Cerpen, Republika, Safry Dosom

Tanah Terjanji

Tanah Terjanji - Cerpen Safry Dosom

Tanah Terjanji ilustrasi Da'an Yahya/Republika

2.9
(14)

Cerpen Safry Dosom (Republika, 09 Juni 2024)

SETELAH kemarin peti mati itu tiba, tangisan Elisabeth pun berlarut-larut sampai berhari-hari. Matanya membengkak dan suara tangisannya mulai serak. Badan menjadi lemah tak berdaya. Berkali-kali ia menyebut nama suaminya yang terbaring kaku itu, tetapi tetap saja dari tidurnya sama sekali tidak memberikan jawaban. Berkali-kali ia mencium keningnya, tetapi tetap saja tidak ada balasan yang sama seperti sebelumnya. Ia benar-benar pergi dan tidak akan pernah pulang setelah ia diantar ke tempat yang banyak ditumbuhi oleh bunga mawar itu.

Dalam suasana yang mencekam itu, semua keluarga terus menghibur dan menguatkan diri Elisabeth dan anak-anaknya.

“Sabar, Sayang, cinta Tuhan lebih kuat daripada cinta yang kita miliki” lirih Oma Marta sambil memeluk Elisabet yang hampir tak berdaya itu.

Mendengar itu, tangisan Elisabeth pun semakin menjadi-jadi. Ia sama sekali belum siap menerima perpisahan itu. Perlahan tangannya yang bergetar kembali meraba tubuh suaminya itu dan kemudian ia membisikan sesuatu dengan suara pelan.

“Kobus, mengapa harus secepat ini? Anak-anakmu masih kecil dan masih mengharapkan cintamu.”

Mendengar kata-kata itu, seluruh keluarga yang hadir menangis semakin keras. Tingkah Elizabeth di samping peti mati itu membuat Pa Nadus dan kepala keluarga lainya merasa berat untuk menutup peti itu. Tetapi hanya karena situasi yang tidak lagi mendukung, mereka harus menutup peti itu dan segera diberangkatkan ke pemakaman.

“Biarkan ia pulang dengan damai, Elisabet. Semua doa kita pasti diterima di hadapan Tuhan….” kata Pa Nadus sambil memegang tangan Elisabeth yang mencoba menghalangi untuk menutup peti itu.

“Tuhan tidak adil!”

“Kobus sudah sembuh dan sudah bangkit untuk memulai hidupnya yang abadi.”

Elisabeth diam. Air matanya terus mengalir.

***

Cerita tentang kematian Kobus dimulai sejak ia meninggalkan tanah kelahirannya Manggarai. Kabarnya, beberapa bulan yang lalu, ketika musim hujan masih belum berakhir, Kobus—suami Elisabeth, memutuskan untuk mengadu nasib di Pulau Kalimantan yang jaraknya jauh dari Pulau Flores. Keputusannya saat itu sangat berat bagi Elisabeth dan keluarga besarnya. Mereka semua kaget mendengar keputusan Kobus saat itu. Hal itu terjadi karena setelah Kobus dan Elisabeth menikah belasan tahun yang lalu, baru kali ini.

Baca juga  Tahlil di Rumah Pak Nyoto

Elisabeth merasa heran dengan keputusanya saat itu. Bukan karena Elisabeth takut untuk berpisah dengan Kobus, tetapi bagi Elisabet keputusan itu sangat aneh. Sebelumnya Kobus sama sekali tidak tertarik dengan tawaran dari kepala keluarga lainya di kampung itu.

Apa salahnya kita mengelola tanah yang selama ini telah menjanjikan hasil yang cukup, pikir Elisabet saat itu.

Elisabet menyadari segala usaha dan perjuangan mereka selama ini sudah mendapatkan hasil yang cukup. Manggarai ataupun Pulau Flores pada umumnya memiliki kekayaan yang begitu melimpah. Tanah yang begitu subur telah menjanjikan kehidupan yang bahagia.

Sejak Kobus memutuskan untuk merantau, setiap hari ia selalu membujuk Elizabeth untuk menyetujui keputusan itu.

“Setelah mimpiku terwujud, aku pasti segera kembali!” celotehnya kepada Elisabet pada suatu kesempatan.

Elisabet diam dan menatap Kobus dengan lekat.

“Aku ingin mengubah kehidupan keluarga kita, Elisabeth.” Ia membukanya lagi.

“Ada apa dengan keluarga kita?”

“Kehidupan kita masih melarat, Elisabeth.”

“Aneh sekali kamu, Kobus!”

“Merantau merupakan satu-satunya jalan yang baik, Elisabeth!”

“Bagaimana dengan tanah kita? Selama ini kita tidak memiliki kekurangan yang membuat kita merasa sulit,” jawab Elisabeth dengan nada yang agak berat.

“Saya bermimpi untuk memperkuat keadaan ekonomi dalam keluarga kita!”

“Apa salahnya jika kita merawat tanah yang selama ini telah mendapatkan hasil yang cukup!”

“Itu tidak cukup!”

“Itu tidak cukup karena kita belum serius merawatnya, Kobus!” Elisabeth membantah. Kemudian ia berjalan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan pagi untuk anak-anaknya.

Kobus diam.

“Coba ubah pikiranmu itu!” dari dapur Elisabeth melanjutkan.

Dari ruang makan, Kobus menatap istrinya dengan lekat dan kemudian pandangannya beralih ke luar rumah.

