Cerpen Rizqi Turama (Kompas, 16 Mei 2021)
BAGI sebagian besar orang, halaman rumah kami tampak aneh. Ada banyak tanaman tumbuh, tapi tak ada setangkai pun bunga di sana. Mungkin orang akan merasa lebih aneh lagi saat tahu bahwa itu semua atas pilihan ibu. Aku sendiri tak pernah menanyakan kepada ibu mengenai alasannya tidak berniat menumbuhkan bunga, tapi kuduga itu terkait dengan keinginannya untuk menghasilkan yang ‘lebih berguna’ bagi masakannya.
Setahuku ibu adalah satu dari sangat sedikit orang yang memegang teguh prinsipnya dalam memasak. Ia biasa menanam sendiri sebagian besar bumbu dapur yang akan dipakai. Di halaman—yang memang dibuat lebih luas ketimbang bangunan—rumah kami, kau bisa melihat berbagai tanaman bumbu tersebar di berbagai sudut. Sebagian di tanah, sebagian di pot besar, sebagian lagi di pot gantung kecil. Cabai, jahe, serai, bawang merah, kunyit, dan beberapa yang lain.
Tanaman itu bukan hanya dirawat dan disirami dengan telaten, tapi juga dipanen dan diolah sendiri untuk kemudian jadi bumbu masakan. Bagi ibu, memasak dengan bumbu yang ditanam dan diolah sendiri akan menghasilkan rasa yang lebih ‘nendang’. Saat ia hendak memasak sup, misalnya, maka dipetiknyalah daun sop dari halaman depan, daun bawang dari belakang rumah, serta beberapa bumbu lain yang tak begitu kuingat. Semua dicuci, sebagian dipotong, sebagian lagi diulek, ditumis, lalu dicemplungkan bersama ayam. Jadilah sup ayam favorit.
Tentu tidak selalu tanaman itu siap dipanen atau bumbu yang dibutuhkan ada di halaman. Jika begitu kondisinya, ibu akan pergi ke pasar pagi-pagi sekali untuk mencari bumbu yang paling segar, “Yang paling mendekati kondisi tanaman yang kupanen sendiri,” kata ibu selalu.
Sayangnya, setelah ayah tak ada, ibu kehilangan juru cicip paling andal. Jika masakan ibu enak, ayah tak segan memuji setinggi Menara Parang Gardu—bangunan paling tinggi di kota kami serta bangunan tertinggi yang pernah dilihat ayah seumur hidupnya. Namun, ayah juga tak segan berkomentar, “Ini terlalu asin,” atau, “terlalu asam.”
Bahkan aku ingat bahwa ayah bisa berkomentar, “Ini kurang banyak belimbing wuluh-nya.” Di kesempatan lain, ayah berujar, “Masakan ini enak, tapi lengkuas yang dipakai sepertinya sudah tidak segar. Stok di halaman sudah habis, ya?”
Dan ibu menjawab bahwa lengkuasnya memang dibeli di warung. Ia tak sempat ke pasar untuk beli lengkuas segar dan stok di halaman memang sedang habis.
Aku sendiri tak mewarisi ketajaman indera cecap itu. Pernah kejadian, saat rapat di kantor dan disediakan makan siang, aku menghabiskan semua yang ada di dalam kotak dengan lahap. Setelah aku bersendawa cukup keras, seorang teman iseng melihat sisa makananku: tak ada.
Ia mengernyitkan dahi dan berseloroh, “Kapan kau buang sayur nangkanya?”
“Kenapa harus dibuang?”
“Jadi kau makan?”
Ia lalu terbahak sembari memberi tahu teman-teman yang lain. Di antara derai tawa mereka, aku baru tahu bahwa sayur nangka dalam nasi kotak itu sudah ‘hampir’ basi. Begitulah kurang lebih kemampuanku dalam hal mencecap makanan.
Parahnya lagi, di sebuah kunjungan silaturahmi, teman-temanku itu berkesempatan mencicipi masakan ibu. Salah seorang berkomentar, “Sayang sekali masakan seperti ini dinikmati oleh orang yang bahkan tidak bisa membedakan sayur nangka sudah basi atau belum.”
***
Aku sempat merasa lega karena menikahi seorang perempuan yang juga gemar memasak.
“Pasti akan jadi tandem yang pas untuk ibu,” pikirku.
Sayangnya, kelegaan itu hanya sementara. Entah karena keduanya beda generasi atau memang karena prinsip yang ditanamkan sejak kecil sudah berbeda, baik ibu maupun istriku rupanya memegang aliran yang sangat bertolak belakang. Salah satu hal yang baru kuketahui setelah menikah adalah bahwa istriku lebih memilih bumbu jadi atau bahkan bumbu instan.
