Cerpen Saras Dewi (Kompas, 09 Juni 2024)
AKSARA menghubungkan aku dan adikku. Tisikan huruf adalah jembatan kata-kata yang mempertemukan surga dan bumi. Aku bergantung pada paragraf-paragraf ini untuk menceritakan petualangan kami berdua.
Adikku adalah seorang yang usil dan jenaka. Ia sering mengendap-endap masuk ke kamarku, memakai baju tank top, yang terlampau dewasa untuknya. Ia juga mencuri diariku, lalu membaca segala tulisan yang seharusnya menjadi rahasiaku!
Sekali waktu ia memakai kaus bermodel sabrina kesayanganku, lalu menumpahkan es krim cokelat. Betapa marahnya aku saat itu, tetapi sekarang, memandang noda yang membekas, hatiku patah berkali-kali.
Aku menatap ranjang tidurnya yang kini kosong. Poster idola yang ditempel oleh adikku, yang sangat ia sayangi, menatap mataku dengan senyum yang aneh. Barang-barang di kamarnya yang menyaksikan setiap lembar hari ia bertarung dengan rasa sakit, mual, muntah, nyeri di kepala, sakit yang serasa merobek dadanya, mereka berada dalam posisinya masing-masing terkatup hening. Aku melamun di dalam kamar yang hampa itu, lalu dengan punggung yang berat mengambil barang-barang yang akan menemani adikku di pembaringannya.
Jenazah adikku dibaringkan di bale rumahku. Ia tampak seperti tertidur nyenyak, tidak terganggu dengan keluarga besarku yang duduk bersila dan bersimpuh membahas bersama pendeta yang berpakaian kain serba putih mengenai tanggal yang tepat untuk melaksanakan prosesi kremasi. Ibu dan Bapakku yang malang, mereka masih dalam kondisi syok dengan mata yang mengawang sembab, duduk dengan tubuh yang kuyu. Aku duduk di ujung dipan, di kaki adikku yang telah kaku diselimuti kain berwarna putih dan kuning.
Pendeta telah menghitung hari yang tepat untuk mengadakan upacara Ngaben, kremasi dalam agama Hindu Bali adalah ritual besar yang melibatkan seluruh keluarga dan seluruh warga desa di tempat kami tinggal. Minggu depan tubuh adikku akan dibakar kemudian abunya dikembalikan pada samudra.
Sebagai kakak, dalam adat Bali aku diwajibkan menjaga tubuh adikku yang dibaringkan di bale terbuka itu. Memberikannya makanan, minuman, dan berbagai sesaji, sebab keyakinan agama Hindu Bali memercayai bahwa arwah adikku masih melakukan kebiasaan-kebiasaannya semasa hidup. Aku berpikir, apakah karena itu aku merasa ia masih sangat dekat bersamaku, aku tidak merasa dia sudah tiada dari dunia ini. Sambil menyuguhkan jaje Bali, berwarna-warni, beraroma pandan, dengan beragam bentuk wajik, bulat, kotak, aku susun semanis rasa kue-kue itu.
Aku juga diwajibkan menunggui jenazah adikku. Saat rapat keluarga, pembahasan menjadi sedemikian mencekam ketika Uwakku mengatakan, belakangan ini sering terjadi pencurian organ jenazah untuk digunakan sebagai jimat, mereka mengincar jari tangan dan kaki. Apalagi Uwakku menjelaskan adikku diyakini oleh orang-orang desa sebagai kematian yang suci, kematian seorang anak perempuan yang hidupnya masih murni.
Malam pertama itu aku duduk di bawah dipan tinggi adikku. Harum dupa semerbak menyelimuti adikku, ia masih kelihatan tertidur tenteram dengan bulu matanya yang lentik. Uwakku menyelipkan di samping tikar tempat aku tidur, sebilah keris yang diwariskan dari kakek-nenek buyutku.
Aku masih kebingungan, mengapa aku harus tidur ditemani keris. Aku membuka buku pelajaran kuliah agar sepanjang malam dapat terjaga. Aku mendongak mengintip sedikit adikku, dan aku lihat tubuhnya masih utuh terbaring. Mayat adikku masih utuh, tidak ada yang mencurinya.
Pada malam sebelum upacara Ngaben, perasaanku menjadi gelisah, sebab tidak biasanya burung gagak terus bersuara serak. Aku berusaha mencari di mana ia bertengger, tapi keadaan di luar terlalu gelap. Aku memeriksa tubuh adikku, segala lengan, sepuluh jari tangan, kemudian sepuluh jari kakinya, semuanya kuperiksa dengan saksama. Entah mengapa firasatku mengatakan ada sesuatu yang salah.
