Cerpen, Iin Farliani, Koran Tempo

Guru Besar

Guru Besar - Cerpen Iin Farliani

Guru Besar ilustrasi Alvin Siregar/Koran Tempo

3.2
(5)

Cerpen Iin Farliani (Koran Tempo, 09 Juni 2024)

AKU bangkit dari bak berisi cairan formalin. Seluruh tubuhku menguarkan bau yang sangat menyengat. Bau yang akan mengikuti mahasiswa kedokteran ke mana pun mereka pergi sehabis mereka menyelesaikan praktikum anatomi di ruangan ini. Bau yang menghantui mereka sampai mereka merasa kehabisan napas dan kehilangan nafsu makan. Tak bernafsu menyentuh hidangan apa pun yang berada di meja makan. Hidangan berupa daging akan segera membuat mereka mual sebab hidangan itu menyerupai potongan-potongan organ yang telah mereka saksikan di ruangan anatomi ini.

Aku bangkit dengan langkah tertatih-tatih. Aku mencermati bagian-bagian tubuhku. Bagian dada yang sudah terbelah menampakkan tonjolan potongan organ. Aku menahan tonjolan-tonjolan itu dengan jari-jari tanganku yang pucat agar organ-organ itu tak tumpah dari tempatnya. Meski aku tahu hal ini sia-sia belaka. Tubuhku sudah betul-betul tidak utuh.

Mahasiswa-mahasiswa itu telah mencongkel, mengais, mengorek, melakukan segala macam pembedahan untuk memahami bagian-bagian dari tubuhku beserta fungsinya. Pembedahan itu membuat tubuhku serupa lemari tua yang dibongkar isinya dan segala yang muncul dari sana dibiarkan berserakan tanpa sempat diletakkan kembali ke tempat semula. Aku bahkan tak bisa membungkukkan tubuhku begitu saja sebab seketika usus-ususku terburai dari tempatnya. Tiap kali aku menggerakkan tubuhku sedikit, ada saja bagian dari tubuhku yang mencuat, jatuh berserakan, membuatku merasa bisa hancur saat itu juga menjadi tak lebih dari tumpukan sampah daging.

Ah, betapa fananya tubuh manusia! Betapa jeleknya tubuh ini ketika sudah mati dan diawetkan seperti ini. Tak ubahnya daging-daging yang sering kau lihat dalam sebuah perayaan ketika daging-daging itu baru diangkat dari air rebusan. Daging-daging yang masih harus melalui pemrosesan di bawah tangan-tangan perkasa untuk digerus sampai betul-betul licin. Terus digerus hingga sari-sarinya habis terbuang hingga yang tinggal ialah satu baskom berisi sari-sari daging berwarna merah, yang oleh orang-orang sering disangka seluruhnya adalah darah.

Kini aku duduk di pinggiran bak berisi cairan formalin ini. Aku memperhatikan sekelilingku. Beberapa saat aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Aku terkejut menyadari kalau tempat ini bukanlah ruangan anatomi yang sudah beberapa tahun kutempati. Ini tempat yang lain! Betul-betul tak sama dengan ruangan anatomi. Siapa yang memindahkanku ke tempat ini?

Semestinya sejak bangkit dari bak berisi cairan formalin itu aku sudah sadar bahwa tempat ini adalah tempat yang berbeda. Meski alat-alat laboratorium yang berada tak jauh dari bak ini membawa suasana yang mirip dengan ruangan anatomi, keberadaanku yang tak lagi telentang di ranjang besi melainkan kini di bak penampungan, sudah merupakan penanda jelas kalau aku tak berada di ruangan yang biasanya.

Mengapa aku bisa ada di sini? Aku masih belum tahu. Ruangan ini lebih sempit, gelap, hanya ada sedikit cahaya yang merembes masuk, menyinari sekilas sebuah papan besar bertulisan rumus-rumus rumit dalam tulisan berkapur warna-warni. Sepertinya sudah larut malam. Terdengar klakson mobil dan motor bersahut-sahutan, timbul tenggelam dari kejauhan.

Baca juga  Harga Sebuah Sepeda

Suasana semacam ini selalu membawa ingatanku pada masa-masa yang kulalui semasa hidup sebagai gelandangan. Tidur di bawah jembatan. Berkeliling dari satu tempat ke tempat lain tiap kali didatangi petugas-petugas patroli.

Tiba-tiba aku merenungi apakah semua dosaku semasa hidup masih bisa ditebus dengan menjadi “Guru Besar” bagi mahasiswa kedokteran. Kadaver yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Transformasi dari mayat gelandangan menjadi seorang kadaver yang mendapat sebutan “Guru Besar” kuharap bisa menghapus seluruh dosa yang aku perbuat ketika aku hidup sebagai ayah yang jahat dan suami yang durhaka kepada istrinya.

Ini ulang tahun kematianku. Waktu di mana rohku mendapat kesempatan untuk kembali menghuni tubuhku yang telah diawetkan. Siapapun yang memindahkan tubuhku ke tempat ini dan tidak menggunakannya sebagaimana mestinya, dia harus berhadapan denganku malam ini dan mempertanggungjawabkan semuanya.