“Bukan hanya lebih praktis, tapi juga bisa menghemat waktu dan tenaga. Jadi, waktu dan tenaga itu bisa digunakan untuk memasak yang lain atau merawat bunga,” argumennya.
Dan terjadilah. Saat keduanya memasak bersama, ibuku tak bisa tidak berseloroh, “Kok pakai lada kemasan?”
Di saat yang lain akan terdengar, “Kau beli bumbu jadi?” Istriku hanya diam. Apalagi aku.
Secara diam-diam, aku berharap keduanya bisa bernegosiasi dan menemukan jalan tengah. Hanya harapan itu yang bisa kupupuk setiap hari tanpa benar-benar mengetahui apa yang terjadi di antara keduanya ketika memasak. Lama-kelamaan, tak lagi kudengar cerita keluhan ibu tentang istriku yang terlalu mudah mencari jalan pintas dalam memasak. Juga tak kudengar curhat istri tentang betapa sulitnya memasak bersama mertua.
Istriku lebih memilih untuk bercerita perihal keinginannya menanam bunga. Ini juga baru kutahu. Semasa pacaran, aku pernah membawakannya setangkai mawar dan ia memintaku untuk tak lagi membeli bunga. Kupikir ia tak suka. Baru setelah menikah, aku tahu bahwa ia memiliki alasan lain.
“Justru aku sangat suka. Karena itu, aku tak mau orang-orang sepertimu menghargai bunga yang telah ditanam dan dirawat sedemikian rupa hanya dengan beberapa lembar uang yang tak seberapa,” ujarnya.
“Hanya karena punya uang, orang sering menganggap keindahan bisa dibeli begitu saja. Izinkanlah aku menanam bunga di rumah ini dan kau akan mengerti yang kuucapkan.”
Aku belum bisa berjanji. Perlu izin ibu untuk itu. Tapi, setidaknya, yang dipinta istriku tidak lagi terkait dengan masak-memasak. Apalagi, ia juga bercerita bahwa tamu bulanannya sudah terlambat datang sekitar dua minggu. Hal itu lebih mendapatkan perhatianku.
Karena tak lagi mendengar keluh kesah keduanya perihal bumbu masak, kupikir masalah tersebut telah usai sampai akhirnya tibalah hari itu. Hari yang kupikir sebagai puncak perselisihan keduanya, entah siapa yang mengusulkan, ibu dan istriku akan memasak menu yang sama dengan cara sendiri-sendiri. Ibu terlihat yakin masakannya akan jadi jauh lebih lezat, sementara istriku juga tampak tak ragu bahwa rasa masakannya tak akan jauh beda.
Makanan tersebut akan dihidangkan di meja tanpa diberi tahu mangkuk mana hasil masakan siapa. Dan, seperti yang bisa diduga, aku diminta untuk menentukan sup ayam yang lebih lezat.
Aku memprotes. Tak mau menempatkan diri di tengah jeratan yang berbahaya seperti itu. Tapi, dua mangkuk sup ayam tetap terhidang. Keduanya menatapku dengan tatapan yang bisa diterjemahkan sebagai, “Makanlah!”
Saat itu, yang kuingat adalah aku benar-benar mengeluarkan keringat dingin. Keringat semakin bercucuran saat keduanya secara bersamaan bertanya, “Bagaimana?”
Napasku rasanya begitu berat sebelum berujar, “Apa kalian benar-benar ingin mendapat penilaian soal rasa sup ayam dari seseorang yang bahkan tak bisa membedakan sayur nangka basi atau tidak?”
***
Pertanyaanku saat itu sepertinya menyadarkan mereka berdua. Tak ada lagi ‘perang dingin’. Setidaknya, begitulah yang kulihat. Tidak hanya itu, istriku pun tampaknya mulai mengambil langkah yang lebih bijak. Ia mulai ikut mengambil dan menggunakan bumbu- bumbu yang tersebar di halaman rumah.
Belakangan bahkan kulihat—di sela-sela mual dan muntah yang terkadang muncul—ia ikut menyirami tanaman-tanaman tersebut. Juga membersihkannya dari gulma dan hama. Rupanya suasana hati juga memengaruhi kondisi di meja makan. Sejak meredanya ‘perang dingin’ antara bumbu alami dan bumbu instan, makanku lebih lahap. Walaupun lidahku tidak begitu peka, kurasakan makan di rumah jadi lebih menyenangkan.
Di suatu hari saat aku sedang libur kerja, kuniatkan untuk berbicara kepada ibu tentang keinginan istriku menanam bunga. Namun, ibu telah lebih dulu mengenakan pakaian ‘berkebun’, pakaian yang ia kenakan saat hendak merawat tanaman-tanamannya di halaman. Ibu juga memberi isyarat bahwa ia tak mau diganggu selama ‘berkebun’. Maka, aku pun menciut dan berkata dalam hati, “Lain kali. Lain kali akan kusampaikan.”