Aku terduduk di bawah dipan tinggi adikku, melihat ke sekelilingku yang sunyi, hanya suara jangkrik dan katak sawah yang berbicara mengiringi malam. Aku menaruh jemariku di atas keris dengan batu mirah itu, seraya bersiap membukanya dari sarung beludru berwarna merah marun itu.
Arus mengantuk serasa aliran yang pelan membuai, arus itu membawa dari kakiku hingga leher dan kepalaku ke sungai yang mengantarkan batin ke alam mimpi. Suara gemerincing mengejutkan aku, aku membuka mata dan terkesiap karena aku tidak lagi berada di rumahku… gemerincing itu nyaring memanggil. Aku berdiri melihat sekitarku dengan kaki yang gontai. Di manakah ini?!!
Gelap menyelubungi, dan menahanku dalam dingin yang tak bisa kujelaskan, tulangku menggigil… gemerincing itu terus berbunyi, aku berjalan mengikutinya, mencari sumber dentingan-dentingan itu. Aku berjalan menyusuri sungai yang gelap gulita itu, hanya cahaya bulan yang membimbingku. Setibanya di dekat jembatan, aku melihat seseorang meringkuk, seolah-olah bersembunyi di sisi jembatan.
Aku mengayunkan kaki mendekatinya, suara gemerincing kini bersisian dengan suara tangis. Aku menghampirinya. Ia mengangkat wajahnya yang tenggelam di kedua lengannya, saat ia melihatku, kami berdua berteriak saling terkejut.
“Kakak! Aku memanggilmu dari kemarin. Akhirnya Kakak telah sampai….”
Aku sempat kehilangan kata-kata, dan tidak ada ucapan yang keluar dari mulutku. Aku menyentuh tangannya, lalu wajahnya yang manis, aku menghapus air matanya. Aku mendekapnya erat, ingin menyatukan tubuh mungilnya dengan tubuhku.
“Tempat apa ini?”
“Ini dunia antara Kak.”
“Dunia antara?”
“Ini dunia penghubung antara dunia yang hidup dengan dunia roh.”
Aku menangis mendengar suaranya yang lirih. Tanganku yang gemetaran menyentuh kening, pipi dan kedua tangannya. Perasaan yang janggal, aku merasa sedang menyentuhnya, tapi sekaligus tidak sungguh-sungguh bisa menyentuhnya. Aku menggenggam jemarinya dengan erat meski jemarinya samar-samar tampak seperti kabut yang perlahan menghilang.
“Kenapa kamu terus menangis, apakah badanmu sakit, bagaimana Kakak bisa menolongmu?”
Ia menggelengkan kepala, “Tidak ada yang sakit Kak… hanya aku terjebak di sini, padahal aku harus pergi ke tempat itu.”
Adikku menunjuk ke arah batu karang besar yang berada di tengah-tengah samudera lepas. Aku tidak bisa memastikan jarak dari hutan ini menuju bibir pantai, jarak serasa jauh dan dekat, begitu juga waktu, tidak begitu jelas apakah ini pagi, siang atau malam.
Aku membersihkan lutut dan kaki adikku dari lumpur yang melekat, kami keluar dari bawah jembatan itu bergandengan tangan. Tidak lama kemudian kami sudah memasuki hutan yang gelap, aku menerobos tanaman-tanaman raksasa mirip seperti pakis. Adikku berjalan di belakangku, aku selalu menoleh ke belakang memeriksanya.
“Apakah badanmu baik-baik saja, kamu tidak kehilangan apa pun?” tanyaku sambil terus memilah di antara tumbuhan besar itu.
“Kehilangan apa, Kak?”
“Anggota tubuhmu utuh semua?” aku menyambung pertanyaan.
Ia mengiyakan sambil terus mengikutiku.
Aku terkesiap saat tanah di depanku menyembur dan mengeluarkan cairan hitam, mulanya semburan kecil, namun perlahan semburan itu semakin tinggi. Kami berdiri terpaku, lalu saat tersadar aku berteriak pada adikku untuk berlari. Aku menoleh ke belakang dan semburan hitam itu sudah berubah menjadi lidah-lidah panjang yang menyala menjuntai. Lidah itu menggapai-gapai kami. Semakin dekat… semakin dekat lalu menyergap dan melilit mata kaki adikku.
Ia terjatuh dan berteriak. Aku berhenti berlari, berbalik lalu menarik tangannya. Matanya yang polos menerawang memasuki jiwaku. Aku teringat keris bermata mirah! Ia muncul di tangan kiriku, kemudian secepat mungkin aku berlari dan menancapkan ujungnya yang berkilat ke lidah hitam keunguan yang melata itu. Selepas menghunjam tusukan, makhluk itu menggelepar, akhirnya ia melepaskan adikku. Terengah-engah aku menariknya untuk berlari menjauhi luberan cairan hitam itu.
