Cerpen Anisa Aprilia (Republika, 02 Juni 2024)
GEMERCIK gerimis beralun dengan dinginnya udara pedesaan. Sebuah rumah sederhana dengan sumur tua di sampingnya melengkapi tanah yang basah. Sepasang kutilang yang kasmaran tak kalah dengan dua sejoli yang belum lama menikah. Perempuan nan ayu dengan mata sayu, terlihat mempesona tubuh mungilnya.
Perempuan itu bernama Dede. Bunga Betawi yang berhasil dipetik oleh lelaki yang lebih tua dan berasal dari Gunungkidul. Luwung, begitu julukannya. Laki-laki yang hidup sederhana, namun tidak jelas pekerjaannya. Sering berpenampilan seadanya, tak peduli dengan jenggot yang kian lebat. Entah apa yang membuat Dede jatuh cinta.
Pada akhirnya, jika dua hati dikehendaki, bagaimana bisa dipungkiri. Mereka tinggal di dekat rumah Ibunda Luwung. Tak bisa dihindari jika terkadang ada keributan yang saling melempar selisih paham. Keluarga kecilnya semakin lengkap ketika dianugerahi buah hati uger-uger lawang, begitu masyarakat Jawa menyebutnya untuk dua anak yang berjenis kelamin laki-laki semua. Kehidupan Dede seperti dipaksa untuk beradaptasi.
Tentu saja budaya Betawi ada yang berbeda dari budaya Jawa. Setiap hari Dede berusaha mendekatkan diri kepada warga di sekitar tempat tinggal barunya. Tidak selalu. Hanya saja di waktu tertentu. Seperti saat mulai terdengar klakson tukang sayur sembari menjajakan dagangannya, Dede bergegas turut tampil di antara ibu-ibu lainnya. Ibu-ibu yang lain juga terlihat ramah, meski terkadang perbincangannya mengarah pada ghibah.
Kehidupan Dede dan Luwung setiap hari dijalani dengan penuh kesederhanaan. Apalagi merawat kedua buah hatinya yang jarak umurnya tidak jauh. Sudah pasti, Dede sering mengeluh. Kebutuhan yang sering tidak tercukupi, membuat keluarga ini mudah tersulut emosi. Akan tetapi, Dede dan Luwung juga tidak bisa prihatin.
Mereka memiliki kemauan untuk selalu memenuhi apa yang mereka inginkan tanpa berpikir panjang. Dede merupakan pecinta kopi. Setiap hari harus mengkonsumi, jika tidak ia seperti tak ada ambisi. Normalnya, seseorang meminum kopi hanya satu atau dua gelas per hari. Akan tetapi, aturan itu tak berlaku untuk Dede. Ia bisa mengkonsumsi kopi lebih dari tiga gelas per hari.
Tak cukup Dede saja, Luwung yang sebagai kepala keluarga hanya seperti membawa kepalanya saja. Luwung pengangguran, setiap malam meninggalkan rumah untuk taruhan dengan sisa uang yang menjadi pegangan. Tak sedikit uang yang melayang, seringkali tidak menang. Keegosian mereka yang membuat kehidupan keluarga kecilnya sering mengalami masalah. Bahkan Dede sering terdiam dengan tatapan kosong seakan ingin berlari tanpa henti. Ia pernah beberapa kali berusaha kabur dari rumah dan mengubur permasalahan yang dihadapinya. Dede dan Luwung sudah seringkali beradu mulut, hingga Dede berusaha kabur dari rumah. Keadaan keluarga mereka seperti bunga bangkai yang semerbak. Semua tetangganya turut mencium bau menyengat. Tak sedikit warga yang menyebut Dede kurang waras karena sering berusaha kabur dari rumah.
Suatu ketika, menjelang adzan magrib berkumandang, pintu-pintu mulai tertutup. Tidak dengan pintu rumah Dede dan Luwung yang masih terbuka lebar. Terdengar suara yang memekik hingga membuat gendang telinga seperti terganggu serangga. Dede dan Luwung berdebat dengan hebat. Debat kali ini bukan soal rebutan hak warisan, hanya karena kopi yang belum Dede dapatkan hari itu.
“Aku mau beli kopi sekarang!” di depan pintu sambil menggendong anaknya yang paling kecil Dede berteriak.
“Kamu sudah berapa kali hari ini minum kopi?! Nggak usah, sekarang sudah maghrib, masuk ke dalam!” sahut Luwung yang juga mulai emosi karena kebiasaan istrinya yang selalu meminum kopi.