Sampai matahari sudah hampir tinggi dan istriku sedang bersiap memasak menu makan siang, ibu benar-benar tak muncul di dalam rumah. Istriku kemudian meminta untuk mengambil beberapa helai daun bawang. Maka, aku pun melangkah ke teras belakang dan mencari tempat tanaman itu biasanya ada. Namun, tanaman-tanaman tersebut tak ada lagi. Benar-benar tak ada. Juga beberapa tanaman bumbu yang lain.
Kembali ke dapur, kuceritakan apa yang barusan kulihat.
“Apa ibu mau menanam bumbu lain?” tanya istriku.
Aku mengangkat kedua bahu. Mungkin saja, tapi seingatku hal seperti ini belum pernah terjadi. Baru saja aku menebak-nebak, ibu muncul di dapur. Wajahnya tampak cerah meskipun bajunya kotor.
“Ke mana tanaman-tanaman di belakang, Bu?” tanyaku.
Ibu tidak langsung menjawab. Ia justru membiarkan pertanyaanku mengambang sembari berjalan ke arah keran air untuk mencuci tangan.
“Mau cari apa?” suaranya lembut.
“Daun bawang.”
“Sudah tidak ada lagi.”
Aku mengernyitkan dahi sembari melirik pada istriku. Kami berdua tak berani bersuara sehingga ada keheningan untuk sesaat.
“Mau masak apa?” ibu kembali buka suara.
“Sup ayam.”
“Ambil kantong plastik di teras depan. Di dalamnya ada bumbu siap pakai. Sudah ibu beli beberapa bungkus tadi untuk stok,” ujarnya sambil tersenyum.
Mendengar itu, aku semakin bingung.
“Cepatlah! Sebentar lagi waktu makan tiba. Ambil bumbu itu dan biarkan aku yang memasak sajian siang ini.”
“Tapi tanaman ibu?” aku tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.
“Ibu ganti dengan bibit bunga. Sudah waktunya rumah ini kelihatan lebih meriah, bukankah sebentar lagi kita akan kedatangan anggota baru?”
Kali ini, ibu dan istriku yang saling toleh. Keduanya tersenyum. ***
.
.
Rizqi Turama, dosen Universitas Sriwijaya. Lahir di Palembang, 4 April 1990. Pernah mengikuti workshop cerpen Kompas tahun 2016. Ia pernah memenangi beberapa lomba penulisan cerpen. Dua cerpennya, “Durian Ayah” dan “Mek Mencoba Menolak Memijit” juga pernah masuk dalam buku Cerpen Pilihan Kompas.
I Ketut Muka P lahir di Banjar Nyuh Kuning, Gianyar, tahun 1962. Pernah belajar melukis tradisi pada Ketut Sudana dan Wayan Kuplir di Ubud, Gianyar. Ia studi di S-1 PSSRD Universitas Udayana (UNUD) Bidang Kriya Keramik, lalu S-2 dan S-3 Kajian Budaya UNUD tahun 2015. Sejumlah pameran yang pernah diikutinya antara lain Pameran Bersama PKB 2018, 2016, 2015, 2013 Art Center, Pameran bersama Kriya Seni Galeri Monkey Forest Ubud 2015, Pameran Bersama Peresmian Museum Keramik Tantri Pejaten 2015, dan Pameran Anyaman Serat Galeri Nasional 2015.
.
Masakan Ibu dan Bumbu-bumbu. Masakan Ibu dan Bumbu-bumbu. Masakan Ibu dan Bumbu-bumbu. Masakan Ibu dan Bumbu-bumbu.
Sastra Jamu Puyeng
Saya kok merasa biasa saja dengan cerpen ini. Bukan sebab dia realis atau apa, cuma merasa tidak ada hal istimewa yang hendak disampaikan dalam cerpen. Atau mungkin saya saja yang sedang tidak mood membaca cerpen dengan gaya demikian.
Beberapa cerpen penulis yang di Kompas, misalnya “Durian Ayah” itu bagus. Dan ini menurut saya perubahan besar Ibu yang memakai bumbu olahan sendiri ke bumbu instan terlalu mengejutkan dan tidak memancing gejolak di pembaca. Entahlah. Mungkin saya yang kurang jampu puyeng dan kurang menikmati cerpen yang demikian.
RICARDO MARBUN
Iya, biasa saja.