Kami berlari serasa ratusan tahun lamanya, setiap aku merasa batu karang di tengah pulau itu telah dekat, hutan serasa melebar, dan tidak juga kami sampai di bibir pantai. Aku berhenti dan berusaha mengejar napasku sendiri.
“Kenapa kita tidak sampai? Apakah kita berputar-putar saja!” Aku memekik panik.
Kami berhenti sejenak dan terduduk di batu. Aku masih menggandeng tangan adikku, aku memeriksa semua jemarinya, masih lengkap.
Suara gemerisik dedaunan muncul dari langit-langit hutan, aku menengadahkan kepalaku. Belum sempat aku menghindar, bola yang mirip dengan kepompong itu menyedot aku dan adikku. Keris yang tadinya erat kugenggam, tiba-tiba terlepas. Tenggorokanku tersekat, aku juga melihat adikku mulai terangkat dan dicekik di dalam kepompong yang transparan itu. Aku berusaha meraih adikku, tetapi ia semakin menjauh. Air mataku mengalir satu per satu, aku telah gagal melindungi adikku.
Mengapa ia harus sakit, mengapa ia meninggal, mengapa aku memarahinya untuk soal-soal kecil, mengapa ia yang harus mati, bukan aku saja? Pertanyaan-pertanyaan itu berkelebat saat paru-paruku tercekik.
Kala aku hampir menyerah, sangkakala berbunyi memekakkan. Dari kejauhan satu sosok melayang terbang melesat mendatangi monster yang menangkap kami. Sosok itu… sosok yang menenteramkan, akan tetapi juga menakutkan. Siapakah dia?!
Sosok itu terbang dengan tubuh berwarna putih seperti ditumbuhi kristal-kristal melati cemerlang. Dengan ringannya ia menyobek selaput yang menyekap aku dan adikku, monster itu meraung-raung, lalu melepaskan kami dengan ketakutan.
Sosok itu meletakkan aku di tanah menggunakan sorotan matanya, sementara ia memapah adikku dengan wajah yang berpendar. Sama sekali aku tidak sanggup menatap wujudnya yang menyilaukan. Lambat laun sinar itu redup, meresap ke dalam pori-pori kulitnya.
Adikku telah bangkit dengan seulas senyuman, ia merangkul sosok itu.
“Kakak, Ia datang untuk menjemputku!”
“Tunggu dulu siapa dia? Kamu yakin dia bukan memedi lainnya yang berusaha menyakitimu?!”
Adikku tersenyum, “Ia yang mengangkat samsara, melipur seluruh jagat ini. Ia berasal dari samudra. Di tempat itulah aku akan mengabdi, aku akan menjaga Pura di puncak batu karang putih itu, Kak.”
Ajaibnya, ketika aku membalikkan badan, aku sudah sampai di pantai dengan karang yang megah itu. Adikku merangkulku erat dan mengucapkan terima kasih. Aku masih meratapinya, walau ia memohon untuk jangan menangisinya lagi. Aku mengatakan bahwa manusia hanya memiliki air mata untuk menerima perpisahan.
Aku terbangun bersama jenazah adikku di sampingku, tangan kami terkunci dalam genggaman. Hari ini adalah upacara Ngaben adikku, si bunga bulan. Aku memandikannya untuk terakhir kalinya, mendandani parasnya yang cantik, menyisipkan cincin mutiara di jari manisnya. Saat adikku dikembalikan kepada api diiringi gending liris, ia tidak musnah, tetapi ia telah tersebar menjadi serpihan-serpihan kekal yang membentuk bimasakti. ***
.
.
Saras Dewi. Sastrawan dan penulis yang senang meneliti tentang filsafat teknologi. Sehari-harinya mencari inspirasi untuk menulis dengan berjalan kaki keliling kampus dan melamun di Ratangga.
Ni Nyoman Sani. Lahir di Sanur, Bali, tahun 1975. Selepas SMA, dia bekerja di bidang garmen dan belajar bahasa Inggris di Denpasar, lalu kuliah di ISI Denpasar hingga lulus pada tahun 2001. Ibu dua anak ini aktif berkesenian sejak tahun 1990-an. Tahun 2000 menjadi salah satu dari 100 Finalis Philip Moris, lalu pada 2023 menjadi pemenang pertama UOB Painting of the Year Indonesia.
.
Bunga Bulan. Bunga Bulan. Bunga Bulan. Bunga Bulan. Bunga Bulan. Bunga Bulan. Bunga Bulan.
Gede Astawe
Baru baca setengah
Gak terasa..
Menetes pula air mataku
Pesan nya begitu dalam..
Bagaimana kita bersaudara…