjuangan dan usaha untuk sowan pada leluhur sangatlah kurang.”

“Mereka mengira leluhur yang sudah meninggal itu benar-benar mati. Padahal mereka sejatinya tak ubahnya sebagai orang yang masih hidup layaknya kita, hanya saja mereka hidup dalam dimensi yang berbeda dengan kita.”

Aku mematung, mendengar cerita panjang sang kakek.

“Oh ya, Mbak Ayoe masih di Penajam kan? Jika nanti berkenan berkunjung ke makam ibu, jangan lupa bawain ibu bunga ya.”

“Oh iya, Kek,” jawabku mengiringi langkah kakek berjalan menuju pusara istrinya yang konon meninggal sepantaran dengan meninggalnya ibu.

Sebelum aku keluar area makam, kusempatkan menoleh ke arah pusara ibu.

Aku dikejutkan oleh sosok berbaju putih.

Terlihat ibu duduk mematung. Wajahnya datar, rambutnya yang sebahu masih terurai tampak belum disisir. Ibu yang berusia 49 tahun, masih terlihat cantik namun ada yang ganjil. Rautnya menanggung sedih. Ibu tidak sedang menderita, hanya tampak kurang bahagia.

Dia tersenyum. Namun senyumnya tampak dipaksakan. Ada kesan dia tidak sepenuhnya berkenan akan kedatangan kami. Aku termangu, tenggelam dalam rasa bersalah; mungkin baktiku pada almarhum ibu yang sudah berpulang masih sangat kurang. Munajatnya yang mengiringi setiap jejak langkahku. Darahnya menghidupiku sejak janin hingga kini. Namun, sekadar merawat, juga memantaskan pusaranya saja masih selalu diliputi keengganan.

Sejurus kemudian ibu berdiri, melangkah menjauhiku. Menghilang di antara lalu lalangnya para peziarah.

Samar-samar terdengar suara memanggil.

“Ayoe… Ayoe….”

Aku masih abai akan panggilan itu.

Plak!!! Tepukan di pundak menyadarkan aku.

Baca juga  Sastra Setengah Cerita

“Ditungguin dari tadi kok masih di sini,” ucap kakak perempuanku sembari merangkul pundakku.

“Eh, Mbak… kakek bersarung tentara tadi ke mana? Terus ibu?”

“Kakek siapa? Ibu siapa?”

“Kakek yang tadi ngobrol sama saya.”

“Mana ada kakek yang ngobrol sama kamu. Kamu lo, dari tadi hanya mematung memandangi makam ibu.”

Kami berjalan meninggalkan area makam. Tangan kanan kakakku masih merangkul pundakku. Sejurus kemudian, kami meninggalkan area makam untuk pulang mempersiapkan segala sesuatunya untuk perayaan Lebaran.

***

Sidang isbat telah usai. Secara resmi pemerintah menetapkan 1 Syawal jatuh pada esok hari. Bersahut-sahutan suara takbir dikumandangkan dari setiap musala dan masjid. Umat muslim Tanah Air bersukacita menyambut hari yang katanya hari kemenangan itu. Tak terkecuali seluruh anggota keluarga kami.

Keluarga besarku mengikuti salat Isya di masjid dekat rumah. Untuk kemudian turut mengumandangkan takbir.

Aku memilih menunaikan salat sendirian di rumah. Selesai salam, aku berdiam.

Mengenang lamunanku di makam sore tadi. Ibu yang tampak muram.

Lalu kakek berkopiah adat Kutai.

“Gusti… itu kan bapaknya ibu! Kakek yang sudah meninggal saat aku masih di sekolah dasar dulu.”

Isakku di malam takbiran, mengantarkanku pada pemahaman bahwa kematian adalah lanjutan kehidupan, bukan tentang siksa yang tak berkesudahan. ***

.

.

Suparmanto Yahmin. Pada 2021 bersama beberapa teman pendidik menulis antologi puisi “Kuingin Kau Kembali”. Tinggal di Penajam Paser Utara.

.
Mengenang Kematian. Mengenang Kematian. Mengenang Kematian. Mengenang Kematian.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!