Dede terlihat sangat cemberut. Luwung langsung masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Dede beserta anaknya yang paling kecil di depan pintu. Adzan magrib mulai terdengar di mana-mana, pintu rumah yang belum tertutup itu seperti mengisyaratkan akan ada yang pergi atau mungkin kembali. Luwung tersadar, bahwa tadi istri dan anaknya yang paling kecil belum masuk ke rumah. Luwung segera menghampiri istri dan anaknya ke depan pintu.
“Ha?!” Luwung terkejut. Tubuhnya seakan beku dengan mulut ternganga. Bola matanya seakan ingin terjatuh. Luwung hanya melihat anaknya yang paling kecil duduk sendirian di depan pintu tanpa Dede di sana. Sontak suara Luwung turut menggugah pendengaran ibunya.
“Ada apa, Le?” tanya Ibunda Luwung yang juga penasaran.
“Ini lho, Bu. Ikmal kok dibiarin duduk sendiri di depan pintu maghrib-maghrib begini. Dede malah nggak tau sekarang ke mana,” jawab Luwung yang sudah geram terhadap istrinya. Luwung tidak langsung mencari Dede, karena hal tersebut sebenarnya sudah sering terjadi. Dede yang kerap menghilang seperti kabur rupanya sudah tidak menjadi kekhawatiran yang cukup menakutkan untuk Luwung.
“Alah, paling juga sembunyi di kandang sapi belakang rumah seperti biasanya,” gumam Luwung sambil duduk di tikar.
Satu jam sudah berlalu, bahkan melewati adzan isya’ Dede juga belum kembali. Luwung makin geram. Bergegas dengan emosi yang menggebu dia mencari Dede ke kandang sapi yang terletak di belakang rumah. Nihil. Dede tidak ada di sana. Luwung segera beranjak mencari Dede ke rumah tetangga di sekitarnya. Tetap saja, tak ada hasil yang menunjukkan Dede ada di sana. Luwung mulai bingung ke mana lagi harus mencarinya.
Luwung berjalan dengan langkah hati-hati menuju rumah Mbah Narto. Cahaya rembulan menyinari jalanan yang sepi. Sesepuh dusun itu dikenal sebagai orang yang memiliki pengetahuan di luar nalar, dan Luwung berharap dia bisa memberikan petunjuk. Di depan pintu rumah Mbah Narto, Luwung menarik napas dalam-dalam. Dia menceritakan kejadian istrinya yang hilang sejak magrib.
“Mbah, niki pripun? Dede semenjak tadi magrib tiba-tiba nggak ada di rumah. Saya sudah mencarinya masih belum ketemu.” Luwung menceritakan dengan penuh rasa takut. Mbah Narto mendengarkan dengan serius, matanya menatap Luwung tajam.
“Kamu harus tetap mencarinya,” kata Mbah Narto dengan suara rendah. “Cari sampai ke Watu Galeng, di sana memang perbukitan dan dipenuhi semak-semak, bisa jadi istrimu ada di sana. Jika istrimu belum ditemukan hingga jam 8 malam, aku yakin Genderuwo yang membawanya.”
Luwung mengangguk, hatinya berdebar. Dia tahu bahwa pencarian ini bukan hanya tentang istrinya, tapi juga tentang keberanian dan tekadnya untuk menghadapi dunia gaib. Dengan tekad yang bulat, Luwung melangkah ke arah Watu Galeng, memasuki hutan yang legendaris itu dengan hati yang penuh harapan dan ketakutan.
Gaduh melanda dusun. Warga dari dusun sebelah pun ikut berpartisipasi dalam pencarian. Mereka menyisir ladang, sawah, bahkan menyusuri semak-semak. Di antara tumbuhan jagung, mereka mencari Dede dengan tekad yang kuat. Namun, hasilnya nihil. Dede belum juga ditemukan. Anak Dede yang paling kecil terus menangis, suaranya memecah kesunyian malam. Wajah-wajah warga penuh kekhawatiran dan ketidakpastian. Mereka bergumam, merasa bahwa situasi ini bukanlah hal wajar. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih misterius yang terjadi di balik hilangnya Dede. Apakah ini hanya kebetulan atau ada kekuatan gaib yang terlibat.
Luwung kembali ke rumah Mbah Narto.
“Mbah, ini gimana sampai sekarang saya masih belum menemukan istri saya. Gimana mbah?” tanya Luwung yang sudah sangat panik dan menahan air mata.
“Ya sudah, sekarang kumpulkan para warga dan mintalah mereka untuk membawa tampah dan juga linggis. Kita akan melakukan tradisi bleg-bleg thing,” sesepuh itu meminta agar semua warga melakukan tradisi bleg-bleg thing.
“Bleg-bleg thing? Itu apa Mbahh?