“Tembak!” teriakan seseorang menembus jendela yang kemudian disusul suara tembakan. Terdengar bunyi tubuh terjatuh. Teriakan kesakitan yang sangat melengking. Aku bertanya-tanya di manakah sebenarnya tempatku ini berada. Aku masih ingat lingkungan ruangan anatomi tidaklah segenting ini dan tidaklah seribut ini. Apa yang terjadi di luar sana?

Sekali lagi terdengar suara melengking. Terdengar pula suara sepatu-sepatu berat yang sedang menuju ke arah terdengarnya tembakan. Meski aku masih ingat ruangan anatomi tempatku dahulu tidak berada dekat dengan lingkungan yang segenting ini, suara-suara keributan yang terus menggaung mengingatkanku pada masa-masa ketika aku masih menjadi gelandangan.

Waktu itu kota ini menjadi tuan rumah olimpiade dunia. Pemerintah memberi peringatan keras kepada para gelandangan yang mendirikan tenda di sekitar stadion olimpiade untuk segera menyingkir dari sana.

Bila peringatan itu disatukan menjadi pernyataan dari seseorang, kurang-lebih akan berbunyi seperti ini: Sembunyikan diri kalian dari mata dunia. Kami ingin memperlihatkan citra kota yang bersih di hadapan para turis dan media asing. Jika tidak, barang-barang kalian akan kami sita.

Pemerintah juga membangun pagar yang tinggi di perbatasan antara stadion dan tempat tenda-tenda gelandangan berdiri. Mau tak mau aku dan kawan-kawan sesama gelandangan mesti menyingkir dari sana.

Pemerintah betul-betul tak peduli. Mereka ingin menyembunyikan realitas kemiskinan kota. Mereka tak adil. Bagi kami gelandangan, kami hanya punya tenda sebagai tempat tinggal. Jika tenda kami disingkirkan itu sama saja kami kehilangan rumah.

Dengan tubuh tuaku yang sudah memasuki usia enam puluh tahun, aku berjalan membawa barang-barangku yang tersisa menggunakan gerobak dorong. Taman-taman kota juga sudah ditutup. Aku tak bisa bermalam di sana. Saat seperti inilah aku teringat dengan keluargaku. Bagaimana kabar mereka sekarang? Apakah mereka mau menerimaku kembali bila aku mencoba sekali lagi menemui mereka?

Aku putus asa. Aku sudah pernah menemui mereka, menyatakan penyesalanku berkali-kali, tapi mereka tak mau mendengarku dan malah membuang semua barang-barangku. Istriku dengan matanya yang menyala marah memakiku dengan sekian banyak nama binatang. Ia menyuruhku untuk kembali kepada gundik-gundikku. Tapi aku katakan kalau aku sudah bangkrut, jadi aku tak punya tempat tinggal.

Baca juga  Masjid di Atas Bukit

Aku bahkan membujuk putraku—yang kala itu baru beranjak remaja—agar mau menerimaku. Ia bergeming. Aku menyampaikan permintaan maafku kepadanya atas semua kesalahanku yang dulu kerap memukulnya dan meninggalkannya waktu masih kecil. Aku kerap menjadikannya tempat pelampiasan amarahku. Sudah tak terhitung berapa pukulan yang ia terima dariku. Tetapi, putraku tetap bergeming.

Seseorang datang! Lampu di ruangan ini menyala. Ya mestinya bila lampu menyala itu berarti ada orang di ruangan ini. Tapi ketika aku mengedarkan pandang, tak kutemukan seorang pun juga. Siapa yang menyalakan lampu? Apakah ada mahasiswa kedokteran yang datang pada tengah malam begini untuk kembali mencongkel isi tubuhku?

Tiba-tiba menyeruaklah cahaya putih yang amat menyilaukan dari papan tulis bertulisan rumus-rumus rumit itu. Kemudian cahaya itu perlahan-lahan meredup. Seketika tampillah wajah seseorang dalam layar putih. Wajah seorang lelaki memenuhi layar. Bagian tubuhnya yang lain hanya tampak sampai bahu. Ia mengenakan jas putih. Penampilan yang sering terlihat pada mahasiswa-mahasiswa kedokteran yang juga mengenakan jas putih setiap kali menjalankan praktikum di ruang anatomi.

Beberapa saat layar mengaburkan wajah lelaki itu. Semburat bintik-bintik memenuhi layar. Lalu kemudian layar itu kembali stabil. Kini aku bisa melihat dengan jelas siapa lelaki itu. Wajahnya yang berkumis tebal dan mengenakan kacamata rantai logam, juga rambutnya yang tertata klimis, ciri-ciri yang betul-betul tak asing. Di mana aku pernah melihat orang ini?