“Lihat Pa Nadus tetangga kita, dulunya ia bekerja di tanah rantau dan setelah kepulangannya dengan cepat membangun rumah yang amat megah di sudut kampung itu.”

Baca juga  Semahu Labur

“Apakah itu menjadi sebuah ukuran? Lihat, sekarang Pa Nadus merasa sulit di tanah kelahirannya sendiri. Ia mengadu nasib di tanah rantauan selama puluhan tahun dan setelah pulang ia tidak memiliki apa-apa setelah uang hasil pekerjaannya habis. Tanahnya begitu banyak tetapi tidak ada hasil dari sana untuk menunjang masa tuanya itu,” suara Elisabeth semakin keras.

Kobus diam.

“Apa yang disampaikan istrimu itu benar, Kobus. Tidak selamanya bekerja di sana itu sukses,” kata Oma Marta, ibu Kobus, yang masih terbaring lemah di tempat tidurnya.

“Tergantung bagaimana cara kita bekerja, Ibu.”

“Kamu dengar, kan!? Beberapa bulan yang lalu Pa Ambrose warga di kampung sebelah meninggal di tanah rantau dan jenazahnya tidak dipulangkan ke kampung halamannya.” Oma Marta mencoba membuat Kobus takut ketika mengingat kembali semua kejadian yang selama ini sering terjadi.

“Jangan berpikir yang aneh-aneh, Ibu!”

“Kita juga harus berpikir seperti itu, Kobus, selama ini banyak orang NTT yang mati di tanah rantau, baik di luar negeri maupun dalam negeri.” Oma Marta menyampaikannya dengan nada sedikit kesal dan ia melanjutkan lagi, “Apa yang kamu takut hidup di atas tanah kelahiranmu sekarang? Simon ayahmu telah mewariskan begitu banyak tanah sebelum kematiannya. Kopi, cengkeh, dan sawah telah ia tinggalkan. Ia bekerja demi kamu dan keluarga kecilmu.”

“Tolong dengar apa yang disampaikan ibu, Kobus! Hasil yang telah kita peroleh selama ini sudah lebih dari cukup. Aku yakin kita bisa membiayai sekolah dari anak-anak kita!”

“Jika kamu bekerja dengan keras untuk merawat semua tanah yang kita miliki, tentu akan mendapatkan hasil yang melimpah,” lanjut Oma Marta dengan nada yang sedikit kecewa.

Kobus hanya diam. Ia tidak melanjutkan lagi permintaanya.

Lama Elisabeth menimbang setelah perdebatan itu. Melihat suaminya tidak bersemangat dan sering memarahi anak-anaknya dengan alasan yang tidak jelas, beberapa minggu kemudian ia mengizinkan kepergian suaminya. Saat itu Elisabeth berusaha untuk tetap tenang dan tidak terlalu sedih atas kepergiannya. Ia tahu perpisahan itu hanyalah sementara.

Baca juga  Aru-Aru

***

Kematian Kobus bukanlah suatu peristiwa aneh bagi warga di kampung Lempang. Kematian di tanah perantauan sudah tidak menjadi asing lagi bagi mereka. Selama ini banyak peti mati yang dikirimkan dari tempat dimana mereka merantau. Bagi warga di kampung kelahiran Kobus atau untuk orang NTT pada umumnya, tanah perantauan adalah tanah terjanji.

Anggapan ini sudah tertanam dalam pikiran mereka. Hal itu membuat mereka beramai-ramai meninggalkan kampung halaman. Tanah terjanji yang mereka bayangkan seperti tanah yang dijanjikan oleh Tuhan kepada umat Israel setelah bebas dari perbudakan Firaun. Tanah yang membawa kebahagiaan, kesuburan, kehidupan dan kekayaan yang melimpah.

Menurut Pa Nadus yang pernah bekerja sekitar puluhan tahun di tanah rantauan; peristiwa kematian telah menjadi hal yang biasa. Sebab pertama-tama tanah rantauan memberikan kehidupan dan dilihat sebagai tanah terjanji. Sehingga hal ini terus memperkuat tekad mereka untuk tetap bekerja di sana. Setiap tahun banyak warga kampung memilih meninggalkan tanah kelahiran mereka. Mereka yakin bahwa bekerja di tanah perantauan akan membantu pertumbuhan ekonomi yang selama ini menjadi alasan utama mereka untuk merantau.

***

Setelah kematian Kobus yang secara tiba-tiba itu, Elisabeth pun merasa terpukul. Bagi Elizabeth dan keluarganya, tanah perantauan bukan lagi tanah terjanji seperti yang sering disebut dan diagung-agungkan oleh warga kampung lainnya. Bagi mereka tanah rantauan merupakan tempat yang menyimpan luka. Bukan seperti tanah yang dijanjikan oleh Tuhan kepada bangsa Israel setelah mereka keluar dari perbudakan Raja Firaun. ***

.

.

Maumere, April 2024.

Safry Dosom adalah mahasiswa Filsafat di Institut Filsafat dan Teknologi Kereatif (IFTK) Ledalero. Penulis berasal dari Manggarai Barat. Beberapa cerpennya telah muat di media nasional dan lokal.

.
Tanah Terjanji, Tanah Terjanji,

Loading

Average rating 2.9 / 5. Vote count: 14

No votes so far! Be the first to rate this post.

2 Comments

  1. Delciana

    Wow keren banget fr.

  2. Gery Haman

    Cerpen yang sangat luar biasa! Semoga dapat menjangkau dan memberi pencerahan bagi yang hendak merantau😊

Leave a Reply

error: Content is protected !!