Cerpen Widya Amanda (Kaltim Post, 19 Mei 2024)
“HUJANNYA deras, anginnya kencang, bakal tetap kebasahan kalau pulang sekarang.”
Sudah satu jam sejak nenek berkata demikian dan aku masih tetap duduk di atas kursi kayu di teras memandangi hujan yang tak kunjung reda.
Suara airnya seolah menghantam seng dan memekakkan telinga. Tidak ada apa pun yang terdengar selain suara hujan beserta aromanya yang khas. Hari sudah mulai gelap dan aku mulai merasa gelisah. Namun, tidak ada tanda-tanda hujan akan reda.
Akhirnya aku memutuskan bangkit meninggalkan teras dan masuk ke rumah. Kehangatan langsung menyapa. Aku melihat nenek terbaring di atas karpet berbulu merah, di depan televisi yang menampilkan pidato salah satu calon presiden. Kuhampiri wanita senja itu dan bersimpuh di sampingnya.
“Nek, aku mau pulang.”
Matanya yang sayu, sendu, nyaris tertutup, mengarah padaku. Aku mengulangi dengan suara yang sedikit lebih tinggi. “Aku mau pulang.”
Ia mencoba duduk, menoleh ke arah pintu yang terbuka. “Masih hujan,” balasnya.
“Nggak apa, pakai payung.”
Setelah sedikit memaksa dan nenek mengalah, aku berpamitan mencium tangannya. Mengambil payung hitam yang tergantung di belakang pintu, lantas buru-buru mengenakan sepatu dan turun dari teras setelah menutup rapat pintu.
Aku selalu ke rumah nenek ketika merasa sedih, tetapi juga tidak terlalu betah berlama-lama di sana meskipun ingin.
Tanganku berusaha menahan payung supaya tetap berdiri tegak. Ternyata hujan masih sangat deras. Air yang jatuh ke aspal yang kulewati menciptakan genangan di beberapa tempat, tetesannya membuat cipratan, setelah ini sepatu putihku tidak akan bisa diselamatkan. Tetangga nenek yang biasa selalu bercengkerama di halaman rumah mereka tidak terlihat, semuanya sudah menutup pintu dan jendela serta menyalakan lampu teras.
Di bawah atap-atap yang menahan hujan, beberapa orang mungkin tengah bercengkerama dengan keluarganya sembari meminum teh hangat, beberapa orang memilih mendengarkan musik di bawah selimut, beberapa orang lain lagi mungkin menikmati mi dengan kuah hangat yang pedas. Sementara aku menggenggam erat payung yang rasa-rasanya akan terbang tertiup angin.
Dingin terasa semakin menusuk kulit. Angin yang bertiup membuat hujan turut membasahi bajuku dari samping, sementara payung hitam yang kubawa dari rumah nenek ini semakin memaksa ikut dengan angin. Alhasil aku menguatkan jemariku menggenggam bagian paling atas.
Hari sudah gelap, aku sudah melangkah cukup jauh, tetapi hujan makin deras saja. Seperti kata nenek tadi, aku tetap kebasahan. Angin pun bertiup semakin kencang.
Payung yang susah payah kupertahankan agar tidak pergi bersama angin pun sudah tidak mampu lagi menghalau air hujan yang semakin membasahi tubuh dan wajah. Angin berusaha membuat besi-besi tipis pada kain payung hendak terangkat. Pohon-pohon seperti akan tumbang, air hujan seolah hendak melubangi permukaan tanah, sementara angin bertiup semakin kencang saja, dan di antara itu semua seorang manusia sibuk mempertahankan diri agar tidak terbang bersama payungnya.
Aku baru saja menyadari bahwa yang kuterobos bukanlah hujan, melainkan badai dan entah mengapa jalan pulang terasa lebih jauh dari biasanya. Wajahku sudah dipenuhi air hujan, pakaian yang kukenakan nyaris seluruhnya menjadi basah. Payung yang kugenggam erat untuk melindungi dari air hujan ternyata sudah tidak berguna.
Namun, aku tetap mempertahankannya dalam genggaman bersama kaki yang melangkah menantang hujan.
Di saat genggamanku mulai melemah, angin kembali bertiup kencang. Payung hitam yang dari tadi kugenggam erat-erat terlepas begitu saja. Payung hitam itu terbang bersama angin entah ke mana. Aku membiarkannya lepas dan memandanginya hingga menghilang dari pandangan. Kepalaku bersentuhan langsung dengan air hujan.
Aku mengusap wajah dan melanjutkan langkah di bawah hujan, di tengah-tengah badai. Aku menengadah dan menutup mata, membiarkan air hujan membasahi wajah. Payung yang susah payah kupertahankan, seharusnya kulepas sejak awal. Tidak begitu buruk bersentuhan dengan hujan.
Tapi, bukankah lebih baik kalau tidak kehujanan? Seharusnya aku tidak keluar dari rumah nenek sejak awal. ***
.
.
Widya Amanda. Lahir di Berau pada Mei 2004. Mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman. Karyanya yang lain dapat di temukan di link bio Instagram @widyaamd_
.
Tentang Payung. Tentang Payung. Tentang Payung. Tentang Payung. Tentang Payung.
Ucumerisasi
Oke lah. Mantap. Hujan banyak diartikan macam-macam, juga beragam kenangan di baliknya.