Lelaki itu seperti menangkap kebingunganku. Ia belum mengucapkan sepatah kata meski ia sudah menatapku lekat-lekat dari balik kacamata rantainya. Kedua tangannya disatukan di depan mulutnya. Dahinya terlihat berkerut. Apa yang diinginkan lelaki ini?

Dalam keheningan, selintas ingatan datang. Aku pun terkejut dengan ingatan yang baru tiba ini.

“Anda! Si dokter gadungan itu! Buronan kota!” kataku tergagap-gagap.

Lelaki inilah dokter gadungan yang kini menjadi buronan. Ia diketahui sudah banyak menipu rumah sakit. Mencuri data seorang dokter asli lalu menggunakannya untuk melamar kerja di fasilitas kesehatan selama bertahun-tahun tanpa ketahuan. Berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya.

Ketika ia dipercaya menjalankan salah satu klinik, pihak rumah sakit memintanya untuk melengkapi berkas-berkas, kemudian ditemukan sesuatu yang janggal. Kedoknya pun terkuak. Ia berhasil lolos dari kejaran polisi. Lalu fotonya dipajang di berbagai fasilitas publik sebagai buronan kota.

“Apakah Anda pernah mendengar cerita tentang mumi dari pegunungan di Libya yang bangkit dari kematiannya dalam sebuah eksperimen pembedahan yang dipimpin dokter Ponnonner? [1]

Aku tak mengerti apa yang dibicarakan lelaki ini. Aku masih menerka alasan mengapa aku bisa berada di ruang pembedahannya dan apa sebenarnya yang ia inginkan dariku.

Baca juga  Karangan Bunga

“Apakah kali ini Anda meniru kebangkitan dari mumi itu?” Ia menuding wajahku. Telunjuknya terlihat demikian besar pada layar itu sehingga seakan-akan telunjuk itu menutupi seluruh wajahku.

“Anda lebih puas sebagai kadaver dibanding gelandangan, bukan?” tanyanya lagi. Kali ini terlintas senyum mengejek di wajahnya.

“Anda pikir anda bisa menebus semua kesalahan Anda dengan merelakan diri Anda sebagai kadaver? Anda merasa bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Dengan begitu Anda pikir semuanya bisa menghapus dosa-dosa Anda semasa hidup dulu. Mengapa Anda seenaknya beranggapan seperti itu?”

Aku masih enggan menjawab pertanyaannya. Bila di kali pertama menyaksikan wajahnya aku teringat dengan selebaran-selebaran yang berisi fotonya tersebar di penjuru kota. Kali ini aku tak begitu menyimak pertanyaan oleh karena suaranya itu! Tiba-tiba aku merasa sangat mengenali suara itu. Satu pikiran aneh melintas. Dengan tergagap-gagap aku bertanya,

“Kau? Putraku? Kau, Alvan, putraku, bukan?”

Lelaki itu terdiam beberapa saat. Ia lalu mencabut kumis hitam tebalnya, yang ternyata adalah kumis palsu. Aku tersentak. Benar. Itulah dia! Alvan! Putraku satu-satunya.

“Kau ayah yang durhaka! Kau sudah menelantarkanku sejak aku masih kecil. Tak pernah semasa hidupmu kau menebus kesalahanmu dengan sungguh-sungguh. Kau biarkan aku dan ibuku hidup menderita. Kau pergi dengan gundik-gundikmu. Setiap kali kau sedang ada dalam masalah, kau selalu memukulku dan menyeret ibuku. Inilah hukuman yang pantas bagi ayah durhaka sepertimu. Kau bukan lagi kadaver yang bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Aku akan mengoyak-ngoyak habis isi tubuhmu. Melempar keluar semua organmu. Biar menjadi santapan anjing!”

Usus-ususku yang sudah demikian kutahan dengan telapak tanganku seketika tumpah keluar. Beserta organ-organ lain yang sudah mengalami pencongkelan. Aku mendengar tawa Alvan yang terbahak-bahak. Setelah itu yang tinggal hanya kegelapan.

“Lihat! Apakah kalian lihat ini? Urat-urat yang menonjol ini. Apakah kalian bisa sebutkan nama ototnya?” Itu suara yang aku kenal selalu ada di ruangan anatomi. Aku merasakan dinginnya ranjang besi tempat aku berbaring. Bukan lagi bak penampungan yang kotor.

Aku tahu bahwa aku—ayah yang durhaka semasa hidup dulu, gelandangan yang disingkirkan pemerintah—meski sudah lama mati masih menjalankan perannya sebagai kadaver yang bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan demi menebus seluruh dosa-dosaku. ***

.

.

Juni, 2024

.

Keterangan:

[1] Dokter Ponnonner adalah tokoh dalam cerpen Edgar Allan Poe yang berjudul Obrolan Bersama Sesosok Mumi.

 .

.

Iin Farliani, penulis fiksi pendek, puisi, esai, dan novel. Buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Mei Salon). Bergiat di Komunitas Akarpohon.

.
Guru Besar. Guru Besar. Guru Besar. Guru Besar. Guru Besar. Guru Besar.

Loading

Average rating 3.2 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!