Rml
Secara pribadi, berdasarkan pandangan saya sebagai pembaca sastra yang awam, saya suka tata penuturan cerpen ini. Sederhana, mengalir, dan mudah dimengerti. Tidak ruwet atau “diruwet-ruwetkan” seperti kasus pada beberapa cerpen mistik atau surealis. Jadi, cerpen ini masih sangat “terbuka” untuk mendapatkan kritik dan saran, karena pemaparannya yang gamblang, sehingga membuat setiap pembaca bisa berpendapat. Tidak semacam cerpen “ruwet” yang tidak mendapatkan kritik bukan karena cerpen tersebut baik-baik saja, tetapi memang tidak bisa dimengerti.
Tetapi dari segi ceritanya, menurut saya, bagian akhir cerpen ini hanya antiklimaks yang malah menurunkan kesan ceritanya. Bagi saya, cerpen ini akan sangat baik jika tamat dengan cerita di bagian pertengahannya, yaitu ketika istri dan ibunya bertanding memasak, dan si aku/pencerita menjadi juri, padahal ia tidak peka rasa masakan. Bagian selanjutnya, saya kira hanya memperpanjang cerita dengan cara yang tidak lagi mengesankan. Apalagi, saya tidak menemukan alasan logis, kenapa ibunya sampai rela mengganti tanaman sayurnya dengan bunga. Jika pun bagian akhir ttp penting bagi Penulis, semestinya ada “alasan” yang diisyaratkan terkait itu di bagian sebelumnya.
*Terus berkarya untuk Penulis. Salam kritik sastra!
masHP
Saya suka membaca kritik2nya. Jadi banyak belajar membaca sudut pandang pembaca.
Menurut saya sih enak dibacanya. Tapi memang alasan logis perubahan sikap ibunya yg gk dapet feelnya.
Sastra Jamu Puyeng
Sepakat dengan “usulan” ini. Berhenti di bagian itu menurut saya akan lebih menarik. Pertama konflik mertua-menantu tetap akan meruncing dan itu membuat pembaca bertanya-tanya, jadinya bagaimana. Kedua, paragraf selanjutnya adalah antiklimaks yang kurang menarik. Tidak ada simbolik yang oke juga setelah adegan mencicip makanan itu.
ricardomarbun27
Sederhana saja. Tidak ada kejutan apa apa.
Didit
Konflik antar generasi, antara cara lama dan cara baru, sederhana, tapi bukan itu yang membuat cerpen ini tidak menarik. Cara penyajiannya terlampau tell bukan show, kalimat-kalimat yang mubazir dan detail yg kurang digarap dengan serius membuat saya tidak tertarik dan cepat-cepat ingin berhenti bahkan pada paragraf-paragraf awal.
Dave
Memang dalam sastra dan kehidupan nyata pun tak jarang ada cerita tentang kesulitan dalam hubungan antara Ibu mertua dan menantu perempuan, suatu hubungan itu bisa memburuk atau membaik. Dalam naratif ini ada tokoh Ibu mertua yang berhasil menyesuaikan diri dengan adanya menantu perempuan dan dinamika baru yang berjalan di rumahnya. Namun penyesuaian ini tidak terjadi dalam satu hari, ada sejumlah tahap. Si narator aktor di naratif ini, menikah dan membawa istri barunya untuk tinggal di rumah Ibunya yang sudah menjadi janda. Narator aktor ada harapan Ibunya dan istrinya akan menjalin hubungan yang erat karena kedua-duanya gemar memasak tapi justru perkembangan cerita sebaliknya selama waktu yang cukup lama. Ternyata narator-aktor naif, dan hal memasak malah menjadi sumber ketegangan antara kedua perempuan itu sampai muncul suatu persaingan. Sikapnya masing masing tentang cara memasuk ini terkait dengan filsafat masing masing yang berbeda. Bagi Ibu mertua bumbu harus didapatkan dari kebunnya jadi rasa sajian lebih lezat, sebaliknya bagi menantunya semestinya dibeli agar menghemat waktu dan menaman bunga. Sepertinya Ibunya memiliki filsafat yang pragmatis sehingga halaman rumah diisi melulu dengan tanaman yang diperlukan demi kepentingan memasak. Lain dengan filsafat istrinya, ruang di halaman semestinya diperuntukkan untuk bunga, suatu tanda keindahan yang tak ternilai. Di puncak ketegangan antar mereka ada saingan yang muncul untuk meraih dukungan dan pengakuan narator-aktor tentang sajian mana yang lebih lezat. Syukurlah putusan itu bisa dihindari dengan dalih, narator aktor mengatakan dia tidak ada bakat (seperti almarhum ayahnya) sebagai juru cicip. Akhirnya ketegangan itu lenyap sama sekali setelah Ibu mertua sadar (sudah tahu tanda-tanda) menantunya telah hamil sehingga Ibu mertua langsung menyediakan ruang baik di halaman bagi bunga (agar kelihat lebih meriah tapi juga simbol hubungan yang baru) maupun secara simbolis ada ruang istimewa bagi semua termasuk anggota keluarga baru mereka.