“Bleg-bleg thing merupakan tabuhan dari tampah dan linggis yang dihentakkan ke batu, suara tersebut akan timbul. Diyakini bahwa tradisi ini dapat mengembalikan seseorang yang dibawa oleh genderuwo,” jawab Mbah Narto yang berusaha menjelaskan ke Luwung.
Ketika ingin memulai tradisi atau ritual bleg-bleg thing, hawa dan suasana di sekitar Luwung tinggal berubah menjadi mencekam. Angin bertiup sangat kencang. Banyak hewan ternak yang bersuara, terlebih sapi. Selain itu, juga semua orang diperintahkan Mbah Narto untuk menutup pintu rapat-rapat. Semua warga berkumpul, hati-hati mengikuti instruksi Mbah Narto. Suara bleg-bleg thing-thing menggema di malam gelap, menciptakan getaran mistis di udara. Luwung berharap, dengan ritual ini, istrinya akan kembali ke pelukan mereka.
Para warga beserta Mbah Narto hanya membutuhkan waktu kurang dari 15 menit untuk mengetahui Dede dibawa siapa dan kemana. Saat semuanya masih sangat gaduh untuk bersaing menandak. Tiba-tiba semua tercengang. Ada suara orang yang dilemparkan di antara semak-semak jagung memecah kesunyian malam. Dua orang warga mengaku bahwa sebelumnya mereka sudah melewati tempat tersebut dan tidak melihat apa-apa. Warga sangat menganggap kejadian itu adalah hal aneh.
“Lho! Sejak kapan Dede ada di situ? Dari tadi aku sudah menyusuri itu dan tidak ada apa-apa,” ucap salah satu warga laki-laki.
Dede ditemukan di tengah semak-semak jagung dengan penampilan yang sedikit berbeda. Penampilan Dede berubah drastis pada malam itu. Wajah Dede tampak pucat, matanya memancarkan ketakutan. Baju yang dikenakan sudah compang-camping sangat berantakan. Dia memeluk tubuhnya sendiri, seolah mencoba menghangatkan diri dari dinginnya malam. Dede terdiam beku, tatapan kosong, dan keanehan-keanehan lainnya menjadi tanda tanya untuk para warga yang melihatnya. Mengetahui kondisi Dede tersebut, Mbah Narto segera melakukan tindakan untuk mendoakan Dede.
Saat doa dilafalkan oleh Mbah Narto, mata Dede mulai berlinang air mata, akan tetapi masih tertahan untuk mengatakan sesuatu. Tak lama kemudian, anak Dede yang paling kecil menangis sangat keras. Saat itu juga, Dede mulai bisa menangis dengan bersuara juga.
Pada keesokan harinya, Dede kembali menjalani aktivitas hidup seperti biasanya. Ada salah satu warga yang menanyai Dede tentang kejadian itu. Dede pun menjelaskan apa yang ia rasakan ketika ia mulai menghilang.
“Waktu itu rasanya aku kaya dibawa terbang oleh sosok hitam, besar, dan berbulu lebat. Aku tidak diapa-apakan, namun, bajuku banyak yang compang-camping atau dirusak olehnya. Setelah itu, pada saat aku akan kembali, rasanya aku seperti dibanting sangat keras. Oleh karena itu, aku seperti tidak bisa bersuara dan tidak bisa menangis.
Setelah kejadian itu, Dede mulai berhati-hati lagi. Ia tidak bisa sembarangan menyalahi tradisi atau kepercayaan masyarakat sekitar yang menyatakan bahwa saat maghrib dilarang untuk marah. Semenjak saat itu, Dede sudah jarang marah dan meninggalkan rumah, walau kadang masih tetap berdebat dengan suaminya. ***
.
.
Anisa Aprilia adalah mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angakatan 2021 Universitas Negeri Yogyakarta. Ia lahir pada 16 April 2003 di Gunungkidul. Nisa sering mengikuti perlombaan seperti puisi, bercerita, pidato. Ia pernah menjadi Juara 1 Lomba Bercerita Islami tingkat Kabupaten pada tahun 2019 dan Juara Favorit Podcast Muslimah tingkat Nasional tahun 2020. Belum lama ini, di tahun 2023, juga mendapatkan Juara 4 Lomba Cipta Puisi dan Juara 2 lomba Dai. Selain itu juga menjadi finalis dalam ajang lomba kementerian P2MW. Anisa juga menjadi salah satu mahasiswa berprestasi Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2024. Nisa bisa dihubungi melalui surel anisaapriliaa2020@gmail.com atau instagram @watashi.nisa, @coretansastranisa dan juga akun tiktok @ansapr16.
.
.
Leave